Perempuan Berkalung Sorban

Obor Perjuangan dan Hermeneutika Teks-Teks Agama

“Biarkanlah aku bebas agar seperti matahari...
Aku memakai pakaian api, dan di dalam api itu, seperti matahari, menyinari dunia.” (Rûmî)

Pada mulanya adalah tugas, tepatnya tugas Filsafat Islam. Demi itulah penulis mencari-cari informasi, bioskop manakah yang masih menayangkan film ini? Beruntung bahwa masih ada satu 21teather yang masih menayangkannya. Alhasil, demi tugas, pergilah penulis ke Mall Daan Mogot demi menonton film ini. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis atas film tersebut.

Adakah sesuatu yang baru dari film Perempuan Berkalung Sorban (PBS)? Bukankah sejarah telah bercerita banyak tentang perjuangan perempuan demi kesetaraan? Beberapa pertanyaan tersebut sejenak memenuhi hati dan budi penulis selepas menonton film besutan Hanung Bramantyo ini. Setelah beberapa hari mengambil jarak dari dari film PBS tersebut, penulis mendapatkan beberapa gagasan yang hendak dipaparkan.
Gambaran yang tepat untuk mewakili gagasan tersebut adalah “hati dan budi”. Pada bagian hati, film ini dengan lugas bercerita tentang perjuangan muslimah Annisa demi sebuah kesetaraan. Pada bagian budi, film ini ingin mengangkat sebuah tema, yakni hermeneutika (pembacaan) kritis terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Berangkat dari pemahaman di atas, pada bagian pertama, penulis akan menceritakan kembali secara ringkas narasi PBS. Pada bagian kedua, penulis akan masuk pada bagian hati yakni perjuangan perempuan demi sebuah kesetaraan. Pada bagian selanjutnya, ketiga, penulis akan menilik dimensi budi yakni, bagaimana para ahli berbicara tentang hermeneutika kritis terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penempatan hati pada awal dan budi kemudian bukanlah sebuah penempatan prioritas. Keduanya sama penting, keduanya saling terkait. Ibarat seorang manusia, tanpa hati ia adalah seperangkat mesin yang hidup secara mekanistis. Sebaliknya, tanpa budi, ia adalah seonggok daging yang terhempas tiupan angin.


A. Annisa binti Hanan
Film PBS ini mengambil setting sekitar tahun 1980-an di pesantren Salafiah Putri Al Huda, Jawa Timur. Film yang diangkat dari novel karya Abidah Al Khalieqy ini diwali dengan deburan ombak pantai yang seakan bersorak sorai pada Annisa kecil yang sedang belajar menunggang kuda. Belum lagi ombak itu selesai bertepuk tangan, Annisa, putri Kyai Hanan pemilik Pesantren Salafiah Putri Al Huda, harus berhadapan dengan kenyataan yang dia sendiri pun belum mengerti halnya. Pertanyaan pertama sekaligus menghentak ialah “Kenapa? Kenapa aku tidak boleh naik kuda? Apakah karena aku perempuan?”

Konteks dimana Annisa lahir dan dibesarkan adalah budaya Islam patriarkis yang dengan tegas membuat garis demarkasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam berbagai momen, Annisa harus berkali-kali “bertabrakan” dengan realitas bahwa ia adalah perempuan. Mengapa perempuan tidak boleh berkuda? Mengapa perempuan tidak boleh menjadi ketua kelas? Mengapa perempuan tidak boleh sekolah di luar kota? Mengapa perempuan tidak boleh nonton bioskop? Mengapa perempuan tidak boleh membaca buku-buku sekular? Mengapa perempuan tidak boleh memilih jodohnya sendiri? Mengapa dan mengapa?

Dalam pertanyaan “mengapa” tersebut, Annisa tampil sebagai penetang. Ia mempertanyakan berbagai aturan dan dogma yang begitu saja diandaikan (taken for grranted) kebenarannya. Terhadap segala sesuatu yang mengekang, ia membangkang. Di lain sisi, Kyai Hanan tidak segan-segan menampar jika putri semata wayangnya itu bertindak laiknya seorang Adam.

Dalam pergulatan hati Annisa, tampillah Khudori, paman dari Ibu. Sosok Khudori menawarkan mimpi dan harapan bagi Annisa. Ialah tempat curahan hati Annisa dikala hati kusut tak terurai. Tak pelak, Annisa pun menyematkan cinta pada Khudori. Khudori tak berani membalas cinta itu sebab ia bukanlah putra Kyai seperti yang diharapkan oleh Abi Annisa. Belum lagi cinta itu terbalas, cinta harus terpisah samudera luas. Khudori melanjutkan sekolahnya di Kairo, Mesir.

Hilangnya sosok Khudori mengguncang Annisa dan berujung pada pernikahannya dengan Samsudin seorang anak Kyai dari pesantren Salaf, pesantren terbesar di Jawa Timur. Apa daya, niat kuliah di Jogya hilang tertiup angin. Annisa kini terperangkap dalam nestapa sang istri. Relasi suami-istri yang dipahami oleh Samsudin, suaminya, telah menempatkannya tidak lebih dari budak; budak dalam urusan dapur juga budak dalam urusan nafsu, pun kalau itu harus terjadi di dapur. Samsudin putra Kyai kondang ini berpegang teguh bahwa istri harus tunduk pada keinginan suami. Belum cukup dengan itu, tidak jarang “bogem mentah” pun melayang di wajah ayu Annisa.

Ketegangan rumah tangga Annisa semakin menjadi terjadi ketika Kalsum, seorang perempuan yang sedang hamil tua, menyambangi rumah Annisa. Kalsum datang untuk menuntut Samsudin untuk bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Hati siapa tidak terluka melihat suami telah mendua? Sekali lagi Annisa harus menelan pil pahit. Dengan alasan bahwa Nabi Muhammadd S.A.W juga mempunyai istri lebih dari satu, Ia harus menerima Kalsum menjadi istri kedua Samsudin. Kini mereka tinggal berempat di bawah satu atap: Annisa, Samsudin, Kalsum dan anak yang dilahirkannya.
Derita tak bertepi itu telah mendorong Annisa untuk meninggalkan Samsudin dan bertemu dengan Khudori. Annisa bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Ia ingin bercerai dengan Samsudin dan meminta Khudori menikahinya. Sebagai pemuda Islam taat sekaligus terpelajar, Khudori tidak berani menyanggupi keinginan Annisa untuk menikahinya karena ia masih terikat dengan Samsudin.

Pertemuan rahasia tersebut ternyata diketahui Samsudin. Tanpa bisa mengelak, Annisa dan Khudori tertangkap berdua dan difitnah dengan tuduhan berzina. Rajam adalah hukuman untuk itu. Beruntung, belum lagi semua batu mendarat di tubuh Annisa dan Khudori, Umi datang dan berkata, “Siapa yang tidak berdosa silahkan melemparkan batunya”.

Persis setelah kejadian itu Abi Annisa menghadap Rahmatullah. Persis saat itulah perjuangan Annisa kembali terbuka. Ia bercerai dengan Samsudin dan kemudian melanjutkan kuliah di Jogya. Pada masa-masa kuliah itulah, Khudori datang menyatakan cinta dan keseriusannya untuk menikah dengan Annisa. Khodori dan Annisa akhirnya merajut rumah tangga di Jogya. Keduanya memulai merajut kembali mimpi yang selama ini telah menghilang.

Kisah manis itu tidak bertahan lama. Setelah Annisa dan Khudori memutuskan untuk kembali ke pesantren, tragedi itu terurai kembali. Urusan dengan Samsudin tidak bisa begitu saja dihentikan karena Pesantren Al-Huda berhutang banyak pada pesantren Salaf. Urusan cinta, harta dan dogma kini melebur menjadi satu.
Annisa lagi-lagi harus berhadapan dengan tantangan besar. Khudori, sang suami sejati, harus pergi lebih dahulu meninggalkan Annisa. Tanpa diketahui oleh Annisa, Khudori sebenarnya dengan sengaja ditrabrak oleh orang suruhan Samsudin. Pahit, tetapi Annisa tidak menyerah. Dengan bantuan Umi, Annisa bangkit lagi dari keterpurukan tersebut.

Buluh yang terkulai, itu tidak terpatahkan. Pengalaman telah mengasah Annisa menjadi perempuan yang tangguh. Dalam seluruh perjuangannya, Annisa berhasil merubah paradigma pesantren Al-Huda. Annisa membawa obor baru bagi para santriwan. Tidak ada lagi buku-buku sekular yang dibakar. Perpustakaan itu adalah simbol keberhasilan. Annisa telah membawa perubahan dan harapan bagi kaummnya. Jauh di dalam, Annisa telah menancapkan tonggak baru yakni, perempuan juga dicintai Allah.

B. Ketika Hati Bicara: Perjuangan Annisa Demi Kesetaraan
Dalam film PBS ini paradigma tentang perempuan terbagi dua. Pertama, mereka yang mengangap bahwa perempuan sebagai mahluk lemah yang tidak berkebebasan, tidak mempunyai akal pikiran, mahluk yang harus diatur dan diarahkan. Posisi ini diwakilkan oleh Kyai Hanan dan seluruh komponen yang berpengaruh di Pesantren Al-Huda, tidak terkecuali Samsudin dan keluarga. Kedua, mereka yang berpandangan bahwa perempuan, meskipun berbeda secara fisik, namun makhluk yang diciptakan setara dengan laki-laki dengan itu tidak bisa diperlakukan dengan semena-mena. Posisi ini diwakilkan oleh Annisa, Khudori dan LSM perempuan tempat Annisa bekerja.

Apakah posisi yang pertama bisa dibenarkan atau sebaliknya, posisi kedualah yang menjadi acuan? Oposisi kedua pandangan tidak bisa tidak menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar yakni, “Bagaimanakah sebenarnya Islam menempatkan perempuan?”

Seyyed Hossein Nasr menulis, “….di hadapan Tuhan, di depan realitas eskatologis paling hakiki, dan di hadapan hukum, ya mereka sama, tetapi di dalam dunia, tidak selalu harus sama.

Terkait pertanyaan yang sama Munawir Sjadzali mengutip Al Qur’an surah al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling berkenalan. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di muka Allah adalah ia yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal”. Sadzali melanjutkan, “Satu hal yang tampaknya kurang mendapat perhatian kita adalah bahwa aya tersebut juga menginsyaratkan persamaan kedudukan antara pria dan wanita yang merupakan asal dari umat manusia yang kemudian berkembang menjadi banyak bangsa dan suku itu. Kalau umat manusia yang lahir dari pasangan suami istri itu menikmati persamaan kedudukan di antara mereka, maka logikanya sepasang suami istri dari mana umat manusia itu berasal juga memiliki persamaan kedudukan di antara mereka berdua, tanpa perbedaan yang didasarkan atas kelamin. Singkatnya, menurut Islam kedudukan pria dan wanita itu sama.”

Budhy Munawar-Rachman dalam pengantar buku Nasr menulis, “Golongan Islam liberal harus berjuang keras melawan interpretasi atas pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur;an yang selama ini dalam tradisi telah ditafsirkan secara misogis (prasangka kebencian terhadap perempuan) dalam budaya patriarkhi. Seolah-olah memang Al-Qur’an telah meneguhkan ketidaksetaraan secara gender antara laki-laki dan perempuan.”

Seorang aktivis perempuan, Nong Darol Mahmada dalam sebuah tulisan lepasnya pernah menulis, “Sebagai perempuan yang dilahirkan dari orang tua yang beragama & bertradisi Islam dan kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama yang saya peluk, tentu saya ”terganggu” dengan pemahaman Islam seperti ini. Saya tak percaya kalau agama yang saya anut mendiskriminasikan jenis kelamin saya, perempuan. Karena saya percaya tidak mungkin Allah, Sang Pencipta, menciptakan manusia (laki-laki & perempuan) dan kemudian bersikap tidak adil pada salah satu ciptaannya.”

Dari ketiga pendapat di atas dapat ditarik sebuah benang merah yakni pada dasarnya dalam Islam, laki-laki dan perempuan berkedudukan sama di hadapan Allah. Namun juga harus diakui bahwa ini bukanlah jawaban mutlak. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian umat Muslim yang berbeda pandangan dengan keempat pandangan tersebut di atas.

Akhirnya, seperti ditulis oleh Budi Munawar-Rachman masalah ini kembali lagi pada bagaimana kita membaca sebuah teks, “Isu ketidaksetaraan tersebut, selama ini dalam tradisi telah memperoleh legitimasi pembenaran Al-Qur’an. Para pemikir Muslim memperjuangkan tema ini dan susah payah membuat penafsiran baru dan mereka—karena berhadapan dengan teks sakral yang telah dianggap membenarkan ketidaksetaraan gender—akibatnya tidak bisa mengambil posisi yang liberal syariah. Posisinya adalah harus mengkaji ulang secara radikal, maka muncullah model hermeneutik interpreted syari’ah. Mereka kemudian melakukan sesuatu yang boleh jadi bertentangan dengan makna teks Al-Qur’an yang literal. Atau malah harus melakukan pembacaan ulang terhadap Al-Qur’an itu.”

Pada akhirnya, Annisa dalam film PBS menggambarkan sebuah posisi hati yakni Allah juga mencintai kaum perempuan. Allah tidak ingin kaum perempuan diperlakukan tidak adil karena Allah adalah cinta. Dan rahmat serta kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu (QS Al A’raf [7]:156).

C. Ketika Budi Berkata: Hermeneutika Ayat-Ayat Suci
Seperti sudah penulis utarakan pada bagian awal, pada budi ini penulis akan mencoba memaparkan dari berbagai sumber tentang hermeneutika ayat-ayat suci Al-Qur-an. Masalah tafsir ini memang tidak bisa disejajarkan dengan perihal matematis dimana hasil yang dicapai adalah mutlak, hitam di atas putih. Hermeneutika ayat-ayat suci mempunyai sejarah yang sangat panjang. Dan jika itu dirunut mundur kebelakang, persis kita akan kembali lagi pada jaman Nabi.

Namun, pada kesempatan ini tidak bermaksud dan tidak berkompeten untuk menulis sebuah sejarah komprehensif hermeneutika teks-teks suci Al-Qur’an. Hermeneutika yang akan penulis paparkan dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Budi Munawar-Rachman dalam Introduksi buku The Heart of Islam.

Saat ini terdapat tiga model hermeneutika yang berkembang di kalangan pemikir Islam. Model yang pertama ialah liberal syari’ah (syariat yang liberal); kedua, model silent syari’ah (syariat yang diam mengenai masalah itu); model interpreted syariah (syariat yang perlu ditafsirkan ulang).

Model yang pertama, liberal syariat. Mereka yang berada dalam model ini berpendapat bahwa jika dipahami dengan benar, sebenarnya syariat itu sendiri sejak awal sifatnya sudah liberal. Mereka berargumen bahwa Islam sudah sedari awal mempunyai solusi, jalan keluar atas masalah-masalah Islam kontemporer, mis. penghargaan terhadap pluralitas agama.

Dalam mendukung model ini, mereka yang berada dalam model ini menggunakan dan menonjolkan ayat-ayat Al-Qur’an yang liberal. Golongan liberal syari’ah ini sangat mementingkan autentisitas. Untuk itulah mereka selalu mencari dukungan ayat-ayat Al-Qur’an maupun Sunnah untuk mendukung gagasan-gagasan mereka mengenai Islam Liberal. Keyakinan mereka adalah menjadi liberal adalah bagian perintah Tuhan.
Harus diakui bahwa argumen dari golongan liberal syari’ah ini kadang-kadang bersifat apologetik. Apologetik di sini misalnya: mereka mengungkapkan bahwa liberalisme dalam Islam lebih dulu dari liberalisme di dunia Barat, sebelum ada demokrasi Barat, nilai-nilai demokrasi itu telah ada dalam Islam. Fokus utama liberal syari’ah ini memang isu-isu di sekitar masalah sosial-politik seperti misalnya civil society, HAM, juga masalah agama dan sains.

Model yang kedua, silent syari’ah. Mereka yang berada dalam model ini juga hendak membangun autentisitas Islam. Namun, berbeda dari golongan liberal syarita mereka beranggapan bahwa autentisitas Islam dibangun dari anggapan bahwa Islam tidak berbicara tentang isu-isu komtemporer.

Anggapan bahwa Islam tidak berbicara tentang isu kontemporer telah membuka sebuah cara berfikir kreatif dalam memikirkan hal-hal kontemporer tersebut. Agama justru mendorong kreativitas tersebut. Seperti misalnya masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial, bagi golongan silent syari’ah memang diperlukan suatu kreativitas baru untuk memikirkan hal itu. Bagi mereka, umat Islam sudah seharusnya peka dan tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kemajuan jaman.

Kalangan silent syari’ah juga bersandar pada Al-Qur’an tetapi mereka tidak terlalu disibukkan dan dibebani dengan pembuktian teks-teks Al-Qur’an. Bagi mereka, syariat sebenarnya tidak mengatur seluruh persoalan manusia. Kalangan silent syari’ah lebih beranggapan bahwa Al-Qur’an itu lebih berbicara tentang moral dan spiritual ketimbang soal detail kehidupan sosial dan politik.

Model ketiga, interpreted syari’ah. Mereka yang berada dalam model ini beranggapan bahwa syariat perlu ditafsirkan kembali. Hermeneutika interpreted syari’ah ini adalah yang paling kontroversial diantara ketiganya. Pada dasarnya mereka mengedepankan suatu epistemologi yang menegaskan perlunya keragaman di dalam cara menafsirkan teks-teks keagamaan.

Bagi model ini, ketidaksetujuan atas suatu tafsir sangat diperlukan. Oleh karena itu mereka membela sebuah pemahaman tentang kebenaran yang memerlukan dialog. Dialog disini artinya mempelajari terus-menerus agama, bukan sebagai kata benda melainkan sebagai kata kerja. Maka dari itu mereka mendukug sikap demokratis dalam beragama, karena demokrasi merupakan suatu penerimaan atas perbedaan pendapat di dalam menafsirkan agama. Syariat bagi mereka tidak turun langsung dari Allah melainkan merupakan penafsiran manusia.

Dari pemaparan singkat atas ketiga aliran tersebut, bagaimanakah kini film PBS bisa kita maknai? Film PBS yang menggambarkan perjuangan perempuan Islam dalam mencari makna hidup sejatinya menggunakan ketiga pendekatan hermeneutika di atas. Ada saat dimana film ini menunjukkan liberal syariah, silent syariah dan interpreted syariah.
Satu hal yang dapat dipastikan ialah film PBS ini beroposisi dengan syariah fundamentalis yang mengedepankan tafsir literal terhadap teks-teks agama. Annisa dalam berbagai kesempatan bertanya mengapa ini dan mengapa itu. Apakah teks bahwa suami berkuasa terhadap istri diartikan bahwa sang istri harus selalu siap menjadi penyaluran nafus suami? Apakah seorang santriwati harus melulu membaca Al-Qur’an dan dengan itu mengharamkan membaca buku-buku selain Al-Qur’an? Dan masih banyak pertanyaan budi yang dilontarkan oleh Annisa berkaitan dengan tafsir literal terhadap Al-Qur’an.

D. Ketika Hati dan Budi Bersua: Siapakah Islam?
Dari pemaparan di atas, pertanyaan akhir yang kiranya harus dijawab ialah, “Siapakah Islam?” berangkat dari pengalaman pribadi, penulis merasa sebagian besar Islam yang penulis kenal bukanlah seperti apa yang digambarkan oleh kaum konservatif di pesantren Al-Huda. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pemahaman manusia tentang agama, penulis merasa pendekatan literal, meskipun ada, sudah semakin ditinggalkan.

Melalui pendekatan literal terhadap teks-teks agama, kita mau tidak mau menafikan kondisi historitas manusia dan dengan itu juga historisitas teks-teks agama. Teks-teks agama, seberapapun sucinya, tidak akan bermakna apa-apa tanpa manusia. Jika dirunut kebelakang, kita harus mengakui bahwa pernah suatu saat ketika teks itu tidak ada. Itulah yang penulis maksud dengan historis bahwa teks tidak bisa dilepaskan dari konteks.

Akhirnya, ukuran penting yang tidak boleh terlupakan ialah manusia itu sendiri. Hermenetika itu pada akhirnya harus ditatapkan pada pertanyaan, “Bagaimanakah manusia telah diperjuangkan?’

E. Kesimpulan
Setelah menonton film PBS dan membaca beberapa buku berkaitan dengan keislaman satu hal yang dapat penulis ajukan ialah: umat Muslim secara sungguh bergulat mencari cara untuk mencapai sebuah Rahmatan Lil Alamin.

Seperti dituliskan Sjadzali, “Islam yang dibawa oleh Nabi besar Muhammad SAW dulu adalah betul-betul Rahmatan Lil Alamin; pemberi petunjuk kepada mereka yang sesat jalan; penegak keadilan; pembela mereka yang lemah; pelopor peningkatan martabat kaum wanita; pemberi kedamaian kepada mereka yang saling bermusuhan; pendorong pencarian kebenaran lewat ilmu pengetahuan. Dengan demikian Islam telah memberikan sumbangan yang amat besar kepada perkembangan umat manusia.

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP