Tapi Itulah Realitasnya (Part 1)

Malam itu tidak hujan. Kuputuskan untuk keluar rumah sejenak. Tujuannya, seperti biasa, La Piazza-Kelapa Gading. Alasannya satu, jarak yang relatif dekat. Setelah mendapat ruang untuk memarkir vespa butut tercinta, aku berjalan menyusuri jembatan antara Gedung Parkir dan La Piazza.

Entah kenapa, setiap kali aku memasuki gedung parkir ini, ingatan lima tahun lalu selalu saja terngiang. Lima tahun yang lalu, gedung parkir yang megah ini belum ada. Dengan penuh rasa bangga, aku membisikkan pada diriku, “akulah saksi pembangunan gedung ini”. Ya, kala itu aku (dengan dua orang sahabat, BKW dan ASS) bekerja menjadi anggota K3 (Keselamatan dan Keamanan Kerja). Nama yang elite bukan? Rasanya seperti pasukan khusus! TAPI sebenarnya, K3 adalah KULI-NYA KULI BANGUNAN.

Siapapun dapat memerintahku untuk melakukan apapun yang dia mau. Bahkan untuk sekedar memijat mandor saat ia kelelahan (dia itu memang “asu”, ucap seorang teman). Di proyek ini jangan pernah berharap atau bermimpi sekalipun tentang RELASI INTERSUBJEKTIVITAS. Relasi itu bernama KEKUASAAN (POWER), demikian kata Michel Foucault. Segala sesuatu tergantung pada siapa yang berkuasa!

Kala itu pembangunan baru saja dimulai. Bagi mereka yang pernah bekerja di proyek (apalagi menjadi kulinya kuli bangunan) pasti tahu bagaimana rasanya bekerja saat semua baru saja dimulai: pekerjaan masih belum jelas (belum lagi selesai, sudah disuruh yang lain), belum ada bedeng untuk tidur dan parahnya lagi di proyek itu belum ada kamar mandi dan kakus. Dan lagi, sebagai orang baru, jangan pernah berharap mendapat helm kerja dan sepatu boot (kecuali mau menyogok untuk mendapatkannya). Jadi, bersiaplah untuk segala kemungkinan kecelakaan kerja.

Ketika aku masuk di proyek ini ada seorang Bapak tua (ia seorang kuli bangunan) yang dengan tulus hati menemani dan mengajari apa yang harus kulakukan. Tugas pertama yang tidak pernah kulupakan ialah membersihkan tanah-tanah yang tertumpah dari truk-truk pengangkut tanah di di sepanjang jalan sekitar La Piazza. Kata sang Mandor, “Harus bersih! Ntar pihak Kelapa Gading complain lagi karena jalan-jalan mereka kotor dengan tanah-tanah proyek” Dengan berbekal sapu lidi dan sekop, mulai dari pagi hari sampai dini hari, aku membersihkan jalan-jalan itu.


Sesaat muncullah sebuah ide. Sebelum truk-truk itu keluar dari proyek, kubersihkan (bahkan kucuci) dulu seluruh bannya, dan sembari menyodorkan sebatang rokok, kubisikkan pada supir truk, “Bos ga usah penuh-penuh ya ngisi tanahnya, biar ga tumpah di jalan”. Sehari-dua hari rencana berjalan (lumayan tidak terlalu lelah). Tetapi masalahnya intensitas pengangkutan tanah semakin hari semakin tinggi, dan lagi, jumlah truk pengangkut tanah semakin bertambah (sekitar 15 truk). Tidak mungkin rasanya kalau harus kucuci semua! Alhasil, aku harus menguatkan kehendak untuk tetap setia pada pekerjaan ini.

Saat-saat yang sulit ialah ketika hujan tiba. Hujan tidak lagi menjadi “berkat” karena jika hujan, jalan-jalan yang dilalui truk-truk semakin belok dengan tumpahan-tumpahan tanah. Dengan entengnya sang mandor memerintah, “Sana jalannya dicuci, ntar kita di-complain lagi”. NYUCI JALAN???

Baru kali ini rasanya aku mendengar istilah “nyuci jalan”. Ah..betapa manjanya mobil-mobil mewah itu, terkena tanah sedikit pun mereka tidak mau. Tidak ada pilihan, bersama dengan tiga orang teman, aku menyapu dan mencuci (tepatnya MENYIKAT) jalan-jalan yang dilalui truk-truk itu (entah berapa kilometer?).

Suatu pagi, ketika matahari sudah mulai menanjak, sebuah mobil (kalau tidak salah kijang kapsul) berhenti. Dari dalam muncullah seorang ibu membawa sebuah bungkusan. “Mas ini ada sayur sisa tadi malam, masih enak, mau ga?”. Tanpa pikir panjang, “Terima kasih Bu”. Aneh? Tumben ada orang baik? Bungkusan itu kubawa ke warung proyek, tempat kami biasa makan. Kuberikan sayur itu pada Ibu warung. “Bu, ini ada sayur enak”. Setelah dipanaskan, sayur “enak” itu terhidang untuk sarapan. Siapa yang mau silahkan ambil sendiri. Syukur, pagi itu sarapan agak spesial karena kopi hitam itu ada temannya.

Hanya Ibu warung yang memberikan penghiburan saat awal kami kerja. Seperti seorang Ibu, ketika lelah sudah tak tertahankan dan tiba waktunya istirahat, ia mulai memanggil-manggil, “makan dulu…makan dulu”. Sapaannya itu berbeda. Ia tidak sedang berpromosi tentang warungnya, tetapi ia sungguh menyapa sebagai seorang Ibu. Bahkan ketika aku cedera dan tidak bisa kerja selama hampir empat hari, ia tidak menolak untuk menggorengkan telur dadar atau sekedar indomie. Ia tidak pernah bertanya soal uang dan ia tahu kami tidak punya uang. “Nanti saja, setelah bayaran”, ucapnya dengan santai.

Akhir minggu telah tiba. Saatnya menerima bayaran. Bisikku dalam hati, lumayan bisa beli nasi goreng malam ini. Yang menarik, hampir setiap menerima bayaran, ada saja ajakan “Mas ke Pulo Gadung yuk..”. Awalnya aku tidak “ngeh”. Ada apa di Pulo Gadung? Tetapi lama kelamaan aku paham maksud mereka. Sambil bercanda kujawab, “Makasih mas…saya tidak ikut, saya sama istri saja di rumah”..HAHAHAHA. Ini bukan saatnya memakai penilaian moral atau apalah namanya. Tapi itulah realitasnya. Itulah yang terjadi di proyek ini.

Setelah puas dengan nasi goreng gerobak, mata mulai mengantuk. Beberapa teman kuli malah sudah tertidur di trotoar dan emperan toko, mereka sangat lelah pastinya. Dengan bekal koran dan terpal-terpal bekas, kami numpang tidur di Pos Satpam proyek. Kenapa aku tidur di Pos Satpam bukan di trotoar? Alasannya satu, matahari selalu mendahuluiku.

Sesaat sebelum mata terpejam, kudaraskan lagi sebuah kalimat, Finding God in All Things. (Even in this kind of situation???)


Salamku untuk teman-teman kuli dari Jepara, Pati, Kebumen dan Cilacap.
Andi.T


read more tariganism...

Cintaku di Halte Busway

Rutinitas pagi! Ditemani secangkir kopi hitam saya mengambil sebuah surat kabar, memposisikannya dalam jarak baca normal dan kemudian “mengejanya” satu persatu. Ungkapan “mulailah hari dengan senyum” pun pantas diterapkan dalam membaca surat kabar. Untuk itu, yang pertama-tama saya buka adalah kolom Apa dan Siapa. Apa hubungannya? Just see it. Belive me you will find, at least, two sweet smiles there…

Cukup dengan sweet smile. Perlahan-lahan saya mulai masuk dalam kolom yang agak serius, yakni bidang Hukum dan Politik. Selain kolom Apa-Siapa dan Opini, kolom ini pantang dilewatkan. Pasalnya, di kolom inilah para elite politik secara sadar mempertontonkan kebodohannya di mata 200 juta rakyat republik ini. Syarat utama membaca kolom ini: singkiran sejenak pikiran bahwa politik yang sebenarnya adalah sesuatu yang berkaitan dengan kota (Lat: polis) dan mereka yang hidup di dalamnya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, pasti kita akan kecewa membaca kolom tersebut karena apa yang ditampilkan oleh para elite politik kita hanya melulu oportunisme demi kekuasaan.

Ranah politik kita sudah terlanjur keruh, kotor, berbau busuk (tetapi itu bukan berarti tidak bisa dijernihkan). Tak ada sesuatu yang dapat ditularkan pada generasi ini, kecuali perebutan harta dan kuasa dengan menghalalkan segala cara. State of nature yang dirumuskan oleh Hobbes (manusia adalah serigala bagi yang lain) semakin nyata dalam kancah perpolitikan kita.

Dalam perpolitikan kita ini jangan pernah berharap akan muncul tema-tema seperti: bonum commune (kebaikan bersama), demokrasi, keadilan, HAM dan multikulturalisme. Maaf kawan, kita harus kecewa karena tema-tema itu hanya konsumsi mahasiswa/i dalam kelas filsafat politik. Kita akan dianggap bodoh jika kita berbicara itu di depan mereka.

Entah kenapa setelah membaca berita-berita politik, sesaat saya teringat akan sebuah tayangan yang berjudul besar FTV (kalau tidak selah kepanjangannya adalah Film Televisi). Jika hendak dirinci lagi, FTV itu terdiri dari puluhan judul, seperti Janji Jengkol, Pacar Rahasia, Arjuna Dikejar Cinta, Aku Benci Jatuh Cinta dan masih banyak lagi kisah cinta-cintaan yang naif dan menggelikan.
Apa kaitannya antara politik dan FTV?

PERTAMA! Sambil sejenak istirahat di malam hari, dengan seorang teman, saya biasa bermain tebak-tebakan skenario FTV. Mari kita tebak: mulai dari bersenggolan di angkot, lalu si cowok terpesona..setelah itu PDKT, akhirnya “jadian”. So simple! Hampir 95 persen jalannya kisah dapat kami tebak. Cuma lima persen yang tidak tertebak, iklan!! Alurnya sederhana: pembukaan cerita, klimaks happy ending stroy. Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan dan makna apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik telah terprediksi, yakni DEMI KEKUASAAN. Demi kekuasaan, surat-surat suara (baca: aspirasi) yang telah terkumpul kini dikubur dalam-dalam dan diberi nisan yang bertuliskan “RIP: RAKYAT”. Kekuasaan telah membutakan segalanya. Jangan heran jika demi kekuasaan mereka sampai tidak malu menjilat ludah sendiri. Alur kisah para elite politik sederhana: membuat partai, berkoalisi, berkuasa (dan berharta). Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan kebangsaan apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED, yakni . Kekuasaan bukan lagi sarana, namun tujuan.

KEDUA! Harus diakui bahwa meskipun tidak menawarkan cerita yang bermutu, namun FTV menawarkan wajah-wajah baru nan “bening”. Aneh tapi nyata! Dalam sebuah kisah ditunjukkan bahwa seorang gadis cantik gedongan berangkat kuliah naik metromini dan bertemu dengan kondetur metromini yang tampan dengan gaya metroseksual. BAGAIMANA MUNGKIN, ABSURD? Ya itulah, seluruh tokoh telah di make-up sedemikian rupa sehingga “terjual” laris bak kacang goreng. Masalah karakter penokohan menjadi tidak penting; yang terpenting adalah cantik/tampan, putih bersih dan modis (kalau bisa agak sedikit bule). Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik dibungkus manis dalam sebuah PENCITRAAN. Tidak ada yang namanya ideologi. Sebisa mungkin mereka akan menghindar dari pembicaraan tentang substansi dan esensi. Yang terpenting adalah bagaimana saya tampak sebagai pemimpin inovatif, beragama dan pro-rakyat. Pencitraan itu dikemas rapi dalam slogan-slogan yang menyesatkan. Dengan tidak mengurangi hormat kepada kepada saudari-saudariku yang memilih dengan hati untuk berjilbab, bagi saya para elite politik yang mengangkat isu tentang jilbab sungguh tidak intelek. Jilbab yang mempunyai nilai luhur, telah dijadikan komoditas politik. Ini membuktikan bahwa politik kita adalah POLITIK BUNGKUS PERMEN; kemasan lebih penting daripada isinya. Yang diangkat adalah sesuatu yang tidak substansial bagi kehidupan bangsa ini. Lalu apa bedanya pare elite politik dengan kondektur bule di FTV? Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Untuk itu semua, dua kata yang mewakili perpolitikan kita saat ini adalah PREDICTED dan PENCITRAAN. Predicted, karena hanya demi kekuasaan. Pencitraan karena tidak berani masuk dalam sesuatu yang substansial, malahan menipu diri dengan kemasan. Kalau memang demikian, mengapa para elite politik tidak bermain FTV saja?

Buatlah sebuah judul, “Cintaku di Halte Busway”. Siapa tahu dengan bermain dalam Cintaku di Halte Busway kalian tahu bagaimana rasanya berdesak-desakan sambil sesekali menghirup aroma kacau balau di dalamnya, yang pada gilirannya kalian akan tahu bagaimana mengabdi rakyat dari bawah dan bukan dari atas. Tidak usah malu meskipun wajah-wajah kalian bukanlah wajah-wajah baru dan lagi, tidak “bening”.

SALAM!




read more tariganism...

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP