Cintaku di Halte Busway

Rutinitas pagi! Ditemani secangkir kopi hitam saya mengambil sebuah surat kabar, memposisikannya dalam jarak baca normal dan kemudian “mengejanya” satu persatu. Ungkapan “mulailah hari dengan senyum” pun pantas diterapkan dalam membaca surat kabar. Untuk itu, yang pertama-tama saya buka adalah kolom Apa dan Siapa. Apa hubungannya? Just see it. Belive me you will find, at least, two sweet smiles there…

Cukup dengan sweet smile. Perlahan-lahan saya mulai masuk dalam kolom yang agak serius, yakni bidang Hukum dan Politik. Selain kolom Apa-Siapa dan Opini, kolom ini pantang dilewatkan. Pasalnya, di kolom inilah para elite politik secara sadar mempertontonkan kebodohannya di mata 200 juta rakyat republik ini. Syarat utama membaca kolom ini: singkiran sejenak pikiran bahwa politik yang sebenarnya adalah sesuatu yang berkaitan dengan kota (Lat: polis) dan mereka yang hidup di dalamnya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, pasti kita akan kecewa membaca kolom tersebut karena apa yang ditampilkan oleh para elite politik kita hanya melulu oportunisme demi kekuasaan.

Ranah politik kita sudah terlanjur keruh, kotor, berbau busuk (tetapi itu bukan berarti tidak bisa dijernihkan). Tak ada sesuatu yang dapat ditularkan pada generasi ini, kecuali perebutan harta dan kuasa dengan menghalalkan segala cara. State of nature yang dirumuskan oleh Hobbes (manusia adalah serigala bagi yang lain) semakin nyata dalam kancah perpolitikan kita.

Dalam perpolitikan kita ini jangan pernah berharap akan muncul tema-tema seperti: bonum commune (kebaikan bersama), demokrasi, keadilan, HAM dan multikulturalisme. Maaf kawan, kita harus kecewa karena tema-tema itu hanya konsumsi mahasiswa/i dalam kelas filsafat politik. Kita akan dianggap bodoh jika kita berbicara itu di depan mereka.

Entah kenapa setelah membaca berita-berita politik, sesaat saya teringat akan sebuah tayangan yang berjudul besar FTV (kalau tidak selah kepanjangannya adalah Film Televisi). Jika hendak dirinci lagi, FTV itu terdiri dari puluhan judul, seperti Janji Jengkol, Pacar Rahasia, Arjuna Dikejar Cinta, Aku Benci Jatuh Cinta dan masih banyak lagi kisah cinta-cintaan yang naif dan menggelikan.
Apa kaitannya antara politik dan FTV?

PERTAMA! Sambil sejenak istirahat di malam hari, dengan seorang teman, saya biasa bermain tebak-tebakan skenario FTV. Mari kita tebak: mulai dari bersenggolan di angkot, lalu si cowok terpesona..setelah itu PDKT, akhirnya “jadian”. So simple! Hampir 95 persen jalannya kisah dapat kami tebak. Cuma lima persen yang tidak tertebak, iklan!! Alurnya sederhana: pembukaan cerita, klimaks happy ending stroy. Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan dan makna apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik telah terprediksi, yakni DEMI KEKUASAAN. Demi kekuasaan, surat-surat suara (baca: aspirasi) yang telah terkumpul kini dikubur dalam-dalam dan diberi nisan yang bertuliskan “RIP: RAKYAT”. Kekuasaan telah membutakan segalanya. Jangan heran jika demi kekuasaan mereka sampai tidak malu menjilat ludah sendiri. Alur kisah para elite politik sederhana: membuat partai, berkoalisi, berkuasa (dan berharta). Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan kebangsaan apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED, yakni . Kekuasaan bukan lagi sarana, namun tujuan.

KEDUA! Harus diakui bahwa meskipun tidak menawarkan cerita yang bermutu, namun FTV menawarkan wajah-wajah baru nan “bening”. Aneh tapi nyata! Dalam sebuah kisah ditunjukkan bahwa seorang gadis cantik gedongan berangkat kuliah naik metromini dan bertemu dengan kondetur metromini yang tampan dengan gaya metroseksual. BAGAIMANA MUNGKIN, ABSURD? Ya itulah, seluruh tokoh telah di make-up sedemikian rupa sehingga “terjual” laris bak kacang goreng. Masalah karakter penokohan menjadi tidak penting; yang terpenting adalah cantik/tampan, putih bersih dan modis (kalau bisa agak sedikit bule). Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik dibungkus manis dalam sebuah PENCITRAAN. Tidak ada yang namanya ideologi. Sebisa mungkin mereka akan menghindar dari pembicaraan tentang substansi dan esensi. Yang terpenting adalah bagaimana saya tampak sebagai pemimpin inovatif, beragama dan pro-rakyat. Pencitraan itu dikemas rapi dalam slogan-slogan yang menyesatkan. Dengan tidak mengurangi hormat kepada kepada saudari-saudariku yang memilih dengan hati untuk berjilbab, bagi saya para elite politik yang mengangkat isu tentang jilbab sungguh tidak intelek. Jilbab yang mempunyai nilai luhur, telah dijadikan komoditas politik. Ini membuktikan bahwa politik kita adalah POLITIK BUNGKUS PERMEN; kemasan lebih penting daripada isinya. Yang diangkat adalah sesuatu yang tidak substansial bagi kehidupan bangsa ini. Lalu apa bedanya pare elite politik dengan kondektur bule di FTV? Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Untuk itu semua, dua kata yang mewakili perpolitikan kita saat ini adalah PREDICTED dan PENCITRAAN. Predicted, karena hanya demi kekuasaan. Pencitraan karena tidak berani masuk dalam sesuatu yang substansial, malahan menipu diri dengan kemasan. Kalau memang demikian, mengapa para elite politik tidak bermain FTV saja?

Buatlah sebuah judul, “Cintaku di Halte Busway”. Siapa tahu dengan bermain dalam Cintaku di Halte Busway kalian tahu bagaimana rasanya berdesak-desakan sambil sesekali menghirup aroma kacau balau di dalamnya, yang pada gilirannya kalian akan tahu bagaimana mengabdi rakyat dari bawah dan bukan dari atas. Tidak usah malu meskipun wajah-wajah kalian bukanlah wajah-wajah baru dan lagi, tidak “bening”.

SALAM!




  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP