Tataplah



TATAPLAH

Akankah pecahan kaca itu kembali menyatu, bila hancur sudah tak terbingkai
Akankah harapan tanpa taruhan itu terjadi
Akankah kerapuhan menimpa tubuh ini
Akankah gelombang besar itu menghantarkanku

Laut pasang, laut surut
Bulan purnama, bulan sabit
Ajarlah aku untuk tidak bertanya akan hari esok
Ajarlah aku untuk menatap langkah-langkah kecil

Supaya dapat kunikmati pasang surutmu
Supaya dapat kunikmati purnama sabitmu


Parangtritis, Juli 09



read more tariganism...

Demokrasi: Lebih Dari Sekedar Mencontreng

(SEBUAH CATATAN MENYAMBUT PEMILIHAN PRESIDEN RI)

Robert A. Dahl pernah menulis, “SEPERTI HALNYA REZIM NEGARA-NEGARA KOTA, REZIM-REZIM DEMOKRASI MODERN MASIH JAUH DARI KRITERIA DEMOKRASI YANG IDEAL.” Apa artinya? Ini bisa dilihat dari cara pandang bahwa, PERTAMA, demokrasi modern masih menyisakan banyak hal sebelum mencapai sebuah ideal demokrasi. KEDUA, demokrasi dengan itu bukanlah sebuah produk sekali jadi, melainkan sebuah proses yang terus menerus harus diusahakan.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan dua titik: TITIK FAKTUAL dan TITIK IDEAL. Sebagai titik faktual adalah beberapa kasus yang berhubungan dengan proses demokrasi di Indonesia pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Sedangkan sebagai titik ideal adalah prinsip-prinsip dan kondisi-kondisi dalam ideal demokrasi. Dengan pemaparan kedua titik tersebut, saya ingin menegaskan bahwa TIDAK ADA KATA FINAL UNTUK DEMOKRASI DI INDONESIA. Semua, satu pun tak terkecuali diundang untuk berjuang demi tegaknya demokrasi di bumi nusantara ini.

TITIK FAKTUAL: HITAM-PUTIH INDONESIA
Lahirnya era reformasi pada MEI 1998 ditandai dengan pengalaman pahit yang sulit dilupakan. Amarah rakyat yang membabi-buta terhadap rezim orde baru yang dikomandoi oleh Soehart serta krisis ekonomi berbuntut pada kerusuhan rasial. Di kota-kota besar terjadi pembumi-hangusan toko-toko, penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Pencapaian cita-cita kebebasan dari kungkungan rezim otoriter orde baru justru telah menodai kebebasan itu sendiri.

Pada MARET 1999 di Sambas pecah kembali KERUSUHAN RASIAL antara suku Melayu-Dayak di satu pihak melawan suku Madura di pihak lain. Ratusan korban—sebagian besar adalah suku Madura—tewas dalam kerusuhan ini. Kerusuhan ini juga berlanjut pada gelombang pengusiran suku Madura dari tanah Melayu-Dayak. Tiga tahun setelahnya—SEPTEMBER 2001—kerusuhan rasial besar terjadi lagi di Sampit. Pertikaian rasial ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sambas. Perang antara suku Dayak dan Madura sekali lagi menelan korban jiwa yang tidak sedikit.

Bangsa ini kemudian juga tercoreng dengan KERUSUHAN-KERUSUHAN YANG BERNADA AGAMA. Di Poso dan beberapa daerah sekitarnya pihak Islam dan Kristen bertikai saling bunuh atas nama “iman”. Di Ibukota Jakarta dan beberapa tempat di P. Jawa, tempat-tempat ibadah tidak luput dari pengeboman dan pengrusakan. KEBEBASAN BERAGAMA maupun menajalankan ibadat sesuai dengan agama masing-masing telah tercoreng. Bahkan oleh negara sendiri, agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan minoritas diperlakukan secara diskriminatif melalui perundang-undangannya. Otonomi daerah, misalnya, justru malah menimbulkan perda-perda syariah di pihak Islam dan rencana peraturan daerah yang bernafaskan Injil di pihak Kristen. Keduanya pada hakikatnya merupakan penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 45.

Kasus lain lagi, sejak WTC di Amerika Serikat diporak-porandakan oleh kelompok garis keras, dunia umumnya dan Indonesia khususnya berhadapan dengan gelombang terorisme global. PECAHNYA BOM BALI 1 DAN 2 yang menelan ratusan korban—sebagian besar warga asing—membuat Indonesia memperoleh cap sebagai negara teroris. PELEDAKAN HOTEL JW MARRIOT DAN TEROR-TEROR BOM semakin menumbuhkan rasa tidak aman, takut, cemas pada warga negaranya.

Tidak sekedar karena tindakan anarkis-fisik, bangsa ini juga semakin terpuruk oleh PRAKTEK-PRAKTEK KORUPSI dari tingkat pemerintahan yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah. Praktek-praktek ini sampai sekarang masih sulit untuk diberantas secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan korupsi dilaksanakan a la kadarnya, tebang pilih, tergantung kepentingannya. Instrumen hukum dan mekanisme pemberantasan korupsi dijalankan secara minimalis. Pemimpin politik yang patriotik yang siap lahir-mati memberantas korupsi pun tidak kujung datang.

Malahan, PERANGKAT-PERANGKAT PENEGAK HUKUM (KEPOLISIAN, KEJAKSAAAN, PENGADILAN) DAN KOMISI-KOMISI YANG DIBUAT UNTUK MEMBERANTAS KORUPSI JUGA TIDAK BEBAS DARI PRAKTEK-PRAKTEK SUAP.

“MENTALITAS MALING” inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi bangsa ini berjalan lambat. Sulitnya mendapat pekerjaan dan mahalnya biaya pendidikan semakin dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa jurang KESENJANGAN SOSIAL ANTARA INDONESIA TIMUR DAN INDONESIA BARAT semakin terbuka lebar. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai selalu saja terjegal oleh kepentingan memperkaya diri oleh segelintir pihak. Kemiskinan struktural, dengan itu, semakin meluaskan jangkauannya. Reformasi yang dicita-citakan hanya berjalan di tempat. Tidak terlihat terjadinya sebuah perubahan yang signifikan menuju sebuah konsolidasi bangsa.

Kasus yang paling mutakhir adalah CARUT-MARUTNYA DPT (Daftar Pemilih Tetap) baik untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Untuk kasus ini, akal sehat sulit untuk menerima bahwa semua itu murni faktor ketidaksiapan. Berbagai alasan, rasanya semakin memperkeruh suasana. Bukankah banyak pihak telah memberikan “warning” tentang DPT?

BEBERAPA CONTOH KASUS DI ATAS BUKAN PERTAMA-TAMA DITUJUKAN UNTUK MEMBUAT LITANI CACAT BANGSA SETELAH MASA REFORMASI. NAMUN, BUKAN TIDAK MUNGKIN BANGSA INI SEDANG MENGALAMI SEBUAH ATOMISASI, YAKNI TERFRAGMENTASINYA MASYARAKAT DAN HILANGNYA KEINGINAN UNTUK MENCAPAI KEPENTINGAN BERSAMA.

DALAM SITUASI INILAH DEMOKRASI SEBAGAI SEBUAH SISTEM PEMERINTAHAN HARUS DILAKSANAKAN SECARA MAKSIMAL.


TITIK IDEAL: DEMOKRASI SEBAGAI SEBUAH PRINSIP BERSAMA

Secara historis konsep demokrasi digunakan dalam negara kota di jaman Yunani kuno. Pemerintahan rakyat yang dijalankan dalam negara kota ini berlangsung dalam luas wilayah yang kecil dan populasi penduduk yang sedikit. Dalam situasi dan kondisi tersebut potensi terjadinya negara yang domokratis dapat terjadi. Dari ideal demokrasi pada negara kota, Dahl menarik beberapa PRINSIP UMUM DALAM PROSES DEMOKRASI YANG JUGA

MENDASARI DEMOKRASI MODERN. Ia menggambarkan proses ideal demokrasi secara teoritis dalam lima kriteria.

1. PERSAMAAN HAK PILIH: dalam membuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.

2. PARTISIPASI EFEKTIF: dalam seluruh pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja nasional, setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.

3. PEMBEBERAN KEBENARAN: dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan suatu keputusan, setiap warga negara harus mempunyai peluang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.

4. KONTROL TERAKHIR TERHADAP AGENDA: masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda.

Hal-hal ini penting diutarakan karena tidak mungkin terjadi pemerintahan rakyat jika kelima proses tersebut tidak dijalankan untuk membuat sebuah keputusan bersama.

Dalam perkembangannnya demokrasi juga digunakan dalam konteks negara bangsa. Perbedaan mendasar dari NEGARA KOTA dan NEGARA BANGSA ialah luas wilayah dan jumlah populasi. Menjalankan proses demokrasi dalam negara bangsa tidak semudah dalam negara kota karena negara bangsa memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah penduduk yang lebih besar. KHUSUS UNTUK INDONESIA, PROSES DEMOKRASI BAHKAN MEMILIKI TANTANGAN GEOGRAFIS, YAKNI SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN.

Dengan tetap berpegang pada definisi bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat Dahl memaparkan KRITERIA-KRITERIA KHUSUS DEMOKRASI MODERN.

1. KONTROL ATAS KEPUTUSAN-KEPUTUSAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKSANAAN SECARA KONSTITUSIONAL DIBEBANKAN PADA PEJABAT-PEJABAT YANG DIPILIH.

2. PARA PEJABAT YANG DIPILIH SELALU BERASAL DARI PROSES PEMILIHAN YANG DILAKUKAN SECARA JUJUR, SETIAP UNSUR-UNSUR PAKSAAN DIANGGAP SEBAGAI SESUATU YANG MEMALUKAN.

3. SECARA PRAKTIS SEMUA ORANG DEWASA MEMPUNYAI HAK DALAM MEMILIH PEJABAT-PEJABAT RESMI.

4. SECARA PRAKTIS SEMUA ORANG DEWASA MEMPUNYAI HAK UNTUK DIPILIH SEBAGAI PEJABAT RESMI DALAM PEMERINTAHAN, MESKIPUN BATAS UMUR UNTUK DIPILIH MUNGKIN LEBIH TINGGI DARIPADA BATAS UMUR UNTUK MEMILIH.

5. WARGA NEGARA MEMPUNYAI HAK YANG SAMA UNTUK MENGELUARKAN PENDAPAT TANPA ANCAMAN UNTUK DIHUKUM MENGENAI SOAL-SOAL POLITIK YANG DITENTUKAN SECARA LUAS, TERMASUK MELANCARKAN KRITIK TERHADAP PARA PEJABAT, PEMERINTAHAN, REZIM, TATA SOSIAL EKONOMI DAN IDEOLOGI YANG BERLAKU.

6. WARGA NEGARA MEMPUNYAI HAK UNTUK MENDAPATKAN SUMBER-SUMBER INFORMASI ALTERNATIF, KARENA MEMANG SUMBER-SUMBER DIMAKSUD ADA DAN DILINDUNGI HUKUM.

7. UNTUK MENCAPAI BERBAGAI HAK MEREKA, TERMASUK YANG DISEBUT DI ATAS, SETIAP WARGA NEGARA JUGA MEMPUNYAI HAK UNTUK MEMBENTUK PERKUMPULAN-PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI YANG INDEPENDEN, TERMASUK PARTAI-PARTAI POLITIK DAN KELOMPOK KEPENTINGAN BEBAS.

Indonesia telah mengalami tiga bentuk demokrasi. Empat tahun setelah kemerdekaan, 1950, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan DEMOKRASI LIBERAL atau yang lebih dikenal dengan DEMOKRASI PARLEMENTER. Demokrasi parlementer dengan segala hiruk pikuk pergantian kabinet hanya berjalan singkat. Soekarno kemudian menerapkan DEMOKRASI TERPIMPIN yang pada akhirnya menamatkan riwayat Soekarno dalam kancah perpolitikan Indonesia. Setelah itu sampai hari ini, Indonesia menganut sistem pemerintahan DEMOKRASI PANCASILA. Pancasila haruslah diartikan dan dimaknai dalam konsep dasar negara yang mempersatukan seperti yang diinginkan oleh para FOUNDING FATHERS bangsa ini. Hal ini perlu dikemukakan karena Pancasila selama orde baru telah mengalami degradasi makna di mana Pancasila dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan rezim otoriter selama orde baru.


IDEAL DEMOKRASI PLURALIS
DEMOKRASI PANCASILA dapat dimasukkan dalam demokrasi politik menurut kaum pluralis. Kaum pluralis di sini adalah mereka yang mementingkan kesatuan kepentingan individu sebagai kepentingan kelompok. DEMOKRASI POLITIK PLURALIS INI DAPAT DITAFSIRKAN SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN YANG MENENGAHI KEPENTINGAN-KEPENTINGAN DALAM KELOMPOK-KELOMPOK MASYARAKAT SEHINGGA DIPEROLEH KESEIMBANGAN SOSIAL. Kepentingan-kepentingan kelompok termanifestasi dalam proses politik, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam kelompok-kelompok non politis: kelompok berdasarkan ekonomi, sosial, agama, daerah atau suku bangsa.

Teori demokrasi pluralis ini menempatkan demokrasi sebagai sebagai PENJAMIN DAN PELINDUNG KEBEBASAN INDIVIDU TERHADAP KEKUASAAN YANG TAK TERKENDALI DARI NEGARA YANG TERPUSAT. CHECKS DAN BALANCES adalah upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat untuk mencapai perlindungan dan penjaminan terhadap kebebasan individu melalui pemilu yang teratur.

Ungkapan “BHINNEKA TUNGGAL IKA’ dapat menjelaskan teori demokrasi pluralis dalam konteks Indonesia. Bahwa meskipun terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, Indonesia tetap satu kesatuan.

Maka dari itu sebagai sistem politik demokrasi pluralis, demokrasi Pancasila Indonesia harus menegakkan dua hal:

1. HAK ASASI MANUSIA

2. KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN BERSAMA

Kedua cara itu dapat dicapai hanya melalui RULE OF LAW—PENEGAKAN KEADILAN.


PROSES PANJANG DEMOKRASI
Setelah hampir ribuan tahun setelah dicetuskannya, demokrasi ternyata tidak menjadi puing-puing kuno yang ditinggalkan. Dalam perjalanan waktu dan ruang, demokrasi sebagai sebuah proses mengalami adaptasi-adaptasi untuk mencapai titik idealnya. Di Indonesia, demokrasi kiranya masih berumur muda dan terlalu cepat untuk dikatakan bahwa demokrasi telah mencapai titik idealnya. Untuk menuju pada ideal demokrasi itu, maka setiap warga negara kiranya harus mengalami sebuah pendidikan demokrasi yang mendewasakan. DEMOKRASI DI INDONESIA: ASA YANG BELUM TERGAPAI…



MEMILIH DENGAN PRINSIP LESSER EVIL
Andi Tarigan

read more tariganism...

Tapi Itulah Realitasnya (Part 1)

Malam itu tidak hujan. Kuputuskan untuk keluar rumah sejenak. Tujuannya, seperti biasa, La Piazza-Kelapa Gading. Alasannya satu, jarak yang relatif dekat. Setelah mendapat ruang untuk memarkir vespa butut tercinta, aku berjalan menyusuri jembatan antara Gedung Parkir dan La Piazza.

Entah kenapa, setiap kali aku memasuki gedung parkir ini, ingatan lima tahun lalu selalu saja terngiang. Lima tahun yang lalu, gedung parkir yang megah ini belum ada. Dengan penuh rasa bangga, aku membisikkan pada diriku, “akulah saksi pembangunan gedung ini”. Ya, kala itu aku (dengan dua orang sahabat, BKW dan ASS) bekerja menjadi anggota K3 (Keselamatan dan Keamanan Kerja). Nama yang elite bukan? Rasanya seperti pasukan khusus! TAPI sebenarnya, K3 adalah KULI-NYA KULI BANGUNAN.

Siapapun dapat memerintahku untuk melakukan apapun yang dia mau. Bahkan untuk sekedar memijat mandor saat ia kelelahan (dia itu memang “asu”, ucap seorang teman). Di proyek ini jangan pernah berharap atau bermimpi sekalipun tentang RELASI INTERSUBJEKTIVITAS. Relasi itu bernama KEKUASAAN (POWER), demikian kata Michel Foucault. Segala sesuatu tergantung pada siapa yang berkuasa!

Kala itu pembangunan baru saja dimulai. Bagi mereka yang pernah bekerja di proyek (apalagi menjadi kulinya kuli bangunan) pasti tahu bagaimana rasanya bekerja saat semua baru saja dimulai: pekerjaan masih belum jelas (belum lagi selesai, sudah disuruh yang lain), belum ada bedeng untuk tidur dan parahnya lagi di proyek itu belum ada kamar mandi dan kakus. Dan lagi, sebagai orang baru, jangan pernah berharap mendapat helm kerja dan sepatu boot (kecuali mau menyogok untuk mendapatkannya). Jadi, bersiaplah untuk segala kemungkinan kecelakaan kerja.

Ketika aku masuk di proyek ini ada seorang Bapak tua (ia seorang kuli bangunan) yang dengan tulus hati menemani dan mengajari apa yang harus kulakukan. Tugas pertama yang tidak pernah kulupakan ialah membersihkan tanah-tanah yang tertumpah dari truk-truk pengangkut tanah di di sepanjang jalan sekitar La Piazza. Kata sang Mandor, “Harus bersih! Ntar pihak Kelapa Gading complain lagi karena jalan-jalan mereka kotor dengan tanah-tanah proyek” Dengan berbekal sapu lidi dan sekop, mulai dari pagi hari sampai dini hari, aku membersihkan jalan-jalan itu.


Sesaat muncullah sebuah ide. Sebelum truk-truk itu keluar dari proyek, kubersihkan (bahkan kucuci) dulu seluruh bannya, dan sembari menyodorkan sebatang rokok, kubisikkan pada supir truk, “Bos ga usah penuh-penuh ya ngisi tanahnya, biar ga tumpah di jalan”. Sehari-dua hari rencana berjalan (lumayan tidak terlalu lelah). Tetapi masalahnya intensitas pengangkutan tanah semakin hari semakin tinggi, dan lagi, jumlah truk pengangkut tanah semakin bertambah (sekitar 15 truk). Tidak mungkin rasanya kalau harus kucuci semua! Alhasil, aku harus menguatkan kehendak untuk tetap setia pada pekerjaan ini.

Saat-saat yang sulit ialah ketika hujan tiba. Hujan tidak lagi menjadi “berkat” karena jika hujan, jalan-jalan yang dilalui truk-truk semakin belok dengan tumpahan-tumpahan tanah. Dengan entengnya sang mandor memerintah, “Sana jalannya dicuci, ntar kita di-complain lagi”. NYUCI JALAN???

Baru kali ini rasanya aku mendengar istilah “nyuci jalan”. Ah..betapa manjanya mobil-mobil mewah itu, terkena tanah sedikit pun mereka tidak mau. Tidak ada pilihan, bersama dengan tiga orang teman, aku menyapu dan mencuci (tepatnya MENYIKAT) jalan-jalan yang dilalui truk-truk itu (entah berapa kilometer?).

Suatu pagi, ketika matahari sudah mulai menanjak, sebuah mobil (kalau tidak salah kijang kapsul) berhenti. Dari dalam muncullah seorang ibu membawa sebuah bungkusan. “Mas ini ada sayur sisa tadi malam, masih enak, mau ga?”. Tanpa pikir panjang, “Terima kasih Bu”. Aneh? Tumben ada orang baik? Bungkusan itu kubawa ke warung proyek, tempat kami biasa makan. Kuberikan sayur itu pada Ibu warung. “Bu, ini ada sayur enak”. Setelah dipanaskan, sayur “enak” itu terhidang untuk sarapan. Siapa yang mau silahkan ambil sendiri. Syukur, pagi itu sarapan agak spesial karena kopi hitam itu ada temannya.

Hanya Ibu warung yang memberikan penghiburan saat awal kami kerja. Seperti seorang Ibu, ketika lelah sudah tak tertahankan dan tiba waktunya istirahat, ia mulai memanggil-manggil, “makan dulu…makan dulu”. Sapaannya itu berbeda. Ia tidak sedang berpromosi tentang warungnya, tetapi ia sungguh menyapa sebagai seorang Ibu. Bahkan ketika aku cedera dan tidak bisa kerja selama hampir empat hari, ia tidak menolak untuk menggorengkan telur dadar atau sekedar indomie. Ia tidak pernah bertanya soal uang dan ia tahu kami tidak punya uang. “Nanti saja, setelah bayaran”, ucapnya dengan santai.

Akhir minggu telah tiba. Saatnya menerima bayaran. Bisikku dalam hati, lumayan bisa beli nasi goreng malam ini. Yang menarik, hampir setiap menerima bayaran, ada saja ajakan “Mas ke Pulo Gadung yuk..”. Awalnya aku tidak “ngeh”. Ada apa di Pulo Gadung? Tetapi lama kelamaan aku paham maksud mereka. Sambil bercanda kujawab, “Makasih mas…saya tidak ikut, saya sama istri saja di rumah”..HAHAHAHA. Ini bukan saatnya memakai penilaian moral atau apalah namanya. Tapi itulah realitasnya. Itulah yang terjadi di proyek ini.

Setelah puas dengan nasi goreng gerobak, mata mulai mengantuk. Beberapa teman kuli malah sudah tertidur di trotoar dan emperan toko, mereka sangat lelah pastinya. Dengan bekal koran dan terpal-terpal bekas, kami numpang tidur di Pos Satpam proyek. Kenapa aku tidur di Pos Satpam bukan di trotoar? Alasannya satu, matahari selalu mendahuluiku.

Sesaat sebelum mata terpejam, kudaraskan lagi sebuah kalimat, Finding God in All Things. (Even in this kind of situation???)


Salamku untuk teman-teman kuli dari Jepara, Pati, Kebumen dan Cilacap.
Andi.T


read more tariganism...

Cintaku di Halte Busway

Rutinitas pagi! Ditemani secangkir kopi hitam saya mengambil sebuah surat kabar, memposisikannya dalam jarak baca normal dan kemudian “mengejanya” satu persatu. Ungkapan “mulailah hari dengan senyum” pun pantas diterapkan dalam membaca surat kabar. Untuk itu, yang pertama-tama saya buka adalah kolom Apa dan Siapa. Apa hubungannya? Just see it. Belive me you will find, at least, two sweet smiles there…

Cukup dengan sweet smile. Perlahan-lahan saya mulai masuk dalam kolom yang agak serius, yakni bidang Hukum dan Politik. Selain kolom Apa-Siapa dan Opini, kolom ini pantang dilewatkan. Pasalnya, di kolom inilah para elite politik secara sadar mempertontonkan kebodohannya di mata 200 juta rakyat republik ini. Syarat utama membaca kolom ini: singkiran sejenak pikiran bahwa politik yang sebenarnya adalah sesuatu yang berkaitan dengan kota (Lat: polis) dan mereka yang hidup di dalamnya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, pasti kita akan kecewa membaca kolom tersebut karena apa yang ditampilkan oleh para elite politik kita hanya melulu oportunisme demi kekuasaan.

Ranah politik kita sudah terlanjur keruh, kotor, berbau busuk (tetapi itu bukan berarti tidak bisa dijernihkan). Tak ada sesuatu yang dapat ditularkan pada generasi ini, kecuali perebutan harta dan kuasa dengan menghalalkan segala cara. State of nature yang dirumuskan oleh Hobbes (manusia adalah serigala bagi yang lain) semakin nyata dalam kancah perpolitikan kita.

Dalam perpolitikan kita ini jangan pernah berharap akan muncul tema-tema seperti: bonum commune (kebaikan bersama), demokrasi, keadilan, HAM dan multikulturalisme. Maaf kawan, kita harus kecewa karena tema-tema itu hanya konsumsi mahasiswa/i dalam kelas filsafat politik. Kita akan dianggap bodoh jika kita berbicara itu di depan mereka.

Entah kenapa setelah membaca berita-berita politik, sesaat saya teringat akan sebuah tayangan yang berjudul besar FTV (kalau tidak selah kepanjangannya adalah Film Televisi). Jika hendak dirinci lagi, FTV itu terdiri dari puluhan judul, seperti Janji Jengkol, Pacar Rahasia, Arjuna Dikejar Cinta, Aku Benci Jatuh Cinta dan masih banyak lagi kisah cinta-cintaan yang naif dan menggelikan.
Apa kaitannya antara politik dan FTV?

PERTAMA! Sambil sejenak istirahat di malam hari, dengan seorang teman, saya biasa bermain tebak-tebakan skenario FTV. Mari kita tebak: mulai dari bersenggolan di angkot, lalu si cowok terpesona..setelah itu PDKT, akhirnya “jadian”. So simple! Hampir 95 persen jalannya kisah dapat kami tebak. Cuma lima persen yang tidak tertebak, iklan!! Alurnya sederhana: pembukaan cerita, klimaks happy ending stroy. Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan dan makna apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik telah terprediksi, yakni DEMI KEKUASAAN. Demi kekuasaan, surat-surat suara (baca: aspirasi) yang telah terkumpul kini dikubur dalam-dalam dan diberi nisan yang bertuliskan “RIP: RAKYAT”. Kekuasaan telah membutakan segalanya. Jangan heran jika demi kekuasaan mereka sampai tidak malu menjilat ludah sendiri. Alur kisah para elite politik sederhana: membuat partai, berkoalisi, berkuasa (dan berharta). Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan kebangsaan apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED, yakni . Kekuasaan bukan lagi sarana, namun tujuan.

KEDUA! Harus diakui bahwa meskipun tidak menawarkan cerita yang bermutu, namun FTV menawarkan wajah-wajah baru nan “bening”. Aneh tapi nyata! Dalam sebuah kisah ditunjukkan bahwa seorang gadis cantik gedongan berangkat kuliah naik metromini dan bertemu dengan kondetur metromini yang tampan dengan gaya metroseksual. BAGAIMANA MUNGKIN, ABSURD? Ya itulah, seluruh tokoh telah di make-up sedemikian rupa sehingga “terjual” laris bak kacang goreng. Masalah karakter penokohan menjadi tidak penting; yang terpenting adalah cantik/tampan, putih bersih dan modis (kalau bisa agak sedikit bule). Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik dibungkus manis dalam sebuah PENCITRAAN. Tidak ada yang namanya ideologi. Sebisa mungkin mereka akan menghindar dari pembicaraan tentang substansi dan esensi. Yang terpenting adalah bagaimana saya tampak sebagai pemimpin inovatif, beragama dan pro-rakyat. Pencitraan itu dikemas rapi dalam slogan-slogan yang menyesatkan. Dengan tidak mengurangi hormat kepada kepada saudari-saudariku yang memilih dengan hati untuk berjilbab, bagi saya para elite politik yang mengangkat isu tentang jilbab sungguh tidak intelek. Jilbab yang mempunyai nilai luhur, telah dijadikan komoditas politik. Ini membuktikan bahwa politik kita adalah POLITIK BUNGKUS PERMEN; kemasan lebih penting daripada isinya. Yang diangkat adalah sesuatu yang tidak substansial bagi kehidupan bangsa ini. Lalu apa bedanya pare elite politik dengan kondektur bule di FTV? Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Untuk itu semua, dua kata yang mewakili perpolitikan kita saat ini adalah PREDICTED dan PENCITRAAN. Predicted, karena hanya demi kekuasaan. Pencitraan karena tidak berani masuk dalam sesuatu yang substansial, malahan menipu diri dengan kemasan. Kalau memang demikian, mengapa para elite politik tidak bermain FTV saja?

Buatlah sebuah judul, “Cintaku di Halte Busway”. Siapa tahu dengan bermain dalam Cintaku di Halte Busway kalian tahu bagaimana rasanya berdesak-desakan sambil sesekali menghirup aroma kacau balau di dalamnya, yang pada gilirannya kalian akan tahu bagaimana mengabdi rakyat dari bawah dan bukan dari atas. Tidak usah malu meskipun wajah-wajah kalian bukanlah wajah-wajah baru dan lagi, tidak “bening”.

SALAM!




read more tariganism...

Anyway

Seorang teman sekaligus Guru pernah memberikan secarik kertas yang berisi demikian.....

People are illogical, unreasonable, and self-centered.
Love them anyway.

If you do good, people will accuse you of selfish ulterior motives.
Do good anyway.

If you are successful, you will win false friends and true enemies.
Succeed anyway.

The good you do today will be forgotten tomorrow.
Do good anyway.

Honesty and frankness make you vulnerable.
Be honest and frank anyway.

The biggest men and women with the biggest ideas can be shot down by the smallest men and women with the smallest minds.
Think big anyway.

People favor underdogs but follow only top dogs.
Fight for a few underdogs anyway.

What you spend years building may be destroyed overnight.
Build anyway.

People really need help but may attack you if you do help them.
Help people anyway.

Give the world the best you have and you'll get kicked in the teeth.
Give the world the best you have anyway..

Thanks for this "anyway". Hope I can think with this "anyway"

read more tariganism...

Selimut Perjumpaan

(sepenggal kisah peregrinasi)

Hari itu, Kamis 22 Januari 2004, hari kelima dalam perjalanan. Ah masih empat hari lagi, ucapku dalam hati. Pagi itu ketika saya dan Pram bangun, matahari sudah terlanjur merangkak naik. Perjalanan yang menegangkan dan melelahkan malam tadi telah membuat kami terlelap pulas. Semalam, kalau saja kami tidak melihat lampu templok di depan rumah Pak Sui, hampir pasti kami akan bermalam di gelap dan dinginnya hutan.

Begitu saya keluar dari kamar, terdengar suara Pak Suwi yang menyapa dari arah dapur. Tanpa ingin berlama-lama menahan hawa dingin yang semakin menusuk, kami segera bergabung mengelilingi tungku perapian di dapur. Tak berselang lama, Bu Suwi datang menyuguhkan kopi hangat dan ubi rebus untuk sarapan. Selepas sarapan, bak penumpang yang tidak ingin ketinggalan kereta, kami langsung mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan.

Meskipun desa ini belum sama sekali dialiri listrik, namun kami merasakan sengatan kehangatan tak terlupakan dari Pak Suwi dan keluarga. Ketika waktu mendekati Pk.08.00 kami pamit meninggalkan desa Kesot dan melanjutkan perjalanan menuju Dieng.

Perjalanan menuju Dieng diwarnai dengan lalu lalang motor dan mobil yang cukup padat. Di kiri dan kanan jalan penuh motel dan rumah makan. Setting perjalanan hari ini bukan lagi jalan-jalan desa, melainkan tempat wisata.

Tak terasa kaki ini telah berjalan selama 10 jam. Kami tiba di Dieng pk.18.00. Karena urat-urat kaki mulai terasa menarik, ditambah lagi cuaca tiba-tiba mendung, kami putuskan untuk mencari tempat untuk menumpang tidur.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kami berjalan beriringan dengan seorang Bapak. Sembari bertanya-tanya tentang jalan, kami juga bertanya adakah tempat untuk sekedar menginap malam ini. Bapak itu, lantas mengantar kami ke Rumah Pak Kadus. Ketika tiba di depan rumah Pak Kadus, seorang ibu muda berjilbab membukakan pintu bagi kami. Kemudian kami tahu bahwa Ibu yang berjilbab itu adalah isti Pak Kadus. Kami dipersilahkan masuk dan menanti kedatangan Pak Kadus yang saat itu sedang tidak di rumah.

Saat memasuki rumah itu, aku merasa masuk dalam dunia yang asing. Tampak luar, rumah ini sama saja dengan rumah-rumah lain. Namun, tampak dalam? Sungguh, belum pernah kumasuki rumah seperti ini. Pintu-pintu antar ruangan berbentuk kubah Masjid, dinding-dinding penuh terisi dengan ukiran-ukiran bertuliskan huruf-huruf arab. Di sisi lain, bingkai photo-photo para Kyai terpampang gagah dengan pakaian kebesarannya. Sesaat rasa itu tercampur, antara kagum, terasing dan juga was-was.

Ketika saya masih termangu menanti kedatangan Pak Kadus, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang memberi salam dari luar, “Assalamu alaikum”. Benar seperti dugaanku, Pak Kadus itu memelihara jenggot panjang, mengenakan peci hitam, baju koko dan sarung. Kesan pertama, wajah itu jauh dari kesan ramah. Wah salah rumah nih, kataku dalam hati....

Acara interogasi kini dimulai. Ya, ini lebih tepat dikatakan interogasi ketimbang sekedar tanya-jawab. Kebetulan saat itu teman Pak Kadus juga datang, penampilan luarnya tidak jauh beda dengan Pak Kadus. Pak Kadus memperkenalkan namanya, Usman Ali.

Setelah kami juga memperkenalkan diri, kami mengungkapkan keingian kami untuk menginap semalam di desa ini. Sejak itu, hawa dingin pegunungan Dieng jadi terasa kian panas, mungkin karena nada pertanyaan semakin lama semakin meninggi. Pertanyaan Koramil saat kami diinterogasi di deareh Sukorejo pun tidak separah ini. Raut wajah yang menelisik dan penuh curiga membuatku semakin terpojok dan tidak nyaman. Pertanyaan puncak yang diajukan oleh Pak Usman, “Sebenarnya kalian sedang apa? Berjalan kaki berhari-hari tanpa bekal apapun? Saat itu kami sungguh kehabisan akal untuk menjawab.

Ketika kami mulai saling pandang, ia meminta KTP kami....

Sesaat setelah melihat KTP, wajah Pak Usman Ali berbicara lain. Apakah karena tempat tanggal lahir? Ah tidak mungkin. Apakah karena alamat? Ah tidak mungkin. Apakah karena photo? Ah itu lagi, mustahil. Lalu mengapa raut wajahnya tiba-tiba berbeda? Aku bertanya dalam hati, ada apa dengan KTP? Terakhir ia bertanya, agama kalian Katolik? Apakah karena agamaku tertulis Katolik, lalu ia berubah? Entahlah, aku tidak ingin berspekulasi untuk itu? Yang pasti, teh manis hangat dan kue-kue kecil pun mulai terhidang menghangatkan suasana malam itu. Interogasi pun berhenti begitu saja karena makan malam tiba-tiba sudah tersedia...ah akhirnya makan juga setelah seharian hanya makan sekali.

Pak Usman mulai bercerita lepas, penuh senyum tentang ia dan keluarganya. Bagiku, ada dua hal yang mengesan dari Pak Usman. Pertama, momen perubahan dari wajah interogatif yang jauh dari kesan ramah menjadi wajah seorang saudara yang tersenyum bersahabat. Kedua, Pak Usman yang secara tampilan luarnya identik dengan kelompok Islam garis keras ternyata mempunyai sisi lain yang kadang ku tak mengerti. Sungguh, Ia berkisah tentang sebuah hidup.

Malam sudah mulai larut. Ia mempersilahkan kami untuk tidur di kamar, persisnya di sebelah ruang tamu. Sebelum tidur ia mengatakan bahwa bukan maksudnya mengawasi kami, tetapi sebagai laku-tapanya ia memang tidak pernah tidur malam. Baginya, tidur adalah siang hari.

Waktu itu sekitar pk 02.00 dini hari. Aku tidak tertidur pulas seperti malam sebelumnya. Aku merasa ada bayang-bayang yang mendekati kami.... ya orang yang mendekati tempat tidur kami.

Aku membuka sedikit mataku dan melihat sendiri apa yang dilakukan Pak Usman. Ia berjalan pelan, takut kalau membangungkan kami. Ia MEMBENTANGKAN SELIMUT TEBAL di tubuh kami yang kumal ini.
What a suprise...Bagaimana mungkin? Dia? Menyelimuti kami? Orang yg baru dikenalnya beberapa jam lalu?

Dinginya Dieng di malam hari tidak terasa lagi.

Pak Usman dan selimutnya telah menggoreskan arti sebuah perjumpaan. Sekat-sekat ideologis dan identifikasi sekterian yang kadangkala memisahkan manusia satu dengan manusia lain ternyata begitu saja mencair dalam sebuah perjumpaan hidup. Ya, manusia sebagai manusia telah berjumpa dalam perayaan hidup.

Kalau Seyyed Hossein Nasr pernah MENULIS buku berjudul THE HEART OF ISLAM, saya pernah MERASAKAN pengalaman yang berjudul THE HEART OF ISLAM.

Akhirnya, perjalanan sembilan hari—-dengan hanya berbekal baju yang melekat di tubuh--telah membuka beragam perjumpaan. Dari hari ke hari, dari satu tempat ke tempat lain, Sang Ada itu telah hadir dan menemani langkahku melalui saudara-saudaraku manusia, siapa pun dia.


read more tariganism...

Aku yang Menjawab

Manusia hanya terus dan terus melontarkan pertanyaan tentang hari esok. Tetapi mereka malas untuk manjawabnya sendiri karena memang menjawab tidak mungkin jika tanpa usaha. Tibalah saatnyalah manusia bangun dari tidur kemalasannya. Kebahagiaan dan kebaikan sejati jangan terus menerus dibiarkan menjadi kerinduan. Kebahagiaan dan kebaikan sejati tidak datang dengan sendirinya. Kebahagiaan dan kebaikan sejati bukanlah warisan dari alam yang kita tempati ini. Itu semua harus diusahakan.

Konsep alam sebagai Ibu pengasih lagi penyayang rasanya perlu dipertanyakan ulang. Konsep alam yang akan menyediakan segalanya justru akan membius manusia dalam ruang kemalasan dan kemanjaan. Kemalasan dan kemanjaan itulah yang membuat manusia berhenti pada bertanya dan bertanya tanpa merasa perlu untuk jawabannya.

Tepatlah bila dikatakan bahwa alam ditempatkan sebagai Ibu Guru. Alam mengajar manusia untuk berkembang menjadi dirinya sendiri. Memang alam memberikan eksistensinya pada manusia tetapi tidak berarti ia menggendong terus menerus manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Manusia harus berjalan dengan kakinya sendiri.

Dengan tidak menyodorkan kemudahan-kemudahan, alam mendidik manusia untuk berusaha menentukan jalan hidupnya sendiri. Manusia tidak akan mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan kecuali manusia sendirilah yang menciptakan dengan hati dan budinya. Dengan hati dan budi itu pulalah manusia mengatasi individualitasnya dan menjalin relasi dengan sesamanya untuk mencapai masa depan damai yang dicita-citakan bersama.

Perdamaian sebagai harapan universal merupakan tanggung jawab manusia untuk mewujudkannnya. Banyak kali yang terjadi justru kebalikannya. Korban perang di berbagai belahan dunia tak henti-hentinya berjatuhan. Konflik-konflik kepentingan melahirkan perampasan hak-hak asasi manusia. Tuhan menjadi legitimasi untuk bertikai. Alam yang seharusnya menjadi panggung kemanusiaan berubah menjadi pentas pembantaian. Labirin masalah dalam hidup ini telah memupus semangat manusia-manusia di dalamnya untuk menjawab pertanyaan tentang hari esok.

Akulah yang seharusnya menjawab pertanyaan tersebut. “Sapere Aude!—have courage to use your own reason”, kata seorang filsuf dari kota Koningsberg. Bangun, bangun! Saatnyalah membangunkan manusia-manusia yang selama ini telah meliburkan hati dan budinya. Sebagian bahkan telah membiarkan orang lain berfikir untuk dirinya. Entah kenapa banyak yang merasa nyaman jika orang lain yang berfikir untuk dirinya, meskipun dia tidak tahu apakah itu pas untuknya. Bukankah dengan membiarkan orang lain berfikir untuk diriku, aku telah manggadaikan masa depanku kepada orang lain?


Manusia adalah sang penjawab. Perjalanan menuju tercapainya sebuah jawaban hanya dapat dilakukan oleh manusia dengan kemampuan hati dan budinya. Hari esok yang didambakan bukanlah titipan nenek moyang.

Hari esok menanti manusia-manusia yang siap sedia bertindak. Harapan akan hari esok yang lebih baik akan menjadi nyata hanya jika manusia BERTINDAK dalam KEPERCAYAAN bahwa hal itu mungkin terwujud dengan segenap hati dan budi. Tindakan dan kepercayaan itulah yang akan mengantar manusia pada masa depannya yang sejati dimana kemanusiaan tidak lagi tertindas dan terinjak-injak oleh para perancang pertikaian.


read more tariganism...

Aku yang Bertanya

Berakhirnya perjalanan 365 hari umumnya kita sebut sebagai satu tahun. Tahun adalah satuan waktu yang berarti bagi setiap manusia. Pada tahun yang baru perhitungan hari kembali dimulai dari angka satu pada bulan yang pertama. Bukan sekedar perhitungan perputaran bumi, angka 365 memiliki kenangan yang tidak bisa begitu saja dilupakan. Langkah-langkah lelah dan lompatan-lompatan riang tergambar kembali di hadapan mata. Ketika serpihan-serpihan keberhasilan bersatu dalam angan, manusia enggan melangkah maju untuk meninggalkan tahun yang lama. Sebaliknya, jika pengalaman-pengalaman kelabu ganti masuk dalam kesadaran, ingin rasanya manusia cepat-cepat meninggalkannya; tidak betah kalau harus tetap tinggal di dalamnya.

Detik pertama seakan menghadirkan sebuah energi baru yang membuat segalanya menjadi berbeda. Tetapi, benarkah seperti itu? Bukankah pergantian detik dari hari satu ke hari yang lain adalah hal yang sangat biasa yang kita alami?

Mau tidak mau, suka tidak suka, waktu tidak dapat sejenak berhenti menanti manusia yang sedang bermenung. Detik yang baru harus segera disongsong. Dalam segala permenungan pengalaman yang telah berlalu manusia mulai ragu dan bertanya, “Seperti apakah hidup di depan nanti? Hanyakah semuanya menjadi ulangan keterpurukan semata atau adakah terbentang janji manis untuk ditelusuri?”

Pertanyaan itu jelas butuh jawaban. Jawaban yang jelas dan lugas adalah yang dibutuhkan manusia jaman ini. Semakin tidak jelas, semakin manusia tidak akan percaya.

Tetapi, siapakah yang dapat secara jelas dan lugas menjawab pertanyaan itu? Hari esok bukanlah kalkulasi rumus matematis yang bisa dikaji dan diuji.

Hari esok menyimpan sifat misteri yang tidak terpisahkan pada dirinya. Adakah orang yang mampu melihat berapa banyak titik dan koma yang akan kutulis pada hari esok? Adakah seseorang dengan kartu-kartu ajaibnya mampu menelanjangi duniaku yang akan datang? Mengapa juga orang lain tampak lebih berwenang untuk menjawabnya?


read more tariganism...

Metafisika, Mungkinkah?

Menyelidiki Kemampuan dan Batas Akal Budi Untuk Menilai Posisi Metafisika Dalam Pemikiran Immanuel Kant

Kant: Sejarah Singkat
Immanuel Kant terlahir pada tanggal pada tanggal 22 April 1724 di Koningsberg (sekarang berada di wilayah Rusia). Di tempat inilah Kant kemudian menghabiskan seluruh perjalanan hidupnya. Ia menjalani pendidikan awalnya pada tahun 1731-1740 di Collegium Fridericianum. Pada tahun 1740 Kant melanjutkan studinya di universitas di kota yang sama. Tokoh yang secara signifikan mempengaruhi pemikiran Kant ialah Martin Knutzen, seorang profesor logika dan metafisika. Knutzen sendiri adalah murid dari Wolff—seorang penganut rasionalisme.

Kant mempelajari beragam ilmu, mulai ilmu pengetahuan alam, astronomi, matematika sampai filsafat. Setelah menyelesaikan doktoratnya pada tahun 1755, Kant memulai karyanya sebagai privatdozent. Pada tahun 1770 Kant memperoleh gelar profesor dalam bidang logika dan metafisika di Universitas Koningsberg. Selama masa hidupnya Kant menulis beragam tulisan, salah satunya yang paling berpengaruh besar dalam sejarah pemikiran filsafat ialah Critique of Pure Reason (1781).

Kemampuan dan Batas-Batas Akal Budi
Untuk memahami metafisika Kant, pertama-tama perlulah dilihat dua aliran pemikiran sebelumnya yang membicarakan tentang asal muasal pengetahuan manusia. Dua aliran pemikiran itu adalah rasionalisme dan empirisme.


Yang pertama beranggapan bahwa sumber pengetahuan ialah rasio. Dengan itu rasio mendahului atau unggul atas dan bebas dari pengamatan dari indrawi. Mereka yang berada pada jalur ini ialah Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-77), and Leibniz (1646-1716). Sedangkan yang kedua beranggapan bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman. Bukanlah rasio yang menjadi menjadi sumber utama melainkan pengalaman indrawi. Beberapa tokoh empirisme ialah Locke (1632-1704), Barkeley (1685-1753) dan Hume (1711-1776). Kant sendiri bukanlah seoarang rasionalis ataupun empiris. Karyanya yang paling masyur justru mensintesiskan keduanya, antara rasionalisme dan empirisme.

Kant mengatakan filsafatnya sebagai filsafat kritis. Yang dimaksud oleh Kant dengan filsafat kritis ialah filsafat yang pertama-tama menyelidiki kemampuan dan batas-batas akal budi (rasio). Kritisisme itu sendiri dipertentangan dengan dogmatisme, yakni pandangan yang begitu saja percaya pada kemampuan dan batas-batas akal budi tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadapnya.

Penyelidikan kemampuan dan batas-batas akal budi (ratio)
Dalam Critique of Pure Reason (1781) Kant membedakan tiga macam putusan yakni :
1. Putusan sintesis (aposteriori): dalam putusan ini predikat berhubungan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi. Misalnya, hari ini panas. Pengetahuan kita akan hari yang panas adalah hasil observasi indrawi kita setelah pernah mengalami hari-hari yang lain.
2. Putusan analitis (apriori): dalam putusan ini predikat sudah termuat dalam subyek. Predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subyek. Predikat itu diketahui melalui analisa terhadap subyek. Misalnya, lingkaran itu bulat. Pengetahuan kita tentang lingkaran itu bulat tidaklah diasalkan dari pengalaman, melainkan dari analisa terhadap subyek.
3. Putusan sintesis apriori: putusan ini dapat dilihat dalam contoh kalimat, ”segala sesuatu ada sebabnya”. Dalam putusan ini memang predikat merupakan hasil sintesis (dalam arti menambahkan sesuatu yang baru pada subyek). Tetapi, putusan ini tidak diperoleh dari pengalaman melainkan diketahui secara apriori, walaupun bukan diperoleh dengan jalan menganalisa subyek. Dalam ranah pengetahuan matematis putusan sintesis apriori ini mungkin terjadi. Lalu bagaimana dengan metafisika? Apakah metafisika bisa menghasilkan sebuah putusan sintesis apriori?

Untuk menjelaskan tentang bagaimana terjadinya putusan sintesis apriori itu, Kant melakukan penyelidikan terhadap taraf-taraf pengetahuan pada akal budi manusia.
1. Pada taraf indra
Bagi Kant dalam sebuah penampakan obyek terdapat dua unsur yaitu forma dan materi. Pada taraf ini unsur materi adalah isi dari penampakan obyek tersebut (obyek yang tampak). Obyek tersebutlah yang membuat dirinya tampak, maka aposteriori. Sedangkan unsur forma adalah apa yang terdapat pada subyek yang memungkinkan subyek mengalami penampakan obyek. Sekali lagi unsur forma tidak bersal dari luar subyek, maka dari itu apriori. Kant mengatakan dua unsur apriori pada taraf ini ialah ruang dan waktu. Data-data inderawi yang kita tangkap selalu berada dalam kategori ruang dan waktu. Namun, penangkapan itu belumlah dapat dikatakan sebagai pengetahuan melainkan pengalaman. Ini artinya pengalaman terjadi atas dari penggabungan antara materi (data-data indrawi) dan forma (ruang dan waktu).

2. Pada taraf Verstand

Pada taraf indra meskipun hasil dari sebuah sintesis, tetapi belum merupakan sebuah pengetahuan. Pada taraf ini Kant ingin menjelaskan data-data indrawi itu menjadi sebuah pengetahuan. Menurut Kant dalam diri subyek terdapat dua kemampuan. Pertama, kemampuan untuk menerima data-data inderawi dan kedua, kemampuan untuk membentuk konsep. Kemampuan untuk mengindrai disebutnya sebagai sensibilitas sedangkan kemampuan untuk membuat konsep disebutnya sebagai verstand.
Ketika saya melihat sepeda, misalnya, sebenarnya yang terlihat hanyalah penampakan-penampakan dari ragam komponen sepeda. Data-data inderawi itu disusun dalam akal (verstand) sehingga menjadi sebuah gambaran sepeda yang utuh. Meskipun kita dapat mengindrai sebuah gambaran utuh tetapi kita belum memiliki pengetahuan terhadapnya. Untuk memiliki pengetahuan tentang penampakan itu, subyek harus berfikir. Berfikir bagi Kant adalah menyusun putusan. Dalam keputusan terjadi sebuah sintesis antara penampakan dengan unsur-unsur apriori akal (verstand). Unsur apriori itu adalah kategori-kategori. Kategori-kategori inilah yang membuat penampakan-penampakan itu diketahui oleh subyek. Atau dengan kata lain, tanpa adanya kategori-kategori ini subyek hanya mampu mengindrai penampakan tanpa memiliki pengetahuan terhadapnya.

Kant mengajukan dua belas kategori. Keduabelas kategori inilah yang menjadi syarat diketahuinya sebuah penampakan.
A. Kuantitas
1. Kesatuan/unitas
2. Kemajemukan/pluralitas
3. Keseluruhan/Totalitas
B. Kualitas
1. Realitas
2. Negasi
3. Limitasi
C. Relasi
1. Substansi
2. Kausalitas
3. Komunitas
D. Modalitas
1. Kemungkinan-kemungkinan
2. Eksistensi – Non-eksistensi
3. Keniscayaan – Kontigensi

Keduabelas kategori ini dapat digambarkan sebagai sebuah kaca mata merah (perumpamaan ini bukan dari Kant). Ketika seseorang menggunakan kaca mata merah, segala sesuatu yang dilihatnya tampak berwarna merah. Tentu saja benda-benda itu tidak berwarna merah. Tetapi kita tidak dapat melihat segala sesuatu itu tanpa kaca mata merah itu, karena kaca mata merah itu sudah melekat dalam pada diri kita. Kaca mata merah itu adalah kategori-kategori yang menjadi unsur apriori pada taraf akal (verstand) ini. Pada taraf ini ditunjukkan bahwa akal (verstand) bersifat konstitutif terhadap obyek. Konstitutif itu berarti bahwa bukan pikiran yang menyesuaikan dengan obyek, melainkan obyek sendirilah yang menyesuaikan dengan pikiran. Jadi, bukan adaequatio intellectus ad rem (kesesuaian intelek dengan realitas), melainkan adaequatio rei ad intellectum (kesesuaian realitas dengan intelek). Bagi Kant yang dapat kita ketahui adalah penampakan (fenomena). Sedangkan benda pada dirinya sendiri, das ding an sich (numena) tidak dapat kita ketahui.


3. Pada taraf Vernunft
Tidak berhenti pada taraf akal (verstand), proses pengetahuan berlanjut pada tahap budi (vernunft). Istilah budi (vernunft) ini mengacu pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari pada akal (verstand). Berbeda dengan akal (verstand) yang sifatnya konstitutif, budi (vernunft) berfungsi mengatur (regulatif) dan menggabungkan putusan-putusan yang dihasilkan oleh akal (verstand). Kesatuan putusan yang dihasilkan dalam bentuk argumentasi itu bersifat murni dan tidak berasal dari pengalaman. Budi (vernunft) sama sekali tidak berhubungan dengan hal-hal yang empiris dan dengan itu pengetahuan kita tidak diperluas.

Jika pada tahap akal (verstand) yang menjadi unsur apriori adalah kategori-kategori, pada tahap budi (vernunft) ini yang menjadi unsur apriori adalah tiga idea rasio murni, yaitu:
1. Idea Jiwa. Idea ini menjadi penjamin kesatuan akhir dalam seluruh pengalaman subyek (batiniah) dalam hubungannya dengan diri sendiri.
2. Idea Dunia. Idea ini menjamin kesatuan akhir dalam hubungan-hubungan kausal dalam penampakan obyek (lahiriah).
3. Idea Allah. Idea ini menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan baik yang tampak (lahiriah) ataupun yang tidak tampak (batiniah).

Idea-idea ini bukanlah tentang kenyataan-kenyataan empiris dan juga tidak berhubungan langsung dengan obyek-obyek empiris. Maka dari itu, ketiga idea tersebut tidak memberikan suatu pengetahuan tentang obyek, tetapi merupakan aturan-aturan rasio yang menjamin kesatuan akhir dalam ranah gejala-gejala lahiriah, ranah gejala-gejala batiniah dan ranah gejala-gejala segala yang tampak dan yang tidak tampak.

Tanggapan Kant terhadap metafisika tradisional

Merujuk pada penjelasan Kant mengenai Idea-Idea murni, pemikiran metafisika tradisional jelas tidak dapat dibenarkan. Dalam pemikiran metafisika tradisional ketiga idea ini (Jiwa, Dunia dan Allah) dipandang sebagai gagasan tentang sesuatu benda yang berada. Metafisika tradisional itu menempatkan kategori-kategori akal, misalnya kausalitas, pada idea Allah.

Kategori-kategori—yang merupakan unsur apriori pada tahap akal (verstand)—seharusnya bersintesis dengan penampakan-penampakan inderawi untuk menghasilkan sebuah putusan. Jika kategori-kategori akal (verstand) diterapkan pada idea Allah—yang adalah idea murni—maka metafisika telah melampaui kemampuan dan batas-batas pengetahuannya. Dengan itu berarti m

Metafisika tradisional tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Beruntunglah bahwa metafisika tidak bersifat ”pengetahuan”, karena katanya, ”saya harus menggali pengetahuan dari bawah untuk menciptakan ruang bagi iman.”

Kesimpulan
Dengan pembedaan tiga jenis keputusan dan dengan proses mengetahui dalam tiga tingkatan tersebut, akhirnya dapat disimpulkan bahwa metafisika Kant adalah sebuah usaha untuk membuktikan bahwa sebuah pengetahuan itu mungkin. Dan dengan penyelidikannya terhadap kemampuan dan batas-batas akal budi tersebut, ia mensistesiskan rasionalisme dan empirisme sekaligus menolak paham metafisika tradisional.


read more tariganism...

Kant on History

Sebuah Deskripsi tentang Filsafat Sejarah Kant

I. Pendahuluan
Abad ke-18, the age of reason, acapkali dipandang sebagai jaman yang kurang memperhatikan sejarah, “lacking a historical sense”. Anggapan tersebut tidak cukup beralasan. Tidak hanya memiliki sejarawan besar seperti Voltaire, Gibbon, pada jaman aufklarung ini tidak sedikit filsuf yang memberikan perhatiannya pada tema-tema kesejarahan. Kata filsafat sejarah itu sendiri pertama kali ditemukan dalam tulisan-tulisan Voltaire.

Filsafat sejarah dalam arti modern memiliki dua telaah, pertama ialah telaah kritis dan kedua ialah telaah spekulatif. Dengan telaah kritis yang dimaksud ialah penelitian epistemologis historiographi. Penekanan pada telaah ini ialah bagaimana mekanisme atau cara kerja ilmu sejarah itu sendiri. Sedangkan dengan telaah spekulatif yang dimaksud ialah pencarian arti dan makna sejarah; makna sejarah yang mempengaruhi bingkai manusia melihat dirinya dan dunia tempat dia hidup.

Salah satu filsuf yang memberi pengaruh besar dalam filsafat sejarah kritis ialah Immanuel Kant (1724-1804). Ia menulis beberapa karangan dengan tema kesejarahan. Dua tulisannya yang akan dibahas dalam dalam tulisan ini adalah What is Enlighment dan Idea for a Universal History From A Cosmopolitan Point of View. Pada Paragraf pertama dalam What is Enlighment ia menuliskan “Sapere Aude!” have courage to use your own reason.

Dengan slogan ia ingin mengkritik sekaligus membangunkan manusia-manusia yang selama ini telah meliburkan otaknya dan membiarkan orang lain berfikir untuk dirinya. Slogan ini lah yang akan menjadi fondasi Kant untuk melihat sejarah manusia dan sejarah universal.

II. Filsafat Sejarah Kant

Latar Belakang Pemikiran Kant
Untuk memahami cara Kant melihat sejarah perlulah pertama-tama dipahami tiga tema besar pemikiran filsafat kritisnya. Ketiga hal itu ialah mekanisme sebab-akibat, keunggulan akal budi dan prinsip regulatif teleologi.

Dalam Kritik atas Rasio Murni dan Prolegomena Kant berpandangan bahwa dunia yang kita kenal ini merupakan sebuah sistem gejala dibawah hukum-hukum. Pemahaman kita mengenai dunia gejala tercipta karena akal budi manusia memberikan hukum-hukum a priori terhadap penampakan-penampakan yang kita terima melalui panca indera.

Hukum-hukum itulah yang menjaga jalannya mekanisme sebab-akibat pada alam semesta ini. Hukum ini yang merubah“rhapsody of sensations” menjadi tatanan alam semesta yang teratur seperti yang kita tangkap. Persis layaknya gejala alam: rotasi matahari dan bulan yang dapat diprediksi, predictable, begitu jugalah pengalaman-pengalaman manusia. Segala sesuatu telah ditentukan dalam hubungan sebab-akibat yang terprediksi. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan.

Dalam Kritik atas Rasio Praktis dan the Foundations of the Metaphysics of Morals Kant mengajukan bahwa tindakan-tindakan manusia berada di bawah kewajiban-kewajiban mutlak. Kewajiban bagi Kant adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum. Kata hukum yang dipakai di sini menunjuk pada prinsip obyektif dan rasional bagi tindakan yang harus dijalankan lepas dari segala macam perasaan subyektif. Pada tahap ini ia ingin berbicara bahwa akal budi adalah landasan utama dari moralitas. Hukum moral dalam diri manusia tidak berasal dari alam ataupun dari Tuhan, melainkan dari akal budi. Dengan itu, hukum moral ini dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional.

Dalam The Critic of Judgement Kant mengemukakan bagaimana penggunaan “konsep tujuan” secara tepat. Meskipun konsep tujuan tampak asing dalam dunia fisik, bagi Kant, konsep tujuan merupakan hal yang essensial untuk tindakan-tindakan moral manusia yang telah dibahas dalam akal budi praktis. Tujuan merupakan prinsip regulatif penting untuk membuat interpretasi terhadap alam dan sejarah. Jika interpretasi teleologi alam menjadi tersistematisasi maka pastilah terdapat sebuah tujuan final. Tujuan akhir inilah yang membuat dunia menjadi terorganisasi, terorientasi dan tidak hanya menjadi dunia benda-benda yang tak berujung. Tujuan akhir itu ditemukan Kant dalam diri manusia; manusia yang secara rasional membuat dan mentaati hukum moral di dunia yang tak berarti. Dengan ini dunia haruslah diinterpretasikan sebagai tingkatan untuk evolusi moral dan tindakan manusia.

Kaitan Filsafat Kritis dengan Filsafat Sejarah

Dimanakah letak kaitan antara pemikiran filosofis Kant, di satu sisi, dengan sejarah di sisi lain. Sejarah bukanlah pengetahuan a priori seperti yang terdapat dalam filsafat kritis Kant, melainkan rangkaian kejadian-kejadian manusia secara empiris. Dalam ilmu pengetahuan, manusia dipandang sebagai manusia temporal yang bertindak dibawah hukum-hukum alam. Sedangkan manusia dalam filsafat moral diasumsikan sebagai manusia non-temporal yang memiliki kebebasan sejati. Tetapi, setiap tindakan manusia, termasuk tindakan moral, bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan tempat atau pentasnya di dunia fisik yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Pada titik inilah filsafat sejarah kritis Kant meneliti manusia yang awalnya hanya menjadi bagian dari mekanisme alamiah sebab-akibat kemudian menjadi manusia pencipta yang menjadi bagian masyarakat dalam dunia kebudayaan.

Lepas dari ketertarikannya dalam fakta-fakta sejarah dan pergerakan-pergerakan progresif di jamannya, Filsafat sejarah kritis Kant haruslah ditempatkan sebagai hubungan konseptual antara pandangan Kant mengenai dunia fisik dan dunia moralitas.
Dalam tulisannya Idea for a Universal History From A Cosmopolitan Point of View terdapat satu hal yang bisa dilihat dengan mudah, di satu sisi, tetapi tidak mudah di sisi lain. Dengan mudah dapat dilihat bahwa Kant memproyeksikan sebuah Idea atau proposal sejarah yang kemudian dapat ditindaklanjuti oleh sejarawan-sejarawan dalam proses penelitian sejarah universal manusia di kemudian hari. Sesuatu yang tidak mudah ialah memberikan arti pada kata “Idea”. Kata idea digunakan secara teknis dan mempunyai arti yang sangat ketat. Istilah idea ini diambilnya dari perbendaharaan Plato. Bagi Plato idea merupakan sebuah objek dari rasio murni dalam dunia noumena dimana panca indera berpartisipasi dengan meniru. Sedangkan bagi Kant, idea merupakan ciptaaan akal budi manusia. Idea inilah yang berperan sebagai penuntun bagi pengetahuan teleologi dan bagi pengalaman praktis ataupun moral.

Idea bisa bersifat teoritis maupun praktis. Konsep teleologi merupakan idea teoritis. Konsep teleologi ini mengatur pencarian-pencarian dan memimpin kita untuk menemukan penyebab-penyebab, meskipun penjelasan dalam arti tujuan hanya akan sampai pada penemuan mekanisme sebab-akibat. Sedangkan konsep-konsep tujuan moral dan kesempurnaan yang harus dicapai manusia melalui tindakannya sendiri adalah idea praktis. Mengenai idea kebaikan ia mengatakan bahwa bentuk kebaikan yang pasti dan jelas tidak berasal dari sejarah melainkan dari kerja akal budi. Idea kebaikan ini, pertama, merupakan standar untuk menilai semua ketidaksempurnaan tindakan manusia dan, kedua, merupakan arketipe yang harus dibatinkan dalam karakter kita sebagai manusia. Berbeda dengan Kant, bagi Plato idea kesempurnaan masyarakat tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi di dunia ini.

Kata Idea dalam judul tersebut mempunyai arti: bukan sinonim dari pertimbangan atau pandangan melainkan sebuah model atau bentuk sejarah. Sebagian Idea ini termanifestasi dalam proses historis aktual; sesuatu yang dapat dilihat dan menjadi dasar bagi sejarawan yang kemudian menulis sejarah.

Alam, Negara dan Liga Bangsa-Bangsa
Kata Idea yang digunakan Kant dalam tulisannya meskipun berbentuk tunggal, tetapi memiliki tiga arti fundamental dalam semua tulisan-tulisan sejarahnya. Ketiga arti tersebut ialah Alam, sebagai Idea teoritis, Negara dan Liga Bangsa-Bangsa, keduanya sebagai Idea praktis.

Alam sebagai sebuah Idea bukan sekedar bagian dari mesin fisika dan astronomi yang bekerja berdasarkan hukum kausal. Alam merupakan sebuah kesatuan organik dimana satu bagian saling berhubungan dan tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Untuk itulah pemahaman komprehensif penting untuk mengetahui alam ini.

Setelah melihat alam secara komprehensif dalam determinisme kausal, ia mencoba melihat pandangan klasik mengenai konsep alam sebagai rahim sejarah; sebagai tempat untuk kehidupan manusia. Dalam pandangan klasik kejatuhan manusia diinterpretasikan murni secara alamiah dan originalitas kebudayaan manusia tercipta bagitu saja tanpa adanya sebuah konsensus bersama diantara manusia. Bagi Kant alam adalah ibu atau lebih tepatnya ibu tiri manusia. Alam tidak membuat kemudahan-kemudahan bagi manusia untuk berkembang. Memang alam memberikan eksistensinya pada manusia tetapi tidak berarti alam memanjakan manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Singkatnya, dengan tidak memberikan banyak kemudahan, alam memberikan peluang bagi manusia untuk berusaha dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Manusia tidak akan mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan kecuali manusia secara independen menciptakannya dengan akal budinya.

Idea kedua ialah civil society. Konsep teleologi menunjukkan bahwa alam ini tidak mengahasilkan sesuatu yang sia-sia karena semuanya akan mencapai kepenuhannya. Pada diri manusia, Akal budi tidak diberikan secara alamiah untuk membuat manusia bahagia. Akal budi haruslah mencari fungsi dan perannya yang sesuai dalam kehidupan manusia. Kant menolak kriteria eudamonistik sebagai sebuah kemajuan masyarakat dan menggantikannnya dengan kriteria tingkatan dimana akal budi dikembangkan dan dilatih sebagai alat kebudayaan dan sumber moralitas. Masyarakat dan kebudayaannya bukan sekedar buah dari akal budi tetapi juga kondisi dimana akal budi mencapai kepenuhannya.

Alam menginginkan bahwa manusia dapat menyempurnakan sesuatu yang tidak bisa diberikan alam, yakni kebudayaan dan kehidupan bersama dibawah hukum rasional. Menjadi jelas bahwa tugas manusia ialah menciptakan suatu kehidupan masyarakat bersama yang ditata menurut hukum-hukum rasional berdasarkan akal budi. Dengan menggagas kehidupan bersama berdasarkan hukum rasional itulah manusia mengatasi sifat individualistis yang terdapat dalam dirinya.

Terciptanya kehidupan bersama ternyata juga menciptakan masalah baru, yakni bahwa pemegang aturan dalam hidup bersama tidak lebih daripada seorang monster. Monster ini mengekang manusia untuk menggunakan akal budi mereka secara maksimal. Itu semua dilakukan untuk mengontrol penuh anggota-anggotanya. Bagi jaman pencerahan, strong government, di satu sisi, merupakan sebuah kondisi dan, di sisi lain, merupakan sebuah resiko atau ancaman. Strong gevenment yang menjamin pengembangan cakupan intelektual dan tanggung-jawab kebebasan tanpa menghilangkan stabilitas masyarakat yang adil adalah hal yang harus dicapai oleh sebuah masyarakat.

Pencapaian penuh pemerintah akan tampak dalam kondisi dimana masing-masing individu dapat secara bebas mengekspresikan kepercayaannya dan sekaligus tidak terkekang dalam proses mengetahui. Tidak hanya mendirikan sebuah pemerintah yang kuat, tugas manusia selanjutnya ialah pendirian sebuah kesatuan universal demi mencapai perdamaian yang menyeluruh. Inilah Idea dari Liga Bangsa-Bangsa. Kant melihat bahwa perang merupakan lanjutan dari politik yang seringkali terjadi karena tujuan-tujuan yang tidak penting yang mengakibatkan perampasan hak-hak manusia. Alam menggunakan perang sebagai instrumen untuk menyebar manusia ke seluruh bumi dan menjadikan manusia sebagai komunitas yang tersebar luas. Manusia, untuk itu, mempunyai tugas untuk memberikan jaminan atas penghentian perang. Manusia harus mengatur diri mereka sendiri supaya hak-hak mereka tidak lagi ditindas dan diinjak-injak oleh para perancang perang. Sebuah persekutuan bangsa-bangsa akan membuka peluang bagi kesatuan universal antara dimana akan terjadi perdamaian abadi dan secara secara bertahap juga akan mereformasi sistem-sistem yang tidak menguntungkan kehidupan bersama.

Apakah pada waktu masa yang akan datang alam mampu membuat manusia menjadi manusia moral? Kualitas moral manusia adalah sesuatu yang berada di luar kemampuan alam. Alam merupakan tempat bagi peradaban dan kebudayaan bukan tempat penciptaan moralitas. Alamlah yang telah menanamkan disposisi moralitas dalam diri manusia, tetapi itu bukan berarti bahwa adanya sebuah moralitas adalah natural. Moralitas adalah buah dari kebebasan, sebuah kebebasan yang berdasar pada kemampuan akal budi. Moralitas tidak bisa dipahami secara empiris oleh sejarah maupun secara teoritis oleh filsafat. Filsafat hanyalah membantu manusia untuk memahami sesuatu yang tidak dapat dipahami.

9 Thesis dalam “Idea for a Universal History From A Cosmopolitan Point of View”

1. Segala kemampuan-kemampuan ciptaan ditakdirkan untuk mengalami evolusi sempurna sampai pada titik akhir yang alamiah.
2. Dalam diri manusia kemampuan-kemapuan alamiah yang tampak dalam penggunaan akal budi akan mencapai kesempurnaannya hanya dalam peradaban bersama, bukan secara individual.
3. Alam menginginkan manusia untuk menciptakan segala sesuatu yang melampaui tatanan mekanisme “animal existense”; manusia tidak akan mencapai sebuah kebahagiaan atau kesempurnaan kecuali ia secara independen menggunakan akal budinya.
4. Cara yang digunakan alam untuk mengembangkan seluruh kemampuan-kemampuan manusia adalah dengan tidak memberikan sosialitas secara natural. Sejauh ini, usaha untuk mencapai sisi sosialitas inilah yang menjadi penyebab terciptanya tatanan yang sah dalam masyarakat.
5. Tugas terbesar bagi peradaban manusia adalah mencapai “universal civic society” yang akan mengatur tatanan hukum diantara manusia.
6. Tugas tersebut adalah yang tersulit dan merupakan bagian terakhir yang akan dipecahkan oleh manusia.
7. Permasalahan penegakan suatu “universal civic society” tergantung pada masalah hubungan eksternal yang sah dalam negara dan masalah pertama tidak bisa diselesaikan tanpa menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.
8. Sejarah umat manusia dapat dilihat sebagai sebuah realisasi rencana rahasia alam untuk mencipakan sebuah negara ciptaan yang sempurna sebagai sebuah kondisi dimana kemampuan-kemapuan manusia dapat berkembang. Dan, sebuah relasi eksternal dalam negara akan secara sempurna dan tepat membawa pada kesudahan.
9. Usaha filosofis untuk meneliti sejarah universal berdasarkan pada rencana alamiah yang ditujukan untuk mencapai sebuah “civic union” harus dianggap mungkin dan sungguh-sungguh sebagai sebuah sumbangan pada tujuan akhir alam.


III. Kesimpulan

Filsafat sejarah kritis Kant pada akhirnya bukanlah sebuah sejarah moral melainkan sebuah perjalanan manusia yang berkembang menuju sebuah titik akhir yang dicapai manusia dengan kemampuan akal budinya. Dengan itulah manusia menjadi manusia yang bermoral. Inilah sebuah pandangan ke masa depan yang menujukkan bahwa tujuan dari peradaban manusia dapat terlaksana di dunia ini dengan akal budi. Dengan kebebasan yang mengubah tatanan natural dan historis, manusia memasuki dunia yang sejati.
Bagimana sejarah a priori bisa menjadi mungkin? Itu akan menjadi mungkin jika manusia sendiri menciptakan dan mengusahakan kejadian-kejadian yang telah diprediksikannya. Idea sejarah akan terwujud hanya jika manusia bertindak dalam kepercayaan bahwa hal tersebut mungkin untuk diwujudkan dengan akal budinya. Sejarah bukanlah titipan atau warisan dari masa lampau melainkan sebuah bentukan manusia yang berakal budi dan dengan itu bermoral.



Sapere Aude—have courage to use your own reason!

read more tariganism...

Perempuan Berkalung Sorban

Obor Perjuangan dan Hermeneutika Teks-Teks Agama

“Biarkanlah aku bebas agar seperti matahari...
Aku memakai pakaian api, dan di dalam api itu, seperti matahari, menyinari dunia.” (Rûmî)

Pada mulanya adalah tugas, tepatnya tugas Filsafat Islam. Demi itulah penulis mencari-cari informasi, bioskop manakah yang masih menayangkan film ini? Beruntung bahwa masih ada satu 21teather yang masih menayangkannya. Alhasil, demi tugas, pergilah penulis ke Mall Daan Mogot demi menonton film ini. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis atas film tersebut.

Adakah sesuatu yang baru dari film Perempuan Berkalung Sorban (PBS)? Bukankah sejarah telah bercerita banyak tentang perjuangan perempuan demi kesetaraan? Beberapa pertanyaan tersebut sejenak memenuhi hati dan budi penulis selepas menonton film besutan Hanung Bramantyo ini. Setelah beberapa hari mengambil jarak dari dari film PBS tersebut, penulis mendapatkan beberapa gagasan yang hendak dipaparkan.
Gambaran yang tepat untuk mewakili gagasan tersebut adalah “hati dan budi”. Pada bagian hati, film ini dengan lugas bercerita tentang perjuangan muslimah Annisa demi sebuah kesetaraan. Pada bagian budi, film ini ingin mengangkat sebuah tema, yakni hermeneutika (pembacaan) kritis terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Berangkat dari pemahaman di atas, pada bagian pertama, penulis akan menceritakan kembali secara ringkas narasi PBS. Pada bagian kedua, penulis akan masuk pada bagian hati yakni perjuangan perempuan demi sebuah kesetaraan. Pada bagian selanjutnya, ketiga, penulis akan menilik dimensi budi yakni, bagaimana para ahli berbicara tentang hermeneutika kritis terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penempatan hati pada awal dan budi kemudian bukanlah sebuah penempatan prioritas. Keduanya sama penting, keduanya saling terkait. Ibarat seorang manusia, tanpa hati ia adalah seperangkat mesin yang hidup secara mekanistis. Sebaliknya, tanpa budi, ia adalah seonggok daging yang terhempas tiupan angin.


A. Annisa binti Hanan
Film PBS ini mengambil setting sekitar tahun 1980-an di pesantren Salafiah Putri Al Huda, Jawa Timur. Film yang diangkat dari novel karya Abidah Al Khalieqy ini diwali dengan deburan ombak pantai yang seakan bersorak sorai pada Annisa kecil yang sedang belajar menunggang kuda. Belum lagi ombak itu selesai bertepuk tangan, Annisa, putri Kyai Hanan pemilik Pesantren Salafiah Putri Al Huda, harus berhadapan dengan kenyataan yang dia sendiri pun belum mengerti halnya. Pertanyaan pertama sekaligus menghentak ialah “Kenapa? Kenapa aku tidak boleh naik kuda? Apakah karena aku perempuan?”

Konteks dimana Annisa lahir dan dibesarkan adalah budaya Islam patriarkis yang dengan tegas membuat garis demarkasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam berbagai momen, Annisa harus berkali-kali “bertabrakan” dengan realitas bahwa ia adalah perempuan. Mengapa perempuan tidak boleh berkuda? Mengapa perempuan tidak boleh menjadi ketua kelas? Mengapa perempuan tidak boleh sekolah di luar kota? Mengapa perempuan tidak boleh nonton bioskop? Mengapa perempuan tidak boleh membaca buku-buku sekular? Mengapa perempuan tidak boleh memilih jodohnya sendiri? Mengapa dan mengapa?

Dalam pertanyaan “mengapa” tersebut, Annisa tampil sebagai penetang. Ia mempertanyakan berbagai aturan dan dogma yang begitu saja diandaikan (taken for grranted) kebenarannya. Terhadap segala sesuatu yang mengekang, ia membangkang. Di lain sisi, Kyai Hanan tidak segan-segan menampar jika putri semata wayangnya itu bertindak laiknya seorang Adam.

Dalam pergulatan hati Annisa, tampillah Khudori, paman dari Ibu. Sosok Khudori menawarkan mimpi dan harapan bagi Annisa. Ialah tempat curahan hati Annisa dikala hati kusut tak terurai. Tak pelak, Annisa pun menyematkan cinta pada Khudori. Khudori tak berani membalas cinta itu sebab ia bukanlah putra Kyai seperti yang diharapkan oleh Abi Annisa. Belum lagi cinta itu terbalas, cinta harus terpisah samudera luas. Khudori melanjutkan sekolahnya di Kairo, Mesir.

Hilangnya sosok Khudori mengguncang Annisa dan berujung pada pernikahannya dengan Samsudin seorang anak Kyai dari pesantren Salaf, pesantren terbesar di Jawa Timur. Apa daya, niat kuliah di Jogya hilang tertiup angin. Annisa kini terperangkap dalam nestapa sang istri. Relasi suami-istri yang dipahami oleh Samsudin, suaminya, telah menempatkannya tidak lebih dari budak; budak dalam urusan dapur juga budak dalam urusan nafsu, pun kalau itu harus terjadi di dapur. Samsudin putra Kyai kondang ini berpegang teguh bahwa istri harus tunduk pada keinginan suami. Belum cukup dengan itu, tidak jarang “bogem mentah” pun melayang di wajah ayu Annisa.

Ketegangan rumah tangga Annisa semakin menjadi terjadi ketika Kalsum, seorang perempuan yang sedang hamil tua, menyambangi rumah Annisa. Kalsum datang untuk menuntut Samsudin untuk bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Hati siapa tidak terluka melihat suami telah mendua? Sekali lagi Annisa harus menelan pil pahit. Dengan alasan bahwa Nabi Muhammadd S.A.W juga mempunyai istri lebih dari satu, Ia harus menerima Kalsum menjadi istri kedua Samsudin. Kini mereka tinggal berempat di bawah satu atap: Annisa, Samsudin, Kalsum dan anak yang dilahirkannya.
Derita tak bertepi itu telah mendorong Annisa untuk meninggalkan Samsudin dan bertemu dengan Khudori. Annisa bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Ia ingin bercerai dengan Samsudin dan meminta Khudori menikahinya. Sebagai pemuda Islam taat sekaligus terpelajar, Khudori tidak berani menyanggupi keinginan Annisa untuk menikahinya karena ia masih terikat dengan Samsudin.

Pertemuan rahasia tersebut ternyata diketahui Samsudin. Tanpa bisa mengelak, Annisa dan Khudori tertangkap berdua dan difitnah dengan tuduhan berzina. Rajam adalah hukuman untuk itu. Beruntung, belum lagi semua batu mendarat di tubuh Annisa dan Khudori, Umi datang dan berkata, “Siapa yang tidak berdosa silahkan melemparkan batunya”.

Persis setelah kejadian itu Abi Annisa menghadap Rahmatullah. Persis saat itulah perjuangan Annisa kembali terbuka. Ia bercerai dengan Samsudin dan kemudian melanjutkan kuliah di Jogya. Pada masa-masa kuliah itulah, Khudori datang menyatakan cinta dan keseriusannya untuk menikah dengan Annisa. Khodori dan Annisa akhirnya merajut rumah tangga di Jogya. Keduanya memulai merajut kembali mimpi yang selama ini telah menghilang.

Kisah manis itu tidak bertahan lama. Setelah Annisa dan Khudori memutuskan untuk kembali ke pesantren, tragedi itu terurai kembali. Urusan dengan Samsudin tidak bisa begitu saja dihentikan karena Pesantren Al-Huda berhutang banyak pada pesantren Salaf. Urusan cinta, harta dan dogma kini melebur menjadi satu.
Annisa lagi-lagi harus berhadapan dengan tantangan besar. Khudori, sang suami sejati, harus pergi lebih dahulu meninggalkan Annisa. Tanpa diketahui oleh Annisa, Khudori sebenarnya dengan sengaja ditrabrak oleh orang suruhan Samsudin. Pahit, tetapi Annisa tidak menyerah. Dengan bantuan Umi, Annisa bangkit lagi dari keterpurukan tersebut.

Buluh yang terkulai, itu tidak terpatahkan. Pengalaman telah mengasah Annisa menjadi perempuan yang tangguh. Dalam seluruh perjuangannya, Annisa berhasil merubah paradigma pesantren Al-Huda. Annisa membawa obor baru bagi para santriwan. Tidak ada lagi buku-buku sekular yang dibakar. Perpustakaan itu adalah simbol keberhasilan. Annisa telah membawa perubahan dan harapan bagi kaummnya. Jauh di dalam, Annisa telah menancapkan tonggak baru yakni, perempuan juga dicintai Allah.

B. Ketika Hati Bicara: Perjuangan Annisa Demi Kesetaraan
Dalam film PBS ini paradigma tentang perempuan terbagi dua. Pertama, mereka yang mengangap bahwa perempuan sebagai mahluk lemah yang tidak berkebebasan, tidak mempunyai akal pikiran, mahluk yang harus diatur dan diarahkan. Posisi ini diwakilkan oleh Kyai Hanan dan seluruh komponen yang berpengaruh di Pesantren Al-Huda, tidak terkecuali Samsudin dan keluarga. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa perempuan, meskipun berbeda secara fisik, namun makhluk yang diciptakan setara dengan laki-laki dengan itu tidak bisa diperlakukan dengan semena-mena. Posisi ini diwakilkan oleh Annisa, Khudori dan LSM perempuan tempat Annisa bekerja.

Apakah posisi yang pertama bisa dibenarkan atau sebaliknya, posisi kedualah yang menjadi acuan? Oposisi kedua pandangan tidak bisa tidak menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar yakni, “Bagaimanakah sebenarnya Islam menempatkan perempuan?”

Seyyed Hossein Nasr menulis, “….di hadapan Tuhan, di depan realitas eskatologis paling hakiki, dan di hadapan hukum, ya mereka sama, tetapi di dalam dunia, tidak selalu harus sama.

Terkait pertanyaan yang sama Munawir Sjadzali mengutip Al Qur’an surah al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling berkenalan. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di muka Allah adalah ia yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal”. Sadzali melanjutkan, “Satu hal yang tampaknya kurang mendapat perhatian kita adalah bahwa aya tersebut juga menginsyaratkan persamaan kedudukan antara pria dan wanita yang merupakan asal dari umat manusia yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa dan suku itu. Kalau umat manusia yang lahir dari pasangan suami istri itu menikmati persamaan kedudukan di antara mereka, maka logikanya sepasang suami istri dari mana umat manusia itu berasal juga memiliki persamaan kedudukan di antara mereka berdua, tanpa perbedaan yang didasarkan atas kelamin. Singkatnya, menurut Islam kedudukan pria dan wanita itu sama.”

Budhy Munawar-Rachman dalam pengantar buku Nasr menulis, “Golongan Islam liberal harus berjuang keras melawan interpretasi atas pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur;an yang selama ini dalam tradisi telah ditafsirkan secara misogis (prasangka kebencian terhadap perempuan) dalam budaya patriarkhi. Seolah-olah memang Al-Qur’an telah meneguhkan ketidaksetaraan secara gender antara laki-laki dan perempuan.”

Seorang aktivis perempuan, Nong Darol Mahmada dalam sebuah tulisan lepasnya pernah menulis, “Sebagai perempuan yang dilahirkan dari orang tua yang beragama & bertradisi Islam dan kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama yang saya peluk, tentu saya ”terganggu” dengan pemahaman Islam seperti ini. Saya tak percaya kalau agama yang saya anut mendiskriminasikan jenis kelamin saya, perempuan. Karena saya percaya tidak mungkin Allah, Sang Pencipta, menciptakan manusia (laki-laki & perempuan) dan kemudian bersikap tidak adil pada salah satu ciptaannya.”

Dari ketiga pendapat di atas dapat ditarik sebuah benang merah yakni pada dasarnya dalam Islam, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama di hadapan Allah. Namun juga harus diakui bahwa ini bukanlah jawaban mutlak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian umat Muslim yang berbeda pandangan dengan keempat pandangan tersebut di atas.

Akhirnya, seperti ditulis oleh Budi Munawar-Rachman masalah ini kembali lagi pada bagaimana kita membaca sebuah teks, “Isu ketidaksetaraan tersebut, selama ini dalam tradisi telah memperoleh legitimasi pembenaran Al-Qur’an. Para pemikir Muslim memperjuangkan tema ini dan susah payah membuat penafsiran baru dan mereka—karena berhadapan dengan teks sakral yang telah dianggap membenarkan ketidaksetaraan gender—akibatnya tidak bisa mengambil posisi yang liberal syariah. Posisinya adalah harus mengkaji ulang secara radikal, maka muncullah model hermeneutik interpreted syari’ah. Mereka kemudian melakukan sesuatu yang boleh jadi bertentangan dengan makna teks Al-Qur’an yang literal. Atau malah harus melakukan pembacaan ulang terhadap Al-Qur’an itu.”

Pada akhirnya, Annisa dalam film PBS menggambarkan sebuah posisi hati yakni Allah juga mencintai kaum perempuan. Allah tidak ingin kaum perempuan diperlakukan tidak adil karena Allah adalah cinta. Dan rahmat serta kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS Al A’raf [7]:156).

C. Ketika Budi Berkata: Hermeneutika Ayat-Ayat Suci
Seperti sudah penulis utarakan pada bagian awal, pada budi ini penulis akan mencoba memaparkan dari berbagai sumber tentang hermeneutika ayat-ayat suci Al-Qur-an. Masalah tafsir ini memang tidak bisa disejajarkan dengan perihal matematis dimana hasil yang dicapai adalah mutlak, hitam di atas putih. Hermeneutika ayat-ayat suci mempunyai sejarah yang sangat panjang. Dan jika itu dirunut mundur kebelakang, persis kita akan kembali lagi pada jaman Nabi.

Namun, pada kesempatan ini tidak bermaksud dan tidak berkompeten untuk menulis sebuah sejarah komprehensif hermeneutika teks-teks suci Al-Qur’an. Hermeneutika yang akan penulis paparkan dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Budi Munawar-Rachman dalam Introduksi buku The Heart of Islam.

Saat ini terdapat tiga model hermeneutika yang berkembang di kalangan pemikir Islam. Model yang pertama ialah liberal syari’ah (syariat yang liberal); kedua, model silent syari’ah (syariat yang diam mengenai masalah itu); model interpreted syariah (syariat yang perlu ditafsirkan ulang).

Model yang pertama, liberal syariat. Mereka yang berada dalam model ini berpendapat bahwa jika dipahami dengan benar, sebenarnya syariat itu sendiri sejak awal sifatnya sudah liberal. Mereka berargumen bahwa Islam sudah sedari awal mempunyai solusi, jalan keluar atas masalah-masalah Islam kontemporer, mis. penghargaan terhadap pluralitas agama.

Dalam mendukung model ini, mereka yang berada dalam model ini menggunakan dan menonjolkan ayat-ayat Al-Qur’an yang liberal. Golongan liberal syari’ah ini sangat mementingkan autentisitas. Untuk itulah mereka selalu mencari dukungan ayat-ayat Al-Qur’an maupun Sunnah untuk mendukung gagasan-gagasan mereka mengenai Islam Liberal. Keyakinan mereka adalah menjadi liberal adalah bagian perintah Tuhan.
Harus diakui bahwa argumen dari golongan liberal syari’ah ini kadang-kadang bersifat apologetik. Apologetik di sini misalnya: mereka mengungkapkan bahwa liberalisme dalam Islam lebih dulu dari liberalisme di dunia Barat, sebelum ada demokrasi Barat, nilai-nilai demokrasi itu telah ada dalam Islam. Fokus utama liberal syari’ah ini memang isu-isu di sekitar masalah sosial-politik seperti misalnya civil society, HAM, juga masalah agama dan sains.

Model yang kedua, silent syari’ah. Mereka yang berada dalam model ini juga hendak membangun autentisitas Islam. Namun, berbeda dari golongan liberal syarita mereka beranggapan bahwa autentisitas Islam dibangun dari anggapan bahwa Islam tidak berbicara tentang isu-isu komtemporer.

Anggapan bahwa Islam tidak berbicara tentang isu kontemporer telah membuka sebuah cara berfikir kreatif dalam memikirkan hal-hal kontemporer tersebut. Agama justru mendorong kreativitas tersebut. Seperti misalnya masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial, bagi golongan silent syari’ah memang diperlukan suatu kreativitas baru untuk memikirkan hal itu. Bagi mereka, umat Islam sudah seharusnya peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kemajuan jaman.

Kalangan silent syari’ah juga bersandar pada Al-Qur’an tetapi mereka tidak terlalu disibukkan dan dibebani dengan pembuktian teks-teks Al-Qur’an. Bagi mereka, syariat sebenarnya tidak mengatur seluruh persoalan manusia. Kalangan silent syari’ah lebih beranggapan bahwa Al-Qur’an itu lebih berbicara tentang moral dan spiritual ketimbang soal detail kehidupan sosial dan politik.

Model ketiga, interpreted syari’ah. Mereka yang berada dalam model ini beranggapan bahwa syariat perlu ditafsirkan kembali. Hermeneutika interpreted syari’ah ini adalah yang paling kontroversial diantara ketiganya. Pada dasarnya mereka mengedepankan suatu epistemologi yang menegaskan perlunya keragaman di dalam cara menafsirkan teks-teks keagamaan.

Bagi model ini, ketidaksetujuan atas suatu tafsir sangat diperlukan. Oleh karena itu mereka membela sebuah pemahaman tentang kebenaran yang memerlukan dialog. Dialog disini artinya mempelajari terus-menerus agama, bukan sebagai kata benda melainkan sebagai kata kerja. Maka dari itu mereka mendukug sikap demokratis dalam beragama, karena demokrasi merupakan suatu penerimaan atas perbedaan pendapat di dalam menafsirkan agama. Syariat bagi mereka tidak turun langsung dari Allah melainkan merupakan penafsiran manusia.

Dari pemaparan singkat atas ketiga aliran tersebut, bagaimanakah kini film PBS bisa kita maknai? Film PBS yang menggambarkan perjuangan perempuan Islam dalam mencari makna hidup sejatinya menggunakan ketiga pendekatan hermeneutika di atas. Ada saat dimana film ini menunjukkan liberal syariah, silent syariah dan interpreted syariah.
Satu hal yang dapat dipastikan ialah film PBS ini beroposisi dengan syariah fundamentalis yang mengedepankan tafsir literal terhadap teks-teks agama. Annisa dalam berbagai kesempatan bertanya mengapa ini dan mengapa itu. Apakah teks bahwa suami berkuasa terhadap istri diartikan bahwa sang istri harus selalu siap menjadi penyaluran nafus suami? Apakah seorang santriwati harus melulu membaca Al-Qur’an dan dengan itu mengharamkan membaca buku-buku selain Al-Qur’an? Dan masih banyak pertanyaan budi yang dilontarkan oleh Annisa berkaitan dengan tafsir literal terhadap Al-Qur’an.

D. Ketika Hati dan Budi Bersua: Siapakah Islam?
Dari pemaparan di atas, pertanyaan akhir yang kiranya harus dijawab ialah, “Siapakah Islam?” berangkat dari pengalaman pribadi, penulis merasa sebagian besar Islam yang penulis kenal bukanlah seperti apa yang digambarkan oleh kaum konservatif di pesantren Al-Huda. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pemahaman manusia tentang agama, penulis merasa pendekatan literal, meskipun ada, sudah semakin ditinggalkan.

Melalui pendekatan literal terhadap teks-teks agama, kita mau tidak mau menafikan kondisi historitas manusia dan dengan itu juga historisitas teks-teks agama. Teks-teks agama, seberapapun sucinya, tidak akan bermakna apa-apa tanpa manusia. Jika dirunut kebelakang, kita harus mengakui bahwa pernah suatu saat ketika teks itu tidak ada. Itulah yang penulis maksud dengan historis bahwa teks tidak bisa dilepaskan dari konteks.

Akhirnya, ukuran penting yang tidak boleh terlupakan ialah manusia itu sendiri. Hermenetika itu pada akhirnya harus ditatapkan pada pertanyaan, “Bagaimanakah manusia telah diperjuangkan?’

E. Kesimpulan
Setelah menonton film PBS dan membaca beberapa buku berkaitan dengan keislaman satu hal yang dapat penulis ajukan ialah: umat Muslim secara sungguh bergulat mencari cara untuk mencapai sebuah Rahmatan Lil Alamin.

Seperti dituliskan Sjadzali, “Islam yang dibawa oleh Nabi besar Muhammad SAW dulu adalah betul-betul Rahmatan Lil Alamin; pemberi petunjuk kepada mereka yang sesat jalan; penegak keadilan; pembela mereka yang lemah; pelopor peningkatan martabat kaum wanita; pemberi kedamaian kepada mereka yang saling bermusuhan; pendorong pencarian kebenaran lewat ilmu pengetahuan. Dengan demikian Islam telah memberikan sumbangan yang amat besar kepada perkembangan umat manusia.

read more tariganism...

Demokrasi di Indonesia: Yang Belum Sempurna

Indonesia’s relatively peaceful transition to democracy over the past nine years, particularly the free and fair elections in 2004, has earned the citizens the prestigious Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC). “Indonesia is a shining example to the world,” Ben Goddard, President of IAPC, said while presenting the award to President Susilo Bambang Yudhoyono on Monday (Jakarta Post, Tuesday Nov 13th 2007)

Robert A. Dahl (selanjutnya Dahl) pernah menulis, “Seperti halnya rezim negara-negara kota, rezim-rezim demokrasi modern masih jauh dari kriteria demokrasi yang ideal.” Apa artinya? Ini bisa dilihat dari cara pandang bahwa, pertama, demokrasi modern masih menyisakan banyak hal sebelum mencapai sebuah ideal demokrasi. Kedua, demokrasi dengan itu bukanlah sebuah produk sekali jadi, melainkan sebuah proses yang terus menerus harus diusahakan.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan dua titik: titik faktual dan titik ideal. Sebagai titik faktual adalah beberapa kasus yang berhubungan dengan proses demokrasi di Indonesia pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Sedangkan sebagai titik ideal adalah prinsip-prinsip dan kondisi-kondisi dalam ideal demokrasi. Dengan pemaparan kedua titik tersebut, saya ingin menarik hubungan bahwa Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC) bukanlah sebuah kata final untuk demokrasi di Indonesia melainkan sebuah undangan untuk berjuang demi tegaknya demokrasi di bumi nusantara ini.

Hitam-Putih Indonesia
Lahirnya era reformasi pada Mei 1998 ditandai dengan pengalaman pahit yang sulit dilupakan. Amarah rakyat yang membabi-buta terhadap rezim orde baru yang dikomandoi oleh Soeharto dan krisis ekonomi berbuntut pada kerusuhan rasial. Di kota-kota besar terjadi pembumi-hangusan toko-toko, penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Pencapaian cita-cita kebebasan dari kungkungan rezim otoriter orde baru justru telah menodai kebebasan itu sendiri.

Pada Maret 1999 di Sambas pecah kembali kerusuan rasial antara suku Melayu-Dayak di satu pihak melawan suku Madura di pihak lain. Ratusan korban—sebagian besar adalah suku Madura—tewas dalam kerusuhan ini. Kerusuhan ini juga berlanjut pada gelombang pengusiran suku Madura dari tanah Melayu-Dayak. Tiga tahun setelahnya—September 2001—kerusuhan rasial besar terjadi lagi di Sampit. Pertikaian rasial ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sambas. Perang antara suku Dayak dan Madura sekali lagi menelan korban jiwa yang tidak sedikit.

Bangsa ini kemudian juga tercoreng dengan kerusuhan-kerusuhan yang bernada agama. Di Poso dan beberapa daerah sekitarnya pihak Islam dan Kristen bertikai saling bunuh atas nama “iman”. Di Ibukota Jakarta dan beberapa tempat di P. Jawa, tempat-tempat ibadah tidak luput dari pengeboman dan pengrusakan. Kebebasan beragama maupun menajalankan ibadat sesuai dengan agama masing-masing telah tercoreng. Bahkan oleh negara sendiri, agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan minoritas diperlakukan secara diskriminatif melalui perundang-undangannya. Otonomi daerah, misalnya, justru malah menimbulkan perda-perda syariah di pihak Islam dan rencana peraturan daerah yang bernafaskan Injil di pihak Kristen. Keduanya pada hakikatnya merupakan penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 45.

Kasus lain lagi, sejak WTC di Amerika Serikat diporak-porandakan oleh kelompok garis keras, dunia umumnya dan Indonesia khususnya berhadapan dengan gelombang terorisme global. Pecahnya bom bali 1dan 2 yang menelan ratusan korban—sebagian besar warga asing—membuat Indonesia memperoleh cap sebagai negara teroris. Peledakan hotel JW Marriot dan teror-teror bom seperti yang dialami dua kampus: UI dan UKSW Salatiga dan banyak tempat lain semakin menumbuhkan rasa tidak aman, takut, cemas pada warga negaranya.

Tidak sekedar karena tindakan anarkis-fisik, bangsa ini juga semakin terpuruk oleh praktek-praktek korupsi dari tingkat pemerintahan yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah. Praktek-praktek ini sampai sekarang masih sulit untuk diberantas secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan korupsi dilaksanakan a la kadarnya, tebang pilih, tergantung kepentingannya. Instrumen hukum dan mekanisme pemberantasan korupsi dijalankan secara minimalis. Pemimpin politik yang patriotik yang siap lahir-mati memberantas korupsi pun tidak kujung datang. Malahan, perangkat-perangkat penegak hukum (kepolisian, kejaksaaan, pengadilan) dan komisi-komisi yang dibuat untuk memberantas korupsi juga tidak bebas dari praktek-praktek suap.

“Mentalitas maling” inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi bangsa ini berjalan lambat. Sulitnya mendapat pekerjaan dan mahalnya biaya pendidikan semakin dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa jurang kesenjangan sosial antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat semakin terbuka lebar. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai selalu saja terjegal oleh kepentingan memperkaya diri oleh segelintir pihak. Kemiskinan struktural, dengan itu, semakin meluaskan jangkauannya. Reformasi yang dicita-citakan hanya berjalan di tempat. Tidak terlihat terjadinya sebuah perubahan yang signifikan menuju sebuah konsolidasi bangsa.

Di sisi lain, pada tubuh TNI penyakit lama pun muncul kembali, yakni menjadi alat kekuasaan. TNI tidak sungguh meninggalkan percaturan politik dan tidak fokus dengan kewajiban utamanya, yaitu menjaga keutuhan NKRI. Tindakan-tindakan represif terhadap masyarkat sipil pun terulang kembali. Salah satu kasus setelah era reformasi di mana TNI tampil dengan arogansinya ialah kasus Alas Tlogo, Jawa Timur. TNI justru sibuk dengan urusan sengketa tanah yang membawa korban tewas pada masyarakat sipil.

Beberapa contoh kasus di atas bukan pertama-tama ditujukan untuk membuat daftar panjang cacat bangsa setelah jaman reformasi. Pemandangan singkat di atas sengaja dipaparkan untuk menunjukkan situasi kondisi bangsa yang sedang sakit. Masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah atomisasi, yakni terfragmentasinya masyarakat dan hilangnya keinginan untuk mencapai kepentingan bersama. Dalam situasi inilah DEMOKRASI sebagai sebuah bentuk pemerintahan tidak bisa tidak harus dilaksanakan secara maksimal.

Demokrasi sebagai sebuah ideal
Secara historis konsep demokrasi digunakan dalam negara kota di jaman Yunani kuno. Pemerintahan rakyat yang dijalankan dalam negara kota ini berlangsung dalam luas wilayah yang kecil dan populasi penduduk yang sedikit. Dalam situasi dan kondisi tersebut potensi terjadinya negara yang domokratis dapat terjadi. Dari ideal demokrasi pada negara kota, Dahl menarik beberapa prinsip umum dalam proses demokrasi yang juga mendasari demokrasi modern. Ia menggambarkan proses ideal demokrasi secara teoritis dalam lima kriteria.
1. Persamaan Hak Pilih. Dalam membuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.
2. Partisipasi Efektif. Dalam seluruh pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja nasional, setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3. Pembeberan Kebenaran. Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan suatu keputusan, setiap warga negara harus mempunyai peluang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4. Kontrol Terakhir Terhadap Agenda. Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda.
5. Pencakupan. Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya denga hukum, kecuali pendatang sementara.

Hal-hal ini penting diutarakan karena tidak mungkin terjadi pemerintahan rakyat jika kelima proses tersebut tidak dijalankan untuk membuat sebuah keputusan bersama.
Dalam perkembangannnya demokrasi juga digunakan dalam konteks negara bangsa. Perbedaan mendasar dari negara kota dan negara bangsa ialah luas wilayah dan jumlah populasi. Menjalankan proses demokrasi dalam negara bangsa tidak semudah dalam negara kota karena negara bangsa memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah penduduk yang lebih besar. Khusus untuk Indonesia, proses demokrasi bahkan memiliki tantangan geografis yang lebih khusus lagi, yakni negara kepulauan.

Dengan tetap berpegang pada definisi bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat Dahl memaparkan bagaimana demokrasi modern memiliki kriteria-kriteria khusus dibandingkan dengan demokrasi pada negara kota.
1. Kontrol atas keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijaksanaan secara konstitusional dibebankan pada pejabat-pejabat yang dipilih.
2. Para pejabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur, setiap unsur-unsur paksaan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan.
3. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak dalam memilih pejabat-pejabat resmi.
4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih sebagai pejabat resmi dalam pemerintahan, meskipun batas umur untuk dipilih mungkin lebih tinggi daripada batas umur untuk memilih.
5. Warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman untuk dihukum mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para pejabat, pemerintahan, rezim, tata sosial ekonomi dan ideologi yang berlaku.
6. Warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, karena memang sumber-sumber dimaksud ada dan dilindungi hukum.
7. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut di atas, setiap warga negara juga mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi yang independen, termasuk partai-partai politik dan kelompok kepentingan bebas.

Indonesia dalam umurnya yang ke-62 ini telah mengalami tiga bentuk demokrasi. Empat tahun setelah kemerdekaan, 1950, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan demokrasi liberal atau yang lebih dikenal dengan demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer dengan segala hiruk pikuk pergantian kabinet hanya berjalan singkat. Soekarno kemudian menerapkan demokrasi terpimpin yang pada akhirnya menamatkan riwayat Soekarno dalam kancah perpolitikan Indonesia. Setelah itu sampai hari ini, Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila. Pancasila haruslah diartikan dan dimaknai dalam konsep dasar negara yang mempersatukan seperti yang diinginkan oleh para founding fathers bangsa ini. Hal ini perlu dikemukakan karena Pancasila selama orde baru telah mengalami degradasi makna di mana Pancasila dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan rezim otoriter selama orde baru.

Ideal Demokrasi Pluralis
Demokrasi Pancasila dapat dimasukkan dalam demokrasi politik menurut kaum pluralis. Kaum pluralis di sini adalah mereka yang mementingkan kesatuan kepentingan individu sebagai kepentingan kelompok. Demokrasi politik pluralis ini dapat ditafsirkan sebagai sistem pemerintahan yang menengahi kepentingan-kepentingan dalam kelompok-kelompok masyarakat sehingga diperoleh keseimbangan sosial. Kepentingan-kepentingan kelompok termanifestasi dalam proses politik, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam kelompok-kelompok non politis: kelompok berdasarkan ekonomi, sosial, agama, daerah atau suku bangsa.

Teori demokrasi pluralis ini menempatkan demokrasi sebagai sebagai penjamin dan pelindung kebebasan individu terhadap kekuasaan yang tak terkendali dari negara yang terpusat. Checks dan balances adalah upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat untuk mencapai perlindungan dan penjaminan terhadap kebebasan individu melalui pemilu yang teratur.

Dari kerangka ontologis sosialnya, Carol C. Gould mengemukakan bahwa teori pluralis memiliki ontologi campuran. Ontologi campuran ini berbeda dengan ontologi individualisme liberal yang mengagung-agungkan kebebasan individu. Dalam kerangka ontologi campuran, kehidupan sosial, pada satu sisi, terdiri dari individu-individu yang mengejar kepentingan pribadi mereka. Tetapi, di sisi lain, kehidupan sosial itu terbentuk oleh individu-individu itu sendiri.

Beberapa cirinya kemudian ialah (1) hubungan-hubungan sosial yang terjadi ialah hubungan antarkelompok daripada hubungan antarindividu. (2) Kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda menjalin hubungan demi sebuah kepentingan yang lebih besar lagi. (3) Masyarakat kemudian bukan bersifat masyarakat individual melainkan masyarakat kelompok. Semunya ini disebut sebagai campuran karena pada satu titik ingin mempertahankan unsur individualitas tapi di titik lain ingin memberi penekanan pada kesatuan pada tingkat kelompok.

Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika’ dapat menjelaskan teori demokrasi pluralis dalam konteks Indonesia. Bahwa meskipun terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, Indonesia tetap satu kesatuan.
Maka dari itu sebagai sistem politik demokrasi pluralis, demokrasi Pancasila Indonesia harus menegakkan dua hal:
1. Hak Asasi Manusia
2. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama
Kedua cara itu dapat dicapai hanya melalui RULE OF LAW—penegakan keadilan.

Proses Panjang Demokrasi
Setelah hampir ribuan tahun setelah dicetuskannya, demokrasi ternyata tidak menjadi puing-puing kuno yang ditinggalkan. Dalam perjalanan waktu dan ruang, demokrasi sebagai sebuah proses mengalami adaptasi-adaptasi untuk mencapai titik idealnya. Di Indonesia, demokrasi kiranya masih berumur muda dan terlalu cepat untuk dikatakan bahwa demokrasi telah mencapai titik idealnya. Untuk menuju pada ideal demokrasi itu, maka setiap warga negara kiranya harus mengalami sebuah pendidikan demokrasi yang mendewasakan.

“Indonesian people, through, demonstrations, brought about the collapse of the thyrannical Soeharto regime in 1998 and in 2004 the country held largest single-day election ever held in the world, which went peacefully. Indonesia which has the muslim population, also showed to the world that Islam and democracy not only coexist, but they can can be compatible and support one another.” Goddard said. (Jakarta Post, Tuesday Nov 13th 2007)

Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC) lebih tepat jika dibaca sebagai undangan untuk menegakkan panji demokrasi di negeri ini ketimbang dibaca sebagai sebuah kemenangan demokrasi di negeri ini, karena pada realitasnya masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk mencapai sebuah ideal domokrasi. Demokrasi di Indonesia: Yang Belum Sempurna…


Sumber
1. Dahl, Robert A, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: CV Rajawali.
2. Gould, Carol C, 1993, Demokrasi Ditinjau Kembali, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
3. Tempo, Edisi Khusus Kemerdekaan, Pergulatan Demokrasi Liberal, edisi 13-19 Agustus 2007. Jakarta.


read more tariganism...

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP