Perempuan Berkalung Sorban

Obor Perjuangan dan Hermeneutika Teks-Teks Agama

“Biarkanlah aku bebas agar seperti matahari...
Aku memakai pakaian api, dan di dalam api itu, seperti matahari, menyinari dunia.” (Rûmî)

Pada mulanya adalah tugas, tepatnya tugas Filsafat Islam. Demi itulah penulis mencari-cari informasi, bioskop manakah yang masih menayangkan film ini? Beruntung bahwa masih ada satu 21teather yang masih menayangkannya. Alhasil, demi tugas, pergilah penulis ke Mall Daan Mogot demi menonton film ini. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis atas film tersebut.

Adakah sesuatu yang baru dari film Perempuan Berkalung Sorban (PBS)? Bukankah sejarah telah bercerita banyak tentang perjuangan perempuan demi kesetaraan? Beberapa pertanyaan tersebut sejenak memenuhi hati dan budi penulis selepas menonton film besutan Hanung Bramantyo ini. Setelah beberapa hari mengambil jarak dari dari film PBS tersebut, penulis mendapatkan beberapa gagasan yang hendak dipaparkan.
Gambaran yang tepat untuk mewakili gagasan tersebut adalah “hati dan budi”. Pada bagian hati, film ini dengan lugas bercerita tentang perjuangan muslimah Annisa demi sebuah kesetaraan. Pada bagian budi, film ini ingin mengangkat sebuah tema, yakni hermeneutika (pembacaan) kritis terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Berangkat dari pemahaman di atas, pada bagian pertama, penulis akan menceritakan kembali secara ringkas narasi PBS. Pada bagian kedua, penulis akan masuk pada bagian hati yakni perjuangan perempuan demi sebuah kesetaraan. Pada bagian selanjutnya, ketiga, penulis akan menilik dimensi budi yakni, bagaimana para ahli berbicara tentang hermeneutika kritis terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penempatan hati pada awal dan budi kemudian bukanlah sebuah penempatan prioritas. Keduanya sama penting, keduanya saling terkait. Ibarat seorang manusia, tanpa hati ia adalah seperangkat mesin yang hidup secara mekanistis. Sebaliknya, tanpa budi, ia adalah seonggok daging yang terhempas tiupan angin.


A. Annisa binti Hanan
Film PBS ini mengambil setting sekitar tahun 1980-an di pesantren Salafiah Putri Al Huda, Jawa Timur. Film yang diangkat dari novel karya Abidah Al Khalieqy ini diwali dengan deburan ombak pantai yang seakan bersorak sorai pada Annisa kecil yang sedang belajar menunggang kuda. Belum lagi ombak itu selesai bertepuk tangan, Annisa, putri Kyai Hanan pemilik Pesantren Salafiah Putri Al Huda, harus berhadapan dengan kenyataan yang dia sendiri pun belum mengerti halnya. Pertanyaan pertama sekaligus menghentak ialah “Kenapa? Kenapa aku tidak boleh naik kuda? Apakah karena aku perempuan?”

Konteks dimana Annisa lahir dan dibesarkan adalah budaya Islam patriarkis yang dengan tegas membuat garis demarkasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam berbagai momen, Annisa harus berkali-kali “bertabrakan” dengan realitas bahwa ia adalah perempuan. Mengapa perempuan tidak boleh berkuda? Mengapa perempuan tidak boleh menjadi ketua kelas? Mengapa perempuan tidak boleh sekolah di luar kota? Mengapa perempuan tidak boleh nonton bioskop? Mengapa perempuan tidak boleh membaca buku-buku sekular? Mengapa perempuan tidak boleh memilih jodohnya sendiri? Mengapa dan mengapa?

Dalam pertanyaan “mengapa” tersebut, Annisa tampil sebagai penetang. Ia mempertanyakan berbagai aturan dan dogma yang begitu saja diandaikan (taken for grranted) kebenarannya. Terhadap segala sesuatu yang mengekang, ia membangkang. Di lain sisi, Kyai Hanan tidak segan-segan menampar jika putri semata wayangnya itu bertindak laiknya seorang Adam.

Dalam pergulatan hati Annisa, tampillah Khudori, paman dari Ibu. Sosok Khudori menawarkan mimpi dan harapan bagi Annisa. Ialah tempat curahan hati Annisa dikala hati kusut tak terurai. Tak pelak, Annisa pun menyematkan cinta pada Khudori. Khudori tak berani membalas cinta itu sebab ia bukanlah putra Kyai seperti yang diharapkan oleh Abi Annisa. Belum lagi cinta itu terbalas, cinta harus terpisah samudera luas. Khudori melanjutkan sekolahnya di Kairo, Mesir.

Hilangnya sosok Khudori mengguncang Annisa dan berujung pada pernikahannya dengan Samsudin seorang anak Kyai dari pesantren Salaf, pesantren terbesar di Jawa Timur. Apa daya, niat kuliah di Jogya hilang tertiup angin. Annisa kini terperangkap dalam nestapa sang istri. Relasi suami-istri yang dipahami oleh Samsudin, suaminya, telah menempatkannya tidak lebih dari budak; budak dalam urusan dapur juga budak dalam urusan nafsu, pun kalau itu harus terjadi di dapur. Samsudin putra Kyai kondang ini berpegang teguh bahwa istri harus tunduk pada keinginan suami. Belum cukup dengan itu, tidak jarang “bogem mentah” pun melayang di wajah ayu Annisa.

Ketegangan rumah tangga Annisa semakin menjadi terjadi ketika Kalsum, seorang perempuan yang sedang hamil tua, menyambangi rumah Annisa. Kalsum datang untuk menuntut Samsudin untuk bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Hati siapa tidak terluka melihat suami telah mendua? Sekali lagi Annisa harus menelan pil pahit. Dengan alasan bahwa Nabi Muhammadd S.A.W juga mempunyai istri lebih dari satu, Ia harus menerima Kalsum menjadi istri kedua Samsudin. Kini mereka tinggal berempat di bawah satu atap: Annisa, Samsudin, Kalsum dan anak yang dilahirkannya.
Derita tak bertepi itu telah mendorong Annisa untuk meninggalkan Samsudin dan bertemu dengan Khudori. Annisa bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Ia ingin bercerai dengan Samsudin dan meminta Khudori menikahinya. Sebagai pemuda Islam taat sekaligus terpelajar, Khudori tidak berani menyanggupi keinginan Annisa untuk menikahinya karena ia masih terikat dengan Samsudin.

Pertemuan rahasia tersebut ternyata diketahui Samsudin. Tanpa bisa mengelak, Annisa dan Khudori tertangkap berdua dan difitnah dengan tuduhan berzina. Rajam adalah hukuman untuk itu. Beruntung, belum lagi semua batu mendarat di tubuh Annisa dan Khudori, Umi datang dan berkata, “Siapa yang tidak berdosa silahkan melemparkan batunya”.

Persis setelah kejadian itu Abi Annisa menghadap Rahmatullah. Persis saat itulah perjuangan Annisa kembali terbuka. Ia bercerai dengan Samsudin dan kemudian melanjutkan kuliah di Jogya. Pada masa-masa kuliah itulah, Khudori datang menyatakan cinta dan keseriusannya untuk menikah dengan Annisa. Khodori dan Annisa akhirnya merajut rumah tangga di Jogya. Keduanya memulai merajut kembali mimpi yang selama ini telah menghilang.

Kisah manis itu tidak bertahan lama. Setelah Annisa dan Khudori memutuskan untuk kembali ke pesantren, tragedi itu terurai kembali. Urusan dengan Samsudin tidak bisa begitu saja dihentikan karena Pesantren Al-Huda berhutang banyak pada pesantren Salaf. Urusan cinta, harta dan dogma kini melebur menjadi satu.
Annisa lagi-lagi harus berhadapan dengan tantangan besar. Khudori, sang suami sejati, harus pergi lebih dahulu meninggalkan Annisa. Tanpa diketahui oleh Annisa, Khudori sebenarnya dengan sengaja ditrabrak oleh orang suruhan Samsudin. Pahit, tetapi Annisa tidak menyerah. Dengan bantuan Umi, Annisa bangkit lagi dari keterpurukan tersebut.

Buluh yang terkulai, itu tidak terpatahkan. Pengalaman telah mengasah Annisa menjadi perempuan yang tangguh. Dalam seluruh perjuangannya, Annisa berhasil merubah paradigma pesantren Al-Huda. Annisa membawa obor baru bagi para santriwan. Tidak ada lagi buku-buku sekular yang dibakar. Perpustakaan itu adalah simbol keberhasilan. Annisa telah membawa perubahan dan harapan bagi kaummnya. Jauh di dalam, Annisa telah menancapkan tonggak baru yakni, perempuan juga dicintai Allah.

B. Ketika Hati Bicara: Perjuangan Annisa Demi Kesetaraan
Dalam film PBS ini paradigma tentang perempuan terbagi dua. Pertama, mereka yang mengangap bahwa perempuan sebagai mahluk lemah yang tidak berkebebasan, tidak mempunyai akal pikiran, mahluk yang harus diatur dan diarahkan. Posisi ini diwakilkan oleh Kyai Hanan dan seluruh komponen yang berpengaruh di Pesantren Al-Huda, tidak terkecuali Samsudin dan keluarga. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa perempuan, meskipun berbeda secara fisik, namun makhluk yang diciptakan setara dengan laki-laki dengan itu tidak bisa diperlakukan dengan semena-mena. Posisi ini diwakilkan oleh Annisa, Khudori dan LSM perempuan tempat Annisa bekerja.

Apakah posisi yang pertama bisa dibenarkan atau sebaliknya, posisi kedualah yang menjadi acuan? Oposisi kedua pandangan tidak bisa tidak menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar yakni, “Bagaimanakah sebenarnya Islam menempatkan perempuan?”

Seyyed Hossein Nasr menulis, “….di hadapan Tuhan, di depan realitas eskatologis paling hakiki, dan di hadapan hukum, ya mereka sama, tetapi di dalam dunia, tidak selalu harus sama.

Terkait pertanyaan yang sama Munawir Sjadzali mengutip Al Qur’an surah al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling berkenalan. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di muka Allah adalah ia yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal”. Sadzali melanjutkan, “Satu hal yang tampaknya kurang mendapat perhatian kita adalah bahwa aya tersebut juga menginsyaratkan persamaan kedudukan antara pria dan wanita yang merupakan asal dari umat manusia yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa dan suku itu. Kalau umat manusia yang lahir dari pasangan suami istri itu menikmati persamaan kedudukan di antara mereka, maka logikanya sepasang suami istri dari mana umat manusia itu berasal juga memiliki persamaan kedudukan di antara mereka berdua, tanpa perbedaan yang didasarkan atas kelamin. Singkatnya, menurut Islam kedudukan pria dan wanita itu sama.”

Budhy Munawar-Rachman dalam pengantar buku Nasr menulis, “Golongan Islam liberal harus berjuang keras melawan interpretasi atas pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur;an yang selama ini dalam tradisi telah ditafsirkan secara misogis (prasangka kebencian terhadap perempuan) dalam budaya patriarkhi. Seolah-olah memang Al-Qur’an telah meneguhkan ketidaksetaraan secara gender antara laki-laki dan perempuan.”

Seorang aktivis perempuan, Nong Darol Mahmada dalam sebuah tulisan lepasnya pernah menulis, “Sebagai perempuan yang dilahirkan dari orang tua yang beragama & bertradisi Islam dan kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama yang saya peluk, tentu saya ”terganggu” dengan pemahaman Islam seperti ini. Saya tak percaya kalau agama yang saya anut mendiskriminasikan jenis kelamin saya, perempuan. Karena saya percaya tidak mungkin Allah, Sang Pencipta, menciptakan manusia (laki-laki & perempuan) dan kemudian bersikap tidak adil pada salah satu ciptaannya.”

Dari ketiga pendapat di atas dapat ditarik sebuah benang merah yakni pada dasarnya dalam Islam, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama di hadapan Allah. Namun juga harus diakui bahwa ini bukanlah jawaban mutlak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian umat Muslim yang berbeda pandangan dengan keempat pandangan tersebut di atas.

Akhirnya, seperti ditulis oleh Budi Munawar-Rachman masalah ini kembali lagi pada bagaimana kita membaca sebuah teks, “Isu ketidaksetaraan tersebut, selama ini dalam tradisi telah memperoleh legitimasi pembenaran Al-Qur’an. Para pemikir Muslim memperjuangkan tema ini dan susah payah membuat penafsiran baru dan mereka—karena berhadapan dengan teks sakral yang telah dianggap membenarkan ketidaksetaraan gender—akibatnya tidak bisa mengambil posisi yang liberal syariah. Posisinya adalah harus mengkaji ulang secara radikal, maka muncullah model hermeneutik interpreted syari’ah. Mereka kemudian melakukan sesuatu yang boleh jadi bertentangan dengan makna teks Al-Qur’an yang literal. Atau malah harus melakukan pembacaan ulang terhadap Al-Qur’an itu.”

Pada akhirnya, Annisa dalam film PBS menggambarkan sebuah posisi hati yakni Allah juga mencintai kaum perempuan. Allah tidak ingin kaum perempuan diperlakukan tidak adil karena Allah adalah cinta. Dan rahmat serta kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS Al A’raf [7]:156).

C. Ketika Budi Berkata: Hermeneutika Ayat-Ayat Suci
Seperti sudah penulis utarakan pada bagian awal, pada budi ini penulis akan mencoba memaparkan dari berbagai sumber tentang hermeneutika ayat-ayat suci Al-Qur-an. Masalah tafsir ini memang tidak bisa disejajarkan dengan perihal matematis dimana hasil yang dicapai adalah mutlak, hitam di atas putih. Hermeneutika ayat-ayat suci mempunyai sejarah yang sangat panjang. Dan jika itu dirunut mundur kebelakang, persis kita akan kembali lagi pada jaman Nabi.

Namun, pada kesempatan ini tidak bermaksud dan tidak berkompeten untuk menulis sebuah sejarah komprehensif hermeneutika teks-teks suci Al-Qur’an. Hermeneutika yang akan penulis paparkan dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Budi Munawar-Rachman dalam Introduksi buku The Heart of Islam.

Saat ini terdapat tiga model hermeneutika yang berkembang di kalangan pemikir Islam. Model yang pertama ialah liberal syari’ah (syariat yang liberal); kedua, model silent syari’ah (syariat yang diam mengenai masalah itu); model interpreted syariah (syariat yang perlu ditafsirkan ulang).

Model yang pertama, liberal syariat. Mereka yang berada dalam model ini berpendapat bahwa jika dipahami dengan benar, sebenarnya syariat itu sendiri sejak awal sifatnya sudah liberal. Mereka berargumen bahwa Islam sudah sedari awal mempunyai solusi, jalan keluar atas masalah-masalah Islam kontemporer, mis. penghargaan terhadap pluralitas agama.

Dalam mendukung model ini, mereka yang berada dalam model ini menggunakan dan menonjolkan ayat-ayat Al-Qur’an yang liberal. Golongan liberal syari’ah ini sangat mementingkan autentisitas. Untuk itulah mereka selalu mencari dukungan ayat-ayat Al-Qur’an maupun Sunnah untuk mendukung gagasan-gagasan mereka mengenai Islam Liberal. Keyakinan mereka adalah menjadi liberal adalah bagian perintah Tuhan.
Harus diakui bahwa argumen dari golongan liberal syari’ah ini kadang-kadang bersifat apologetik. Apologetik di sini misalnya: mereka mengungkapkan bahwa liberalisme dalam Islam lebih dulu dari liberalisme di dunia Barat, sebelum ada demokrasi Barat, nilai-nilai demokrasi itu telah ada dalam Islam. Fokus utama liberal syari’ah ini memang isu-isu di sekitar masalah sosial-politik seperti misalnya civil society, HAM, juga masalah agama dan sains.

Model yang kedua, silent syari’ah. Mereka yang berada dalam model ini juga hendak membangun autentisitas Islam. Namun, berbeda dari golongan liberal syarita mereka beranggapan bahwa autentisitas Islam dibangun dari anggapan bahwa Islam tidak berbicara tentang isu-isu komtemporer.

Anggapan bahwa Islam tidak berbicara tentang isu kontemporer telah membuka sebuah cara berfikir kreatif dalam memikirkan hal-hal kontemporer tersebut. Agama justru mendorong kreativitas tersebut. Seperti misalnya masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial, bagi golongan silent syari’ah memang diperlukan suatu kreativitas baru untuk memikirkan hal itu. Bagi mereka, umat Islam sudah seharusnya peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kemajuan jaman.

Kalangan silent syari’ah juga bersandar pada Al-Qur’an tetapi mereka tidak terlalu disibukkan dan dibebani dengan pembuktian teks-teks Al-Qur’an. Bagi mereka, syariat sebenarnya tidak mengatur seluruh persoalan manusia. Kalangan silent syari’ah lebih beranggapan bahwa Al-Qur’an itu lebih berbicara tentang moral dan spiritual ketimbang soal detail kehidupan sosial dan politik.

Model ketiga, interpreted syari’ah. Mereka yang berada dalam model ini beranggapan bahwa syariat perlu ditafsirkan kembali. Hermeneutika interpreted syari’ah ini adalah yang paling kontroversial diantara ketiganya. Pada dasarnya mereka mengedepankan suatu epistemologi yang menegaskan perlunya keragaman di dalam cara menafsirkan teks-teks keagamaan.

Bagi model ini, ketidaksetujuan atas suatu tafsir sangat diperlukan. Oleh karena itu mereka membela sebuah pemahaman tentang kebenaran yang memerlukan dialog. Dialog disini artinya mempelajari terus-menerus agama, bukan sebagai kata benda melainkan sebagai kata kerja. Maka dari itu mereka mendukug sikap demokratis dalam beragama, karena demokrasi merupakan suatu penerimaan atas perbedaan pendapat di dalam menafsirkan agama. Syariat bagi mereka tidak turun langsung dari Allah melainkan merupakan penafsiran manusia.

Dari pemaparan singkat atas ketiga aliran tersebut, bagaimanakah kini film PBS bisa kita maknai? Film PBS yang menggambarkan perjuangan perempuan Islam dalam mencari makna hidup sejatinya menggunakan ketiga pendekatan hermeneutika di atas. Ada saat dimana film ini menunjukkan liberal syariah, silent syariah dan interpreted syariah.
Satu hal yang dapat dipastikan ialah film PBS ini beroposisi dengan syariah fundamentalis yang mengedepankan tafsir literal terhadap teks-teks agama. Annisa dalam berbagai kesempatan bertanya mengapa ini dan mengapa itu. Apakah teks bahwa suami berkuasa terhadap istri diartikan bahwa sang istri harus selalu siap menjadi penyaluran nafus suami? Apakah seorang santriwati harus melulu membaca Al-Qur’an dan dengan itu mengharamkan membaca buku-buku selain Al-Qur’an? Dan masih banyak pertanyaan budi yang dilontarkan oleh Annisa berkaitan dengan tafsir literal terhadap Al-Qur’an.

D. Ketika Hati dan Budi Bersua: Siapakah Islam?
Dari pemaparan di atas, pertanyaan akhir yang kiranya harus dijawab ialah, “Siapakah Islam?” berangkat dari pengalaman pribadi, penulis merasa sebagian besar Islam yang penulis kenal bukanlah seperti apa yang digambarkan oleh kaum konservatif di pesantren Al-Huda. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pemahaman manusia tentang agama, penulis merasa pendekatan literal, meskipun ada, sudah semakin ditinggalkan.

Melalui pendekatan literal terhadap teks-teks agama, kita mau tidak mau menafikan kondisi historitas manusia dan dengan itu juga historisitas teks-teks agama. Teks-teks agama, seberapapun sucinya, tidak akan bermakna apa-apa tanpa manusia. Jika dirunut kebelakang, kita harus mengakui bahwa pernah suatu saat ketika teks itu tidak ada. Itulah yang penulis maksud dengan historis bahwa teks tidak bisa dilepaskan dari konteks.

Akhirnya, ukuran penting yang tidak boleh terlupakan ialah manusia itu sendiri. Hermenetika itu pada akhirnya harus ditatapkan pada pertanyaan, “Bagaimanakah manusia telah diperjuangkan?’

E. Kesimpulan
Setelah menonton film PBS dan membaca beberapa buku berkaitan dengan keislaman satu hal yang dapat penulis ajukan ialah: umat Muslim secara sungguh bergulat mencari cara untuk mencapai sebuah Rahmatan Lil Alamin.

Seperti dituliskan Sjadzali, “Islam yang dibawa oleh Nabi besar Muhammad SAW dulu adalah betul-betul Rahmatan Lil Alamin; pemberi petunjuk kepada mereka yang sesat jalan; penegak keadilan; pembela mereka yang lemah; pelopor peningkatan martabat kaum wanita; pemberi kedamaian kepada mereka yang saling bermusuhan; pendorong pencarian kebenaran lewat ilmu pengetahuan. Dengan demikian Islam telah memberikan sumbangan yang amat besar kepada perkembangan umat manusia.

read more tariganism...

Demokrasi di Indonesia: Yang Belum Sempurna

Indonesia’s relatively peaceful transition to democracy over the past nine years, particularly the free and fair elections in 2004, has earned the citizens the prestigious Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC). “Indonesia is a shining example to the world,” Ben Goddard, President of IAPC, said while presenting the award to President Susilo Bambang Yudhoyono on Monday (Jakarta Post, Tuesday Nov 13th 2007)

Robert A. Dahl (selanjutnya Dahl) pernah menulis, “Seperti halnya rezim negara-negara kota, rezim-rezim demokrasi modern masih jauh dari kriteria demokrasi yang ideal.” Apa artinya? Ini bisa dilihat dari cara pandang bahwa, pertama, demokrasi modern masih menyisakan banyak hal sebelum mencapai sebuah ideal demokrasi. Kedua, demokrasi dengan itu bukanlah sebuah produk sekali jadi, melainkan sebuah proses yang terus menerus harus diusahakan.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan dua titik: titik faktual dan titik ideal. Sebagai titik faktual adalah beberapa kasus yang berhubungan dengan proses demokrasi di Indonesia pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Sedangkan sebagai titik ideal adalah prinsip-prinsip dan kondisi-kondisi dalam ideal demokrasi. Dengan pemaparan kedua titik tersebut, saya ingin menarik hubungan bahwa Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC) bukanlah sebuah kata final untuk demokrasi di Indonesia melainkan sebuah undangan untuk berjuang demi tegaknya demokrasi di bumi nusantara ini.

Hitam-Putih Indonesia
Lahirnya era reformasi pada Mei 1998 ditandai dengan pengalaman pahit yang sulit dilupakan. Amarah rakyat yang membabi-buta terhadap rezim orde baru yang dikomandoi oleh Soeharto dan krisis ekonomi berbuntut pada kerusuhan rasial. Di kota-kota besar terjadi pembumi-hangusan toko-toko, penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Pencapaian cita-cita kebebasan dari kungkungan rezim otoriter orde baru justru telah menodai kebebasan itu sendiri.

Pada Maret 1999 di Sambas pecah kembali kerusuan rasial antara suku Melayu-Dayak di satu pihak melawan suku Madura di pihak lain. Ratusan korban—sebagian besar adalah suku Madura—tewas dalam kerusuhan ini. Kerusuhan ini juga berlanjut pada gelombang pengusiran suku Madura dari tanah Melayu-Dayak. Tiga tahun setelahnya—September 2001—kerusuhan rasial besar terjadi lagi di Sampit. Pertikaian rasial ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sambas. Perang antara suku Dayak dan Madura sekali lagi menelan korban jiwa yang tidak sedikit.

Bangsa ini kemudian juga tercoreng dengan kerusuhan-kerusuhan yang bernada agama. Di Poso dan beberapa daerah sekitarnya pihak Islam dan Kristen bertikai saling bunuh atas nama “iman”. Di Ibukota Jakarta dan beberapa tempat di P. Jawa, tempat-tempat ibadah tidak luput dari pengeboman dan pengrusakan. Kebebasan beragama maupun menajalankan ibadat sesuai dengan agama masing-masing telah tercoreng. Bahkan oleh negara sendiri, agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan minoritas diperlakukan secara diskriminatif melalui perundang-undangannya. Otonomi daerah, misalnya, justru malah menimbulkan perda-perda syariah di pihak Islam dan rencana peraturan daerah yang bernafaskan Injil di pihak Kristen. Keduanya pada hakikatnya merupakan penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 45.

Kasus lain lagi, sejak WTC di Amerika Serikat diporak-porandakan oleh kelompok garis keras, dunia umumnya dan Indonesia khususnya berhadapan dengan gelombang terorisme global. Pecahnya bom bali 1dan 2 yang menelan ratusan korban—sebagian besar warga asing—membuat Indonesia memperoleh cap sebagai negara teroris. Peledakan hotel JW Marriot dan teror-teror bom seperti yang dialami dua kampus: UI dan UKSW Salatiga dan banyak tempat lain semakin menumbuhkan rasa tidak aman, takut, cemas pada warga negaranya.

Tidak sekedar karena tindakan anarkis-fisik, bangsa ini juga semakin terpuruk oleh praktek-praktek korupsi dari tingkat pemerintahan yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah. Praktek-praktek ini sampai sekarang masih sulit untuk diberantas secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan korupsi dilaksanakan a la kadarnya, tebang pilih, tergantung kepentingannya. Instrumen hukum dan mekanisme pemberantasan korupsi dijalankan secara minimalis. Pemimpin politik yang patriotik yang siap lahir-mati memberantas korupsi pun tidak kujung datang. Malahan, perangkat-perangkat penegak hukum (kepolisian, kejaksaaan, pengadilan) dan komisi-komisi yang dibuat untuk memberantas korupsi juga tidak bebas dari praktek-praktek suap.

“Mentalitas maling” inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi bangsa ini berjalan lambat. Sulitnya mendapat pekerjaan dan mahalnya biaya pendidikan semakin dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa jurang kesenjangan sosial antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat semakin terbuka lebar. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai selalu saja terjegal oleh kepentingan memperkaya diri oleh segelintir pihak. Kemiskinan struktural, dengan itu, semakin meluaskan jangkauannya. Reformasi yang dicita-citakan hanya berjalan di tempat. Tidak terlihat terjadinya sebuah perubahan yang signifikan menuju sebuah konsolidasi bangsa.

Di sisi lain, pada tubuh TNI penyakit lama pun muncul kembali, yakni menjadi alat kekuasaan. TNI tidak sungguh meninggalkan percaturan politik dan tidak fokus dengan kewajiban utamanya, yaitu menjaga keutuhan NKRI. Tindakan-tindakan represif terhadap masyarkat sipil pun terulang kembali. Salah satu kasus setelah era reformasi di mana TNI tampil dengan arogansinya ialah kasus Alas Tlogo, Jawa Timur. TNI justru sibuk dengan urusan sengketa tanah yang membawa korban tewas pada masyarakat sipil.

Beberapa contoh kasus di atas bukan pertama-tama ditujukan untuk membuat daftar panjang cacat bangsa setelah jaman reformasi. Pemandangan singkat di atas sengaja dipaparkan untuk menunjukkan situasi kondisi bangsa yang sedang sakit. Masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah atomisasi, yakni terfragmentasinya masyarakat dan hilangnya keinginan untuk mencapai kepentingan bersama. Dalam situasi inilah DEMOKRASI sebagai sebuah bentuk pemerintahan tidak bisa tidak harus dilaksanakan secara maksimal.

Demokrasi sebagai sebuah ideal
Secara historis konsep demokrasi digunakan dalam negara kota di jaman Yunani kuno. Pemerintahan rakyat yang dijalankan dalam negara kota ini berlangsung dalam luas wilayah yang kecil dan populasi penduduk yang sedikit. Dalam situasi dan kondisi tersebut potensi terjadinya negara yang domokratis dapat terjadi. Dari ideal demokrasi pada negara kota, Dahl menarik beberapa prinsip umum dalam proses demokrasi yang juga mendasari demokrasi modern. Ia menggambarkan proses ideal demokrasi secara teoritis dalam lima kriteria.
1. Persamaan Hak Pilih. Dalam membuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.
2. Partisipasi Efektif. Dalam seluruh pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja nasional, setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3. Pembeberan Kebenaran. Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan suatu keputusan, setiap warga negara harus mempunyai peluang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4. Kontrol Terakhir Terhadap Agenda. Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda.
5. Pencakupan. Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya denga hukum, kecuali pendatang sementara.

Hal-hal ini penting diutarakan karena tidak mungkin terjadi pemerintahan rakyat jika kelima proses tersebut tidak dijalankan untuk membuat sebuah keputusan bersama.
Dalam perkembangannnya demokrasi juga digunakan dalam konteks negara bangsa. Perbedaan mendasar dari negara kota dan negara bangsa ialah luas wilayah dan jumlah populasi. Menjalankan proses demokrasi dalam negara bangsa tidak semudah dalam negara kota karena negara bangsa memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah penduduk yang lebih besar. Khusus untuk Indonesia, proses demokrasi bahkan memiliki tantangan geografis yang lebih khusus lagi, yakni negara kepulauan.

Dengan tetap berpegang pada definisi bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat Dahl memaparkan bagaimana demokrasi modern memiliki kriteria-kriteria khusus dibandingkan dengan demokrasi pada negara kota.
1. Kontrol atas keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijaksanaan secara konstitusional dibebankan pada pejabat-pejabat yang dipilih.
2. Para pejabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur, setiap unsur-unsur paksaan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan.
3. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak dalam memilih pejabat-pejabat resmi.
4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih sebagai pejabat resmi dalam pemerintahan, meskipun batas umur untuk dipilih mungkin lebih tinggi daripada batas umur untuk memilih.
5. Warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman untuk dihukum mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para pejabat, pemerintahan, rezim, tata sosial ekonomi dan ideologi yang berlaku.
6. Warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, karena memang sumber-sumber dimaksud ada dan dilindungi hukum.
7. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut di atas, setiap warga negara juga mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi yang independen, termasuk partai-partai politik dan kelompok kepentingan bebas.

Indonesia dalam umurnya yang ke-62 ini telah mengalami tiga bentuk demokrasi. Empat tahun setelah kemerdekaan, 1950, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan demokrasi liberal atau yang lebih dikenal dengan demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer dengan segala hiruk pikuk pergantian kabinet hanya berjalan singkat. Soekarno kemudian menerapkan demokrasi terpimpin yang pada akhirnya menamatkan riwayat Soekarno dalam kancah perpolitikan Indonesia. Setelah itu sampai hari ini, Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila. Pancasila haruslah diartikan dan dimaknai dalam konsep dasar negara yang mempersatukan seperti yang diinginkan oleh para founding fathers bangsa ini. Hal ini perlu dikemukakan karena Pancasila selama orde baru telah mengalami degradasi makna di mana Pancasila dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan rezim otoriter selama orde baru.

Ideal Demokrasi Pluralis
Demokrasi Pancasila dapat dimasukkan dalam demokrasi politik menurut kaum pluralis. Kaum pluralis di sini adalah mereka yang mementingkan kesatuan kepentingan individu sebagai kepentingan kelompok. Demokrasi politik pluralis ini dapat ditafsirkan sebagai sistem pemerintahan yang menengahi kepentingan-kepentingan dalam kelompok-kelompok masyarakat sehingga diperoleh keseimbangan sosial. Kepentingan-kepentingan kelompok termanifestasi dalam proses politik, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam kelompok-kelompok non politis: kelompok berdasarkan ekonomi, sosial, agama, daerah atau suku bangsa.

Teori demokrasi pluralis ini menempatkan demokrasi sebagai sebagai penjamin dan pelindung kebebasan individu terhadap kekuasaan yang tak terkendali dari negara yang terpusat. Checks dan balances adalah upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat untuk mencapai perlindungan dan penjaminan terhadap kebebasan individu melalui pemilu yang teratur.

Dari kerangka ontologis sosialnya, Carol C. Gould mengemukakan bahwa teori pluralis memiliki ontologi campuran. Ontologi campuran ini berbeda dengan ontologi individualisme liberal yang mengagung-agungkan kebebasan individu. Dalam kerangka ontologi campuran, kehidupan sosial, pada satu sisi, terdiri dari individu-individu yang mengejar kepentingan pribadi mereka. Tetapi, di sisi lain, kehidupan sosial itu terbentuk oleh individu-individu itu sendiri.

Beberapa cirinya kemudian ialah (1) hubungan-hubungan sosial yang terjadi ialah hubungan antarkelompok daripada hubungan antarindividu. (2) Kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda menjalin hubungan demi sebuah kepentingan yang lebih besar lagi. (3) Masyarakat kemudian bukan bersifat masyarakat individual melainkan masyarakat kelompok. Semunya ini disebut sebagai campuran karena pada satu titik ingin mempertahankan unsur individualitas tapi di titik lain ingin memberi penekanan pada kesatuan pada tingkat kelompok.

Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika’ dapat menjelaskan teori demokrasi pluralis dalam konteks Indonesia. Bahwa meskipun terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, Indonesia tetap satu kesatuan.
Maka dari itu sebagai sistem politik demokrasi pluralis, demokrasi Pancasila Indonesia harus menegakkan dua hal:
1. Hak Asasi Manusia
2. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama
Kedua cara itu dapat dicapai hanya melalui RULE OF LAW—penegakan keadilan.

Proses Panjang Demokrasi
Setelah hampir ribuan tahun setelah dicetuskannya, demokrasi ternyata tidak menjadi puing-puing kuno yang ditinggalkan. Dalam perjalanan waktu dan ruang, demokrasi sebagai sebuah proses mengalami adaptasi-adaptasi untuk mencapai titik idealnya. Di Indonesia, demokrasi kiranya masih berumur muda dan terlalu cepat untuk dikatakan bahwa demokrasi telah mencapai titik idealnya. Untuk menuju pada ideal demokrasi itu, maka setiap warga negara kiranya harus mengalami sebuah pendidikan demokrasi yang mendewasakan.

“Indonesian people, through, demonstrations, brought about the collapse of the thyrannical Soeharto regime in 1998 and in 2004 the country held largest single-day election ever held in the world, which went peacefully. Indonesia which has the muslim population, also showed to the world that Islam and democracy not only coexist, but they can can be compatible and support one another.” Goddard said. (Jakarta Post, Tuesday Nov 13th 2007)

Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC) lebih tepat jika dibaca sebagai undangan untuk menegakkan panji demokrasi di negeri ini ketimbang dibaca sebagai sebuah kemenangan demokrasi di negeri ini, karena pada realitasnya masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk mencapai sebuah ideal domokrasi. Demokrasi di Indonesia: Yang Belum Sempurna…


Sumber
1. Dahl, Robert A, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: CV Rajawali.
2. Gould, Carol C, 1993, Demokrasi Ditinjau Kembali, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
3. Tempo, Edisi Khusus Kemerdekaan, Pergulatan Demokrasi Liberal, edisi 13-19 Agustus 2007. Jakarta.


read more tariganism...

From Course In General Linguistics - Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah tokoh yang penting dalam kancah linguistik modern. Lahir di Swiss, Saussure kemudian pindah dan mengajar di Paris hingga akhirnya ia menjadi professor di Jenewa.

Tokoh linguistik modern ini menyodorkan sebuah pendekatan baru terhadap pembelajaran mengenai bahasa (study of language ). Tidak hanya mempengaruhi semua fenomena kultural, pendekatan barunya terhadap bahasa juga berpengaruh besar pada strukturalisme dan poststrukturalisme. Pendekatan revolusionernya tersebut termaktub dalam dalam bukunya From Course in General Linguistics . Buku tersebut merupakan catatan-catatan kuliahnya yang kemudian diterbitkan oleh murid-muridnya.

Bagian penting dalam dalam bukunya tersebut ialah usahanya untuk menganalisa language dalam perbandingannnya dengan parole dan speech. Arti sebuah kata, bagi Saussure, tidak terjadi secara natural atau karena referensi kata tersebut pada objek yang ditunjukkannya melainkan karena adanya perbedaan-perbedaan diantara elemen-elemen dalam sistem linguistik. Frasenya yang terkenal ialah: dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan (in language there are only differences )


Tanda, Signified, Signifier

Proses menamai adalah sesuatu yang diterima secara populer ketika orang berbicara mengenai bahasa dengan segala elemen-elemennya. Dengan konsep tersebut, kata meja, misalnya, dianggap menujuk pada sebuah meja secara material. Pandangan tersebut mengasumsikan bahwa sebuah idea ada sebelum kata-kata, tetapi konsep tersebut tidak memberikan penjelasan lanjut apakah sebuah nama secara alamiah bersifat vokal atau psikologis. Konsep tersebut membuka peluang untuk pengasumsian bahwa hubungan antara nama dan benda merupakan sebuah operasi sederhana. Dengan ini sebenarnya kebenaran mulai bisa didekati dengan menunjukkan bahwa unit linguistik merupakan sebuah entitas ganda. Artinya, sesuatu yang dibentuk merupakan hasil asosiasi dua istilah. Dalam sebuah percakapan dua istilah yang termasuk dalam tanda bahasa bersifat psikologis dan disatukan di dalam otak oleh ikatan asosiatif. “This point must be emphasized” , tulisnya.

Bagi Saussure tanda bahasa tidak menyatukan sebuah benda dengan sebuah nama melainkan menyatukan sebuah konsep dengan sound-image. Sound-image? Sound-image bukanlah suara secara material, ia menulis, “but the psychological imprint of the sound, the impession that it makes on our senses” . Sound-image bersifat sensory, tertangkap oleh panca indra.

Karakter psikologis sound-image tampak ketika kita berbicara pada diri kita sendiri dengan tanpa menggerakkkan bibir ataupun lidah. Melalui pelafalan secara mental itulah sound-image menjadi nyata. Sound-image inilah yang kemudian menjadi pendasaran kata-kata, maka dari itu sound-image berbeda dengan “phonemes” (bunyi). Bunyi berarti sebagai kegiatan vokal yang digunakan dalam ucapan-ucapan saja.

Saussure menggambarkan tanda bahasa sebagai entitas psikologis yang bersisi ganda yaitu konsep dan sound-image. Kedua elemen bersatu secara penuh sebagai tanda. Istilah tanda, kemudian, menjadi sebuah pertanyaan yang penting. Kombinasi antara konsep dengan sound-image disebut tanda, tetapi dalam penggunaannya secara umum tanda hanya mewakili satu sisi saja yaitu sound-image. Sebuah meja menjadi tanda karena kata meja tersebut membawa konsep meja, dan hal itulah yang seringkali dilupakan.

Untuk mencegah ambigiutas dalam peristilahan ia membuat pemisahan antara tanda, signified (yang ditandai) dan signifier (penanda). Tanda menunjuk kepada keseluruhan, sedangkan untuk konsep diberi nama signified (yang ditandai) dan untuk sound-image diberi nama signifier (penanda). Dengan pemilahan menjadi tiga istilah ini antara satu dengan yang lain dan satu dengan keseluruhan menjadi lebih jelas perbedaannya.

Tidak hanya mempunyai dua karakter primordial—konsep dan sound-image, tanda bahasa juga mempunyai beberapa prinsip-prinsip dasarnya sendiri.


Prisip 1 : Sifat Arbitrer dari Tanda
Sifat arbitrer adalah prinsip pertama dalam ikatan antara signifier dan signified. Sebelumnya Saussure sudah menegaskan apa arti tanda baginya. Tanda adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh asosiasi antara signifier dengan signified. Maka dari itu ia mengatakan bahwa, “the linguistic sign is arbitrary” .

Prinsip I ini mendominasi semua hal-hal yang berkaitan dengan bahasa. Tetapi tidak berarti bahwa semua hal-hal yang berkaitan dengan bahasa dapat dijelaskan oleh prinsip ini. Hal kemudian yang lebih penting ialah menempatkannya pada tempat yang layak dan semestinya.

Sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang terorganisasi, apakah bentuk-bentuk ekspresi seperti yang berdasar pada tanda-tanda alamiah seperti pantomime juga termasuk di dalam semiology. Seandainya sebuah ilmu baru memasukkan bentuk itu sebagai bagian di dalamnya, tetap saja perhatian utama pada keseluruhan kelompok sistem berdasarkan prinsip pertama yaitu sifat arbitrer dari sebuah tanda. Dalam realitas setiap bentuk ekspresi dalam sebuah komunitas didasarkan pada perilaku bersama atau kesepakatan. Ke-sopansantun-an, misalnya, meskipun seringkali dipengaruhi oleh ekspresi-ekspresi alamiah (membungkukkan badan ketika bertemu kaisar) tetap saja dibentuk oleh sebuah aturan. Aturanlah yang menggerakkan seseorang untuk bertindak bukan nilai hakiki di dalam tindakan tersebut.

Tanda-tanda yang seluruhnya bersifat arbitrer dapat lebih menyempurnakan daripada proses ideal semiologi yang lain. Maka dari itulah bahasa—sesuatu yang paling kompleks dan universal dari seluruh sistem ekspresi—merupakan karakater utama yang menjadi bentuk master dari keseluruhan cabang-cabang semiology.

Kata simbol telah digunakan untuk menujuk pada tanda bahasa atau yang lebih spesifik dikenal dengan signifier. Prinsip pertama ini dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh kata simbol ini dapat digunakan dalam fungsinya sebagai penujuk. Salah satu karakter dari simbol adalah sifatnya yang tidak pernah seluruhnya arbitrer; simbol tidak pernah sesuatu yang kosong tanpa arti, karena di sana terdapat sebuah ikatan alamiah antara penanda dan yang ditandai.

Sifat arbitrer ini harus dijelaskan lebih lanjut. Arbitrer ini tidak berarti bahwa seluruh pilihan penanda diserahkan seluruhnya pada pembicara. Artinya, seseorang tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah tanda sejauh tanda itu sudah mendapatkan artinya dalam lingkup linguistik. Sifat arbiter ini sebenarnya tidak mempunyai hubungan natural dengan yang signified.

Saussure menyimpulkan dua objeksi untuk yang dapat menjelaskan pembentukan dari prinsip pertama:
Pertama, onomatopoeia. Onomatopoeia dapat membuktikan bahwa penanda tidak selalu arbitrer. Tetapi onomatopoeia bukan merupakan elemen penting dari sistem linguistik. Disamping itu, jumlahnya pun lebih kecil dari pada yang seharusnya. Kata fouet dalam bahasa Perancis dan kata whip dalam bahasan Inggris atau kata glas dalam Perancis dan kata knell dalam Inggris untuk beberapa orang dapat didengar sebagai suara sugestif. Untuk melihat bahwa suara tersebut tidak selalu membawa sifat ini, maka kita perlu melihat akar latinnya. Kata fouet berasal dari kata fagus yang artinya salah satu jenis pohon. Sedangkan kata glas berasal dari classicum yang artinya suara terompet. Kualitas dari suara yang sekarang atau kualitas sesuatu yang menjadi arti bawaan dari suara tersebut merupakan sebuah evolusi kebetulan dari suara.

Sebuah kata onomatopoeic tidak hanya terbatas dalam jumlah, tetapi juga tidak murni arbiter karena kata-kata tersebut merupakan perkiraan atau kurang lebih imitasi umum dari suara tertentu. Sekali kata-kata tersebut diperkenalkan dalam bahasa, maka kata-kata tersebut pada tingkat tertentu akan mengalami evolusi—phonetic, morphologi, dll. Kata Inggris pigeon, misalnya, dibentuk melalui formasi onomatopoeia; akar latinnya ialah pipio yang artinya mencicit. Ini membuktikan bahwa kata tersebut telah kehilangan kehilangan karakater aslinya.

Kedua, kata seru. Kata seru dapat dilihat sebagai sebuah ekspresi spontan atas realitas. Dapat dikatakan bahwa antara signifier dan signifier tidak terikat secara solid. Untuk melihat hal tersebut dapat dilihat dengan membandingkan dua bahasa,misalnya kata yang sepadan dengan kata Perancis aie! adalah kata ouch! (eskpresi dari sebuah rasa sakit)dalam bahasa Inggris. Dengan ini kita melihat bahwa banyak kata seru pada awalnya adalah kata-kata dengan arti tertentu.


Prisip 2 : Sifat Linear dari Penanda

Penanda mendapatkan posisinya tepat ketika ia memiliki karakter; (a) menampilkan sebuah rentang jarak, (b) jarak tersebut dapat diukur dalam satu dimensi yaitu garis. Meskipun prinsip yang kedua ini tampak jelas tetapi para ahli sering menolak untuk menyatakannya. Prinsip ini dilihat terlalu sederhana, tapi bagaimanapun juga prinsip ini tetap penting penting. Pentingnya prinsip ini sama dengan pentingnya prisip pertama. Sebagai perbandingan, pada tanda visual dapat terjadi pengelompokan-pengelompokan dalam bebarapa dimensi, sedangakan pada tanda suara, dalam aturannya, hanya memiliki dimensi waktu. Elemen-elemen tanda suara tersebut ditampilkan dalam rangkaian, seperti sebuah rantai. Tampilan ini akan menjadi jelas ketika penanda suara tersebut direpresentasikan dalam bentuk tulisan dan elemen waktu kemudian digantikan oleh grafik.

Sifat linear ini seringkali tidak begitu jelas. Dalam pengucapan syllabel seringkali yang ditangkap bahwa kita berkonsentrasi pada beberapa elemen pada saat yang sama. Hal itu sebenarnya hanyalah ilusi karena syllabel dan aksenya menampakkan hanya satu phonational act . Tidak ada dualitas dalam tindakan tersebut tetapi hanya perlawananan yang berbeda antara apa yang mendahului dan apa yang mengikuti selanjutnya.


Menangkap Tanda Dalam Kepenuhannya
Pada titik ini semua pembahasan sebelumnya mengerucut menjadi satu yaitu, “in language there are only differences” . Perbedaan ini tidak berarti positif melainkan dipandang sebagai differences without positif terms . Itu artinya sebelum munculnya sistem bahasa signified dan signifier tidak tidak memiliki arti ataupun suara. Sistem bahasa-lah yang menghasilkan konsep dan perbedaan-perbedaan suara. Pernyataan bahwa dalam bahasa segala sesuatu adalah negatif dapat dilihat secara benar dengan melihat penanda dan yang ditandai secara terpisah.

Sistem bahasa adalah sebuah rangkaian perbedaan-perbedaan suara yang dikombinasikan dengan rangkaian perbedaan-perbedaan konsep. Sistem ini menjadi cara efektif untuk menghubungkan suara dengan elemen psikologis dalam setiap tanda. Meskipun signifier dan signified berbeda dan bersifat negatif ketika dipisahkan, kombinasi adalah hal tidak dapat dielakkan.

Beberapa hal dapat dilihat misalnya dalam perubahan signifier. Perubahan signifier membuat konsep juga berubah dan ini membuat tampak jelas bahwa sejumlah konsep-konsep yang berbeda-beda pada prinsipnya berhubungan dengan sejumlah tanda-tanda yang berbeda-beda. Selain itu arti sebuah kata juga akan menjadi berbeda, ketika dua kata yang sama menjadi mengalami perubahan suaranya, (French decrepit from decrepitus and decrepi from crispus). Kemunculan setiap perubahan cenderung tetap menjadi penting, tetapi tidak selalu berhasil dalam percobaan pertama. Kebalikannya, setiap perbedaan konsep yang dirasakan pikiran akan mencari ekspresi melalui signifier yang berbeda, dan dua arti yang tidak berbeda dalam pikiran cenderung menjadi satu dalam satu signifier.

Perbandingan sebuah tanda dengan tanda yang lain secara positif tidak akan menimbulkan sebuah topik mengenai perbedaan. Dengan kata lain, ekspresi tidak akan bisa mendapatkan tempatnya yang sesuai karena hanya dapat digunakan pada perbandingan dua sound-images. Pada kata ibu dan bapak, misalnya, tidak terdapat perbedaan melainkan hanya sebuah opposition dua tanda. Baik oposisi maupun perbedaan suara dan konsep yang dinyatakan kemudian menjadi dasar dari seluruh bahasan mengenai seluruh pembahasan mekanisme bahasa.

Bagaiamanakah jika principle of differentiation tersebut diterapkan pada unit? Unit adalah sebuah bagian dari rantai ucapan (spoken chain) yang berkaitan dengan konsep tertentu, keduanya secara alamiah berbeda. Apa yang benar secara nilai menampilkan unit yang benar pula. Pada unit, principle of differentiation adalah bersatunya karakter atau sifat unit dalam dalam diri unit itu sendiri. Dalam bahasa aktor pembentuknya ialah segala sesuatu yang membuat tanda berbeda dari yang lainnya. Perbedaan adalah pembentuk bahasa. Perbedaan yang membuat karakter atau sifat adalah sama dengan perbedaan yang menghasilkan nilai dan unit.

Konsekuensi paradoks dari principle of differentiation adalah bahwa apa yang disebut sebagai “grammatical fact” ternyata sesuai dengan definisi dari unit; grammatical fact selalu menampilkan oposisi dari sebuah istilah; grammatical fact menjadi berbeda hanya ketika opisisi secara khusus berbeda. Misalnya dalam bahasa Jerman adalah kata Nacth dan Nächte ; yang singular ditulis tanpa umlaut dan akhiran e. Perbedaan tersebut terdiri dari pengaruh sejumlah oposisi dalam sistem. Ketika Nacht dipisahkan dan Nächte, keduanya adalah oposisi satu bagi yang lain—tugggal dan jamak. Dengan cara lain Nacht dan Nächte dapat disusun berdasarkan rumus aljabar dimana satu yang dengan yang lain bukanlah sebuah hubungan sederhana merupakan sebuah hasil dari seperangkat relasi. Bahasa, dalam arti cara berbicara, adalah sebuah tipe aljabar yang terdiri dari istilah-istilah kompleks. Unit dan grammatical fact hanyalah nama yang berbeda untuk menandakan aspek-aspek yang bermacam-macam dari general fact yang sama. Pernyataan ini benar bahwa pendekatan yang baik untuk masalah unit dapat diawali dari grammatical facts.

Unit dan grammatical fact tidak akan membingungkan jika tanda bahasa ditatapkan pada sesuatu selain perbedaan. Bahasa tidak akan merupakan sesuatu yang sederhana pada dirinya seperti apapun kita mendekatinya; dimana pun juga dan selalu terdapat sebuah ekuilibrium kompleks dari istilah-istilah yang saling membentuk satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan bentuk bukan substansi. Selama ini seluruh kesalahan peristilahan, seluruh kesalahan penamaan benda yang menyinggung bahasa disebabkan oleh suposisi atau anggapan bahwa gejala bahasa harus mempunyai substansi.



read more tariganism...

TEATER DRIYARKARA- RAPAT RAKYAT

Menjejakkan Filsafat dalam Rapat Rakyat

Ia dapat menjadi kepribadian yang kuat dan teguh dalam semua keadaan, akan tetapi, ia juga dapat menjadi perahu rusak yang dalam samudra kehidupan ini diombang-ambingkan gelombang berbagai macam kenafsuan. (Driyarkara)

Pada hari ini kami mementaskan sebuah RAPAT RAKYAT. Dibalik kata dalam gerak dan suara, RAPAT RAKYAT adalah serpihan-serpihan pengalaman. Pengalaman itu kaya dan beraneka, terentang dari jaman ketika penguasa tunggal berkuasa, sampai jaman ketika semua bebas bersuara. Dalam serpihan-serpihan pengalaman itulah banyak kali kami menemukan bahwa tanah tempat kaki berpijak tidak lebih dari sekedar arena pertarungan. Homo homini lupus, demikian Hobbes.

Minggu-minggu ini tampak dengan jelas apa yang kami ungkapkan sebagai arena pertarungan. Wajah-wajah “anonim” terpajang kacau balau; saling beradu jargon-jargon memikat yang katanya demi rakyat. Dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan tersebut, kami bercermin dan mendapati wajah kami tampak pucat dan dingin. Cicero pada bagian akhir Imperium bertanya pada ajudannya, “Bagaimanakah generasi mendatang akan menilai generasi ini?”

Persis pada titik tersebut kami sampai pada kesadaran bahwa sejarah perpolitikan bangsa ini telah turut serta membentuk generasi kami yang sekarang. Namun demikian, kami tidak ingin menjadi manusia yang tak berdaya dalam rongrongan masa lalu. Kami ingin berada dalam proses menjadi, mengejar tujuan untuk menjadi pengada yang penuh. Seperti layaknya Demiurgos, sang tukang kayu, kami juga ingin mengukir dunia ini dengan tangan kami sendiri.

Voila, lihatlah “ukiran” RAPAT RAKYAT ini. Ia menunjuk pada sesuatu di luar dirinya. Ia mengarahkan tatapannya pada masing-masing dari kita yang mencari arti sebuah kepemimpinan. Dalam serpihan pengalaman-pengalaman yang kami temukan, kami bertanya, “Sosok pemimpin seperti apakah yang kami cita-citakan?” Kami akui, kami tidak mempunyai banyak contoh.

Kami tidak sedang menggambarkan kepemimpinan yang ideal. Namun, kami mencita-citakan sebuah pemimpin yang sungguh-sungguh dipersiapkan untuk mampu mengikat hati dan budi kami sebagai satu bangsa. Untuk itulah kami ingin menyerukan bahwa kita, tak satu pun terkecuali, bertanggung jawab untuk mempersiapkan pemimpin kita di masa depan. Betapa malangnya nasib kita, jika dipimpin oleh seseorang yang tanpa preparasi namun berambisi. Ijinkanlah kami bermimpi tentang pemimpin seperti yang kami cita-citakan.

Pementasan RAPAT RAKYAT ini, dalam arti terbatas, merupakan sebuah miniatur dari proses mewujudkan mimpi bersama. Pada awalnya, mimpi itu muncul ketika kami berhadapan dengan dua momen bersejarah dalam hidup kami. Pertama, Dies Natalis STF Driyarkara ke 40, kedua, PEMILU sebagai pesta demokrasi-semoga! Mimpi itu kemudian kami konstruksikan dalam suatu perencanaan dan kerja bersama selama berbulan-bulan. Tidak mudah memang, tetapi kami yakin dimana ada kemauan, di sana ada jalan. Kalau hari ini RAPAT RAKYAT bisa dipentaskan, itu membuktikan bahwa mimpi bersama, meskipun awalnya terlihat mustahil, pada akhirnya, mungkin!

Untuk seluruh kemungkinan tersebut, kami ingin menundukkan kepala dan mengucapkan syukur pada Dia yang kami percayai telah bekerja melalui berbagai cara. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang telah dan selalu membantu serta menyemangati kami dalam merealisasi mimpi pementasan RAPAT RAKYAT ini. Kalian telah memberikan ruang pada kami untuk masuk dalam sebuah proses humanisasi. Dan untuk kawan-kawan yang telah berjerih payah membangun mimpi itu menjadi kenyataan…“HEY WE DID IT”.

Akhirnya, dalam perayaan Dies Natalis STF Driyarkara ke 40 ini kami mengundang semua saja untuk menyuarakan kembali refrain Mars STF Driyarkara, "Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara melangkah maju mengabdi sesama, banga kami dan penuh harapan mengagungkan nilai kemanusiaan."


Teriring salam,
Andi. T

read more tariganism...

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP