Metafisika, Mungkinkah?

Menyelidiki Kemampuan dan Batas Akal Budi Untuk Menilai Posisi Metafisika Dalam Pemikiran Immanuel Kant

Kant: Sejarah Singkat
Immanuel Kant terlahir pada tanggal pada tanggal 22 April 1724 di Koningsberg (sekarang berada di wilayah Rusia). Di tempat inilah Kant kemudian menghabiskan seluruh perjalanan hidupnya. Ia menjalani pendidikan awalnya pada tahun 1731-1740 di Collegium Fridericianum. Pada tahun 1740 Kant melanjutkan studinya di universitas di kota yang sama. Tokoh yang secara signifikan mempengaruhi pemikiran Kant ialah Martin Knutzen, seorang profesor logika dan metafisika. Knutzen sendiri adalah murid dari Wolff—seorang penganut rasionalisme.

Kant mempelajari beragam ilmu, mulai ilmu pengetahuan alam, astronomi, matematika sampai filsafat. Setelah menyelesaikan doktoratnya pada tahun 1755, Kant memulai karyanya sebagai privatdozent. Pada tahun 1770 Kant memperoleh gelar profesor dalam bidang logika dan metafisika di Universitas Koningsberg. Selama masa hidupnya Kant menulis beragam tulisan, salah satunya yang paling berpengaruh besar dalam sejarah pemikiran filsafat ialah Critique of Pure Reason (1781).

Kemampuan dan Batas-Batas Akal Budi
Untuk memahami metafisika Kant, pertama-tama perlulah dilihat dua aliran pemikiran sebelumnya yang membicarakan tentang asal muasal pengetahuan manusia. Dua aliran pemikiran itu adalah rasionalisme dan empirisme.


Yang pertama beranggapan bahwa sumber pengetahuan ialah rasio. Dengan itu rasio mendahului atau unggul atas dan bebas dari pengamatan dari indrawi. Mereka yang berada pada jalur ini ialah Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-77), and Leibniz (1646-1716). Sedangkan yang kedua beranggapan bahwa pengetahuan bersumber dari pengalaman. Bukanlah rasio yang menjadi menjadi sumber utama melainkan pengalaman indrawi. Beberapa tokoh empirisme ialah Locke (1632-1704), Barkeley (1685-1753) dan Hume (1711-1776). Kant sendiri bukanlah seoarang rasionalis ataupun empiris. Karyanya yang paling masyur justru mensintesiskan keduanya, antara rasionalisme dan empirisme.

Kant mengatakan filsafatnya sebagai filsafat kritis. Yang dimaksud oleh Kant dengan filsafat kritis ialah filsafat yang pertama-tama menyelidiki kemampuan dan batas-batas akal budi (rasio). Kritisisme itu sendiri dipertentangan dengan dogmatisme, yakni pandangan yang begitu saja percaya pada kemampuan dan batas-batas akal budi tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadapnya.

Penyelidikan kemampuan dan batas-batas akal budi (ratio)
Dalam Critique of Pure Reason (1781) Kant membedakan tiga macam putusan yakni :
1. Putusan sintesis (aposteriori): dalam putusan ini predikat berhubungan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi. Misalnya, hari ini panas. Pengetahuan kita akan hari yang panas adalah hasil observasi indrawi kita setelah pernah mengalami hari-hari yang lain.
2. Putusan analitis (apriori): dalam putusan ini predikat sudah termuat dalam subyek. Predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subyek. Predikat itu diketahui melalui analisa terhadap subyek. Misalnya, lingkaran itu bulat. Pengetahuan kita tentang lingkaran itu bulat tidaklah diasalkan dari pengalaman, melainkan dari analisa terhadap subyek.
3. Putusan sintesis apriori: putusan ini dapat dilihat dalam contoh kalimat, ”segala sesuatu ada sebabnya”. Dalam putusan ini memang predikat merupakan hasil sintesis (dalam arti menambahkan sesuatu yang baru pada subyek). Tetapi, putusan ini tidak diperoleh dari pengalaman melainkan diketahui secara apriori, walaupun bukan diperoleh dengan jalan menganalisa subyek. Dalam ranah pengetahuan matematis putusan sintesis apriori ini mungkin terjadi. Lalu bagaimana dengan metafisika? Apakah metafisika bisa menghasilkan sebuah putusan sintesis apriori?

Untuk menjelaskan tentang bagaimana terjadinya putusan sintesis apriori itu, Kant melakukan penyelidikan terhadap taraf-taraf pengetahuan pada akal budi manusia.
1. Pada taraf indra
Bagi Kant dalam sebuah penampakan obyek terdapat dua unsur yaitu forma dan materi. Pada taraf ini unsur materi adalah isi dari penampakan obyek tersebut (obyek yang tampak). Obyek tersebutlah yang membuat dirinya tampak, maka aposteriori. Sedangkan unsur forma adalah apa yang terdapat pada subyek yang memungkinkan subyek mengalami penampakan obyek. Sekali lagi unsur forma tidak bersal dari luar subyek, maka dari itu apriori. Kant mengatakan dua unsur apriori pada taraf ini ialah ruang dan waktu. Data-data inderawi yang kita tangkap selalu berada dalam kategori ruang dan waktu. Namun, penangkapan itu belumlah dapat dikatakan sebagai pengetahuan melainkan pengalaman. Ini artinya pengalaman terjadi atas dari penggabungan antara materi (data-data indrawi) dan forma (ruang dan waktu).

2. Pada taraf Verstand

Pada taraf indra meskipun hasil dari sebuah sintesis, tetapi belum merupakan sebuah pengetahuan. Pada taraf ini Kant ingin menjelaskan data-data indrawi itu menjadi sebuah pengetahuan. Menurut Kant dalam diri subyek terdapat dua kemampuan. Pertama, kemampuan untuk menerima data-data inderawi dan kedua, kemampuan untuk membentuk konsep. Kemampuan untuk mengindrai disebutnya sebagai sensibilitas sedangkan kemampuan untuk membuat konsep disebutnya sebagai verstand.
Ketika saya melihat sepeda, misalnya, sebenarnya yang terlihat hanyalah penampakan-penampakan dari ragam komponen sepeda. Data-data inderawi itu disusun dalam akal (verstand) sehingga menjadi sebuah gambaran sepeda yang utuh. Meskipun kita dapat mengindrai sebuah gambaran utuh tetapi kita belum memiliki pengetahuan terhadapnya. Untuk memiliki pengetahuan tentang penampakan itu, subyek harus berfikir. Berfikir bagi Kant adalah menyusun putusan. Dalam keputusan terjadi sebuah sintesis antara penampakan dengan unsur-unsur apriori akal (verstand). Unsur apriori itu adalah kategori-kategori. Kategori-kategori inilah yang membuat penampakan-penampakan itu diketahui oleh subyek. Atau dengan kata lain, tanpa adanya kategori-kategori ini subyek hanya mampu mengindrai penampakan tanpa memiliki pengetahuan terhadapnya.

Kant mengajukan dua belas kategori. Keduabelas kategori inilah yang menjadi syarat diketahuinya sebuah penampakan.
A. Kuantitas
1. Kesatuan/unitas
2. Kemajemukan/pluralitas
3. Keseluruhan/Totalitas
B. Kualitas
1. Realitas
2. Negasi
3. Limitasi
C. Relasi
1. Substansi
2. Kausalitas
3. Komunitas
D. Modalitas
1. Kemungkinan-kemungkinan
2. Eksistensi – Non-eksistensi
3. Keniscayaan – Kontigensi

Keduabelas kategori ini dapat digambarkan sebagai sebuah kaca mata merah (perumpamaan ini bukan dari Kant). Ketika seseorang menggunakan kaca mata merah, segala sesuatu yang dilihatnya tampak berwarna merah. Tentu saja benda-benda itu tidak berwarna merah. Tetapi kita tidak dapat melihat segala sesuatu itu tanpa kaca mata merah itu, karena kaca mata merah itu sudah melekat dalam pada diri kita. Kaca mata merah itu adalah kategori-kategori yang menjadi unsur apriori pada taraf akal (verstand) ini. Pada taraf ini ditunjukkan bahwa akal (verstand) bersifat konstitutif terhadap obyek. Konstitutif itu berarti bahwa bukan pikiran yang menyesuaikan dengan obyek, melainkan obyek sendirilah yang menyesuaikan dengan pikiran. Jadi, bukan adaequatio intellectus ad rem (kesesuaian intelek dengan realitas), melainkan adaequatio rei ad intellectum (kesesuaian realitas dengan intelek). Bagi Kant yang dapat kita ketahui adalah penampakan (fenomena). Sedangkan benda pada dirinya sendiri, das ding an sich (numena) tidak dapat kita ketahui.


3. Pada taraf Vernunft
Tidak berhenti pada taraf akal (verstand), proses pengetahuan berlanjut pada tahap budi (vernunft). Istilah budi (vernunft) ini mengacu pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari pada akal (verstand). Berbeda dengan akal (verstand) yang sifatnya konstitutif, budi (vernunft) berfungsi mengatur (regulatif) dan menggabungkan putusan-putusan yang dihasilkan oleh akal (verstand). Kesatuan putusan yang dihasilkan dalam bentuk argumentasi itu bersifat murni dan tidak berasal dari pengalaman. Budi (vernunft) sama sekali tidak berhubungan dengan hal-hal yang empiris dan dengan itu pengetahuan kita tidak diperluas.

Jika pada tahap akal (verstand) yang menjadi unsur apriori adalah kategori-kategori, pada tahap budi (vernunft) ini yang menjadi unsur apriori adalah tiga idea rasio murni, yaitu:
1. Idea Jiwa. Idea ini menjadi penjamin kesatuan akhir dalam seluruh pengalaman subyek (batiniah) dalam hubungannya dengan diri sendiri.
2. Idea Dunia. Idea ini menjamin kesatuan akhir dalam hubungan-hubungan kausal dalam penampakan obyek (lahiriah).
3. Idea Allah. Idea ini menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan baik yang tampak (lahiriah) ataupun yang tidak tampak (batiniah).

Idea-idea ini bukanlah tentang kenyataan-kenyataan empiris dan juga tidak berhubungan langsung dengan obyek-obyek empiris. Maka dari itu, ketiga idea tersebut tidak memberikan suatu pengetahuan tentang obyek, tetapi merupakan aturan-aturan rasio yang menjamin kesatuan akhir dalam ranah gejala-gejala lahiriah, ranah gejala-gejala batiniah dan ranah gejala-gejala segala yang tampak dan yang tidak tampak.

Tanggapan Kant terhadap metafisika tradisional

Merujuk pada penjelasan Kant mengenai Idea-Idea murni, pemikiran metafisika tradisional jelas tidak dapat dibenarkan. Dalam pemikiran metafisika tradisional ketiga idea ini (Jiwa, Dunia dan Allah) dipandang sebagai gagasan tentang sesuatu benda yang berada. Metafisika tradisional itu menempatkan kategori-kategori akal, misalnya kausalitas, pada idea Allah.

Kategori-kategori—yang merupakan unsur apriori pada tahap akal (verstand)—seharusnya bersintesis dengan penampakan-penampakan inderawi untuk menghasilkan sebuah putusan. Jika kategori-kategori akal (verstand) diterapkan pada idea Allah—yang adalah idea murni—maka metafisika telah melampaui kemampuan dan batas-batas pengetahuannya. Dengan itu berarti m

Metafisika tradisional tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Beruntunglah bahwa metafisika tidak bersifat ”pengetahuan”, karena katanya, ”saya harus menggali pengetahuan dari bawah untuk menciptakan ruang bagi iman.”

Kesimpulan
Dengan pembedaan tiga jenis keputusan dan dengan proses mengetahui dalam tiga tingkatan tersebut, akhirnya dapat disimpulkan bahwa metafisika Kant adalah sebuah usaha untuk membuktikan bahwa sebuah pengetahuan itu mungkin. Dan dengan penyelidikannya terhadap kemampuan dan batas-batas akal budi tersebut, ia mensistesiskan rasionalisme dan empirisme sekaligus menolak paham metafisika tradisional.


  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP