Selimut Perjumpaan

(sepenggal kisah peregrinasi)

Hari itu, Kamis 22 Januari 2004, hari kelima dalam perjalanan. Ah masih empat hari lagi, ucapku dalam hati. Pagi itu ketika saya dan Pram bangun, matahari sudah terlanjur merangkak naik. Perjalanan yang menegangkan dan melelahkan malam tadi telah membuat kami terlelap pulas. Semalam, kalau saja kami tidak melihat lampu templok di depan rumah Pak Sui, hampir pasti kami akan bermalam di gelap dan dinginnya hutan.

Begitu saya keluar dari kamar, terdengar suara Pak Suwi yang menyapa dari arah dapur. Tanpa ingin berlama-lama menahan hawa dingin yang semakin menusuk, kami segera bergabung mengelilingi tungku perapian di dapur. Tak berselang lama, Bu Suwi datang menyuguhkan kopi hangat dan ubi rebus untuk sarapan. Selepas sarapan, bak penumpang yang tidak ingin ketinggalan kereta, kami langsung mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan.

Meskipun desa ini belum sama sekali dialiri listrik, namun kami merasakan sengatan kehangatan tak terlupakan dari Pak Suwi dan keluarga. Ketika waktu mendekati Pk.08.00 kami pamit meninggalkan desa Kesot dan melanjutkan perjalanan menuju Dieng.

Perjalanan menuju Dieng diwarnai dengan lalu lalang motor dan mobil yang cukup padat. Di kiri dan kanan jalan penuh motel dan rumah makan. Setting perjalanan hari ini bukan lagi jalan-jalan desa, melainkan tempat wisata.

Tak terasa kaki ini telah berjalan selama 10 jam. Kami tiba di Dieng pk.18.00. Karena urat-urat kaki mulai terasa menarik, ditambah lagi cuaca tiba-tiba mendung, kami putuskan untuk mencari tempat untuk menumpang tidur.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kami berjalan beriringan dengan seorang Bapak. Sembari bertanya-tanya tentang jalan, kami juga bertanya adakah tempat untuk sekedar menginap malam ini. Bapak itu, lantas mengantar kami ke Rumah Pak Kadus. Ketika tiba di depan rumah Pak Kadus, seorang ibu muda berjilbab membukakan pintu bagi kami. Kemudian kami tahu bahwa Ibu yang berjilbab itu adalah isti Pak Kadus. Kami dipersilahkan masuk dan menanti kedatangan Pak Kadus yang saat itu sedang tidak di rumah.

Saat memasuki rumah itu, aku merasa masuk dalam dunia yang asing. Tampak luar, rumah ini sama saja dengan rumah-rumah lain. Namun, tampak dalam? Sungguh, belum pernah kumasuki rumah seperti ini. Pintu-pintu antar ruangan berbentuk kubah Masjid, dinding-dinding penuh terisi dengan ukiran-ukiran bertuliskan huruf-huruf arab. Di sisi lain, bingkai photo-photo para Kyai terpampang gagah dengan pakaian kebesarannya. Sesaat rasa itu tercampur, antara kagum, terasing dan juga was-was.

Ketika saya masih termangu menanti kedatangan Pak Kadus, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang memberi salam dari luar, “Assalamu alaikum”. Benar seperti dugaanku, Pak Kadus itu memelihara jenggot panjang, mengenakan peci hitam, baju koko dan sarung. Kesan pertama, wajah itu jauh dari kesan ramah. Wah salah rumah nih, kataku dalam hati....

Acara interogasi kini dimulai. Ya, ini lebih tepat dikatakan interogasi ketimbang sekedar tanya-jawab. Kebetulan saat itu teman Pak Kadus juga datang, penampilan luarnya tidak jauh beda dengan Pak Kadus. Pak Kadus memperkenalkan namanya, Usman Ali.

Setelah kami juga memperkenalkan diri, kami mengungkapkan keingian kami untuk menginap semalam di desa ini. Sejak itu, hawa dingin pegunungan Dieng jadi terasa kian panas, mungkin karena nada pertanyaan semakin lama semakin meninggi. Pertanyaan Koramil saat kami diinterogasi di deareh Sukorejo pun tidak separah ini. Raut wajah yang menelisik dan penuh curiga membuatku semakin terpojok dan tidak nyaman. Pertanyaan puncak yang diajukan oleh Pak Usman, “Sebenarnya kalian sedang apa? Berjalan kaki berhari-hari tanpa bekal apapun? Saat itu kami sungguh kehabisan akal untuk menjawab.

Ketika kami mulai saling pandang, ia meminta KTP kami....

Sesaat setelah melihat KTP, wajah Pak Usman Ali berbicara lain. Apakah karena tempat tanggal lahir? Ah tidak mungkin. Apakah karena alamat? Ah tidak mungkin. Apakah karena photo? Ah itu lagi, mustahil. Lalu mengapa raut wajahnya tiba-tiba berbeda? Aku bertanya dalam hati, ada apa dengan KTP? Terakhir ia bertanya, agama kalian Katolik? Apakah karena agamaku tertulis Katolik, lalu ia berubah? Entahlah, aku tidak ingin berspekulasi untuk itu? Yang pasti, teh manis hangat dan kue-kue kecil pun mulai terhidang menghangatkan suasana malam itu. Interogasi pun berhenti begitu saja karena makan malam tiba-tiba sudah tersedia...ah akhirnya makan juga setelah seharian hanya makan sekali.

Pak Usman mulai bercerita lepas, penuh senyum tentang ia dan keluarganya. Bagiku, ada dua hal yang mengesan dari Pak Usman. Pertama, momen perubahan dari wajah interogatif yang jauh dari kesan ramah menjadi wajah seorang saudara yang tersenyum bersahabat. Kedua, Pak Usman yang secara tampilan luarnya identik dengan kelompok Islam garis keras ternyata mempunyai sisi lain yang kadang ku tak mengerti. Sungguh, Ia berkisah tentang sebuah hidup.

Malam sudah mulai larut. Ia mempersilahkan kami untuk tidur di kamar, persisnya di sebelah ruang tamu. Sebelum tidur ia mengatakan bahwa bukan maksudnya mengawasi kami, tetapi sebagai laku-tapanya ia memang tidak pernah tidur malam. Baginya, tidur adalah siang hari.

Waktu itu sekitar pk 02.00 dini hari. Aku tidak tertidur pulas seperti malam sebelumnya. Aku merasa ada bayang-bayang yang mendekati kami.... ya orang yang mendekati tempat tidur kami.

Aku membuka sedikit mataku dan melihat sendiri apa yang dilakukan Pak Usman. Ia berjalan pelan, takut kalau membangungkan kami. Ia MEMBENTANGKAN SELIMUT TEBAL di tubuh kami yang kumal ini.
What a suprise...Bagaimana mungkin? Dia? Menyelimuti kami? Orang yg baru dikenalnya beberapa jam lalu?

Dinginya Dieng di malam hari tidak terasa lagi.

Pak Usman dan selimutnya telah menggoreskan arti sebuah perjumpaan. Sekat-sekat ideologis dan identifikasi sekterian yang kadangkala memisahkan manusia satu dengan manusia lain ternyata begitu saja mencair dalam sebuah perjumpaan hidup. Ya, manusia sebagai manusia telah berjumpa dalam perayaan hidup.

Kalau Seyyed Hossein Nasr pernah MENULIS buku berjudul THE HEART OF ISLAM, saya pernah MERASAKAN pengalaman yang berjudul THE HEART OF ISLAM.

Akhirnya, perjalanan sembilan hari—-dengan hanya berbekal baju yang melekat di tubuh--telah membuka beragam perjumpaan. Dari hari ke hari, dari satu tempat ke tempat lain, Sang Ada itu telah hadir dan menemani langkahku melalui saudara-saudaraku manusia, siapa pun dia.


  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP