Ilmuwan, Filsuf dan Realitas

“Sementara ilmuwan mengkaji hakikat, penyebab dan akibat dari realitas dan proses realitas partikular, filosof berurusan dengan kajian atas hakikat realitas yang ada secara general”. (Peter Winch, Philosophy and science, hlm. 153).

a. Petikan di atas merupakan sanggahan terhadap argumen bahwa realitas hanya dapat dikenali oleh ilmuwan dengan metode empirisnya. Ilmuwan dengan metode eksperimentalnya merupakan aktor sesungguhnya yang dapat mengenali realitas. Sedangkan para filosof harus dikesampingkan karena meskipun filosofi juga berusaha mengenali realitas namun filosofi tidak pernah akan mencapainya karena motode yang ditempuhnya melulu a priori. Apa yang ingin diperjuangkan Winch dalam petikan di atas ialah bahwa baik ilmuwan maupun filosof dapat sama-sama menginvestigasi apa itu realitas. Ilmuwan beroperai dalam ranah partikular sedangkan filosof beroperasi dalam wilayah hakikat secara general. Dengan itu tidak dapat diterima anggapan bahwa hanya ilmuwan (karena metode eksperimentalnya) yang dapat memahami realitas. Filosof pun dapat mengenali realitas, namun ia mendekatinya persis pada ranah hakikat secara general.

b. Pada kesempatan ini dapat ditunjukkan bagaimana ilmuwan dan filosof dapat bertemu dalam suatu investigasi realitas, sebutlah realitas bahasa. Dalam realitas bahasa, ranah yang dijamah oleh filosof adalah bahasa sejauh berurusan dengan hubungan antara konsep dan realitas. Dengan melihat pada relasi konsep dan realitas, filosof masuk untuk menjernihkan makna dan tidak disibukkan dengan berbagai urusan tata bahasa. Di lain pihak, ketika para ilmuwan masuk untuk menggeledah realitas bahasa, mereka masuk pada ranah tata cara penggunaan bahasa atau gramatika. Dengan kata lain, ilmuwan menilik realitas bahasa melalui pendekatan bagaimanakah bahasa dapat diaplikasikan dengan tepat. Dalam mendekati kata “sosial” misalnya, filosof masuk dalam ranah konsep “sosial” dalam hubungannya dengan realitas, sedangkan ilmuwan masuk dalam ranah bagaimana kata “sosial” digunakan secara tepat dalam sebuah tata bahasa. Jadi realitasnya sama yakni realitas bahasa, namun realitas itu didekati secara berbeda.


read more tariganism...

Social Fact ?

Dalam tulisannya What is Social Fact? (1895), untuk membedakan apa itu fakta sosial dalam artian luas dan dalam artian sosiologis, Durkheim menyebut fakta sosial dalam arti objek kajian sosiologi sebagai the social. Pertama-tama harus jelas apakah yang menjadi kepentingan Durkheim dalam penjelasannya tentang apa itu the social. Kata ‘sosial’ bagi Durkheim sejauh ini disematkan untuk fenomena (gejala) praktis yang sangat umum terjadi dalam masyarakat misalnya makan, minum, tidur, dll. Namun, jika seluruh gejala dianggap sebagai fakta sosial, maka apakah yang menjadi objek kajian sosiologi? (hlm.26). Bahwa ilmu alam sudah jelas dengan objek penelitiannya, kini saatnya sosiologi sebagai ilmu sosial juga mendefinisikan apa yang menjadi objeknya. Persis pada titik inilah menjadi jelas bahwa tujuan utama Durkheim ialah ingin menjawab pertanyaan apakah yang menjadi objek kajian yang khas ilmu-ilmu sosial.

The Social (fakta sosial) bagi Durkeim adalah adalah suatu gejala (atau tindakan manusia) yang independen dari individu, bekerja sebagai kekuatan eksternal yang membatasi/memaksa individu (hlm 26, 27, 30). Kata-kata kunci dalam definisi Durkheim tersebut adalah gejala, independen terhadap individu, kekuatan eksternal, membatasi/memaksa individu.

Dalam tulisannya Objectivity of Science (1904), apa yang hendak dicapai oleh Webber sejatinya sama dengan Durkheim yakni mencari objek kajian yang khas dalam ilmu-ilmu sosial. Berbeda dari Durkeim, Webber tidak menggunakan kata social fact atau the social untuk menjelaskan apa itu fakta sosial.

Fakta Sosial bagi Webber adalah gejala (atau tindakan manusia) tidak bebas nilai (subjektif) yang terarah ke luar dan terhadap yang di luar itu berhubungan secara kausal. Delam arti ini, fakta sosial bagi Webber terletak dalam tindakan sosial dan relasinya. (hlm. 111) Kata-kata kunci dalam definisi Webber adalah: gejala, subjektif, nilai, orientasi ke luar, relasi sebab-akibat. Untuk memperjelas, misalnya seseorang membaca buku karena itulah hobinya tidak dapat dikatakan sebagai tindakan sosial. Namun ketika seseorang membaca untuk mempersiapkan sebuah presentasi saat kuliah adalah tindakan sosial.

Kesimpulan: Ontologi fakta sosial Durkheim dan Webber berbeda karena bagi Durkheim fakta sosial adalah gejala “di luar sana” (eksternal dan independen dari individu) yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi individu. Realitas yang digagas oleh Durkheim dengan demikian persis sama dengan realitas dalam ilmu alam. Sedangkan bagi Webber, fakta sosial merupakan tindakan subjektif yang berkaitan dengan nilai, terorientasi ke luar dalam relasi saling mempengaruhi.

Secara epistemologis, Durkheim dan Weber berbeda dalam menguraikan apa itu fakta sosial.

Dengan menempatkan karakter objek kajian ilmu sosial persis seperti objek kajian ilmu alam, fakta sosial dengan itu dapat dikenali melalui metode dimana antara ilmuwan terhadap objek kajiannya berhubungan secara searah; dalam proses ini objek kajian tidak dapat memberikan pengaruh apapun terhadap penafsir. Itulah yang kemudian dikenal dengan hermeneutika tunggal.

Pada Webber, dengan menempatkan fakta sosial sebagai gejala atau tindakan individu yang terorientasi keluar serta berelasi secara kausal, metode untuk memahami fakta sosial tersebut tidak bisa dilepaskan dari sebuah metode yang dapat mengakomodasi kesalingan. Itulah yang kemudian dikenal dengan hermeneutika ganda yakni proses penafsiran dimana antara peneliti dan obyek kajian saling mempengaruhi.

Kesimpulan: Fakta sosial seperti yang digagas oleh Durkheim dapat dikenali melalui pendekatan positivisme. Dengan itu sosiologi Durkheim dapat disebut sebagai positivis sosiologis. Sedangkan fakta sosial seperti yang digagas oleh Webber dapat dipahami melalui pendekatan hermeneutika dimana relasi dua arah dapat diakomodasi. Dengan itu sosiologi Webber dapat disebut sebaga antipositivis sosiologi atau hermeneutis sosiologi. Ringkasnya, realitas sosial dalam Durkheim dapat dikenali melalui hermeneutika tunggal (seperti metode ilmu alam; positivisme), sedangkan realitas sosial dalam Webber dapat dikenali melalui hermeneutika ganda (dimana penekanannya lebih diberikan pada karakter kualitas dan relasional).


read more tariganism...

Ilmuwan, Objek Kajian dan Manusia

A.Ilmuwan dan obyek kajian dalam ilmu-ilmu sosial dalam hermeneutika ganda.

Ilmuwan secara umum adalah seseorang yang memeriksa, mengamati, mengeksplorasi, meneliti, menelaah, menyelami dan menganalisis suatu obyek kajian. Ilmuwan secara khusus terdistingsi dalam dua domain besar yakni ilmuwan alam dan ilmuwan sosial. Para ilmuwan alam adalah mereka yang memfokuskan penelitiannya pada gejala alam. Sedangkan ilmuwan sosial menempatkan gejala sosial sebagai sebagai pusat kajiannya.
Distingsi tersebut secara langsung menunjuk bahwa gejala dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni gejala alam dan gejala sosial. Gejala alam misalnya menunjuk pada tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak miring, air (H2O) mendidih pada suhu 100°C dan membeku pada suhu 0°C, gerhana matahari dimana posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari, iklim tropis pada wilayah yang dilalui oleh garis khatulistiwa, dll. Dengan itu, fakta alam adalah seluruh gejala alam yang eksistensinya berada di luar manusia, independen dan bergerak secara mekanis berdasarkan hukum internal alam, dimana manusia tidak dapat melakukan interupsi terhadapnya.

Sedangkan gejala sosial misalnya merujuk pada rivalitas dua kubu suporter sepakbola antara Manchaster United dan Chelsea, preferensi pemerintah untuk upaya penyelamatan Bank Century, tawar-menawar partai politik terkait seleksi menteri oleh presiden terpilih, ritual doa-doa penyembuhan di kalangan umat Katolik, dll. Oleh karena itu, fakta sosial adalah seluruh gejala sosial dimana terjadi interaksi-konstitutif antar manusia. Melalui interaksi-konstitutif itulah tampak manusia dengan segala cara beradanya. Hukum internal dalam sebuah gejala sosial tidak bersifat asali/kodrati melainkan diciptakan oleh manusia yang berinteraksi di dalamnya.

Pada relasi antara peneliti dan objek kajian muncullah apa yang dinamakan hermeneutika. Dalam pokok ini dapat dibedakan dua jenis hermeneutika: tunggal dan ganda. Sudah terang dan jelas bahwa hubungan antara ilmuwan alam dan gejala alam berada dalam hubungan hermeneutika tunggal. Sebut saja, Prof. Dr. Sri Widiantoro, Guru Besar Pertama di ITB dalam bidang Seismologi (lih., Kompas, ‘Sosok’, 5 Oktober 2009). Sebagai ilmuwan alam ia mendiagnosis lapisan kerak dan lempeng bumi. Antara Sri dan objek kajiannya yakni lapisan kerak dan lempeng bumi terjadilah yang namanya hermeneutika tunggal, yakni proses penelitian searah yang dilakuan oleh Sri terhadap lapisan kerak dan lempeng bumi. Dikatakan bersifat searah karena mustahil jika lapisan kerak dan lempeng bumi memberikan respon balik terhadap kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Sri. Ringkasnya, hubungan hermeneutika ganda terjadi ketika peneliti meneliti suatu objek kajian, namun objek kajian yang diteliti tidak dapat memberikan respon balik terhadap peneliti maupun hasil penelitiannya.

Sedangkan antara ilmuwan sosial dan gejala sosial terjadi relasi hermeneutika ganda. Sebagai contoh adalah Asvi Warman Adam, seorang Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI (lih., Kompas, ‘Sosok’30 September 2009). Sebagai ilmuwan sejarah ia melakukan penelitian terhadap Peristiwa 1965. Ia mulai berfikir ulang tentang narasi-narasi yang baginya banyak mengandung pelanggaran berat HAM. Sebagai seorang ilmuwan sejarah, Asvi kini berhadapan dengan objek kajian Peristiwa 1965. Antara keduanya (Asvi dan Peristiwa 1965) muncul yang dinamakan hubungan hermeneutika ganda.

Penelitian Asvi terhadap Peristiwa 1965 terkait erat dengan, pertama, orang-orang yang mengalami peristiwa tersebut, kedua, orang-orang yang kemudian membaca hasil penelitian sejarah tersebut. Hasil penelitian Asvi tentang Peristiwa 1965 memiliki implikasi yang kuat baik terhadap orang-orang yang mengalami maupun terhadap orang-orang yang di kemudian hari membaca hasil penelitian tersebut. Dengan itu, hasil penelitian yang dituliskan oleh Asvi dapat menggerakkan orang-orang untuk merespon, entah setuju atau tidak, dengan hasil penelitiannya. Dengan umpan balik itulah, Asvi sebagai ilmuwan, tidak lepas dari implikasi penelitiannya sendiri, dimana ia juga harus mengambil sikap terhadap respon-respon terkait hasil penelitiannya. Alhasil, dalam hubungan hermeneutika ganda, terjadilah interaksi antara peneliti dan obyek dimana keduanya saling mempengaruhi. Dalam contoh tadi, Asvi mencerahkan banyak orang dengan penelitiannya, namun di sisi lain, bukan tidak mungkin hasil penelitian justru malah berbalik menyerang sang peneliti. Seandainya rejim Orde Baru masih berkuasa, bukan tidak mungkin implikasi hasil penelitian Asvi akan berbuah destruktif bagi dirinya sebagai ilmuwan sosial.

B.Ilmu-Ilmu Sosial dan Pertanyaan Tentang Manusia.
Dalam pendekatannya terhadap realitas, ilmu-ilmu sosial mengajukan apa yang dinamakannya sebagai pendekatan empiris. Pendekatan empiris di sini berarti suatu riset dimana yang menjadi titik tolak sebuah penelitian adalah data, fakta, bukti, evidensi, informasi dan keterangan yang secara real ditemukan di lapangan. Berdasarkan data-data itulah dilakukan sebuah pengolahan data hingga terbentuk sebuah hipotesis. Persis pada hipotesis itulah pertanyaan tentang ‘asumsi antropologis’ mencuat.

Berbeda dengan filsafat, pendekatan dalam filsafat pertama-tama mengajukan pertanyaan tentang esensi. Ambil contoh ketika kita berhadapan dengan hal yang bernama kekuasan, pendekatan filosofis akan bertanya apa itu kekuasaan (ontologis), bagaimana cara menggapai kekuasaan (epistemologis) dan bagaimana seharusnya sikap kita berhadapan dengan kekuasan (etis), dan yang terakhir adalah siapakah manusia dihadapan kekuasaan.

Berikut ini adalah ‘gambar’ sederhana yang akan menunjukkan bagaimana analisis ilmu-ilmu sosial sampai pada pertanyaan tentang siapakah manusia. Menurut data resmi yang dilansir, keempat orang yang akan mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra dan Yudhi Chrisnadi. Ilmu Politik (political scince) akan mentematisasi data tersebut dalam kerangka partisipasi politik. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik, yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Salah satu bentuk partisipasi politik yang dilakukan adalah dengan mengajukan diri sebagai calon pemimpin partai Golkar. Demi mencapai tujuan menjadi orang nomor satu di partai yang berlambang pohon beringin tersebut, dimulailah sebuah kompetisi intern. Lepas dari kompetisi dijalankan dengan jujur atau tidak, namun yang pasti masing-masing mengerahkan seluruh sumber daya materi dan daya-daya manusianya untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan moralitas menjadi relatif dihadapan perebutan kursi kekuasaan. Dalam seluruh usaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, pertanyaan tentang siapakah manusia mencuat ke permukaan.

Siapakah manusia sehingga ia rela mengerahkan seluruh daya upaya agar dapat menjadi sang pemimpin? Siapakah manusia yang dengan seluruh hasratnya menginginkan dirinya menjadi orang nomer satu? Dalam hal ini dapat diajukan jawaban bahwa manusia adalah ‘sosok haus kuasa’. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Aburizal Bakrie terpilih menjadi ketua umum Golkar, ia adalah seorang yang memiliki kekuasaan utama di partainya. Arah dan haluan partai kini berada di tangannya.

Untuk itu pantaslah dikatakan bahwa manusia adalah ‘pemburu kekuasan’ dan untuk memenuhi kebutuhan akan kekuasaan ia rela mati-matian memberikan segalanya. Meraih kekuasaan dengan itu menjadi tujuan penting, karena tanpa kekuasaan eksistensi manusia tergoyahkan. Setidak-tidaknya manusia yang terhadap dirinya pun ia tidak berkuasa akan menjadi yang terlemah diantara yang paling lemah. Namun, haruslah ditegaskan bahwa sosok manusia sebagai ‘yang haus akan kuasa’ bukanlah konsep utuh dan final karena pada dasarnya manusia adalah multidimensional.

Dalam hal ini telah terjadi sebuah gerak analis dalam ilmu-ilmu sosial, secara khusus ilmu politik, mulai dari analisis partisipasi politik hingga akhirnya bermuara pada pertayaaan tentang asumsi antropologis. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial, seperti juga filsafat, memandang penting pertanyaan tentang manusia. Namun keduanya menempuh jalan yang berbeda, ilmu-ilmu sosial dengan jalan mengamati eksistensi, sedangkan filsafat dengan jalan mempertanyakan esensi.

read more tariganism...

Tataplah



TATAPLAH

Akankah pecahan kaca itu kembali menyatu, bila hancur sudah tak terbingkai
Akankah harapan tanpa taruhan itu terjadi
Akankah kerapuhan menimpa tubuh ini
Akankah gelombang besar itu menghantarkanku

Laut pasang, laut surut
Bulan purnama, bulan sabit
Ajarlah aku untuk tidak bertanya akan hari esok
Ajarlah aku untuk menatap langkah-langkah kecil

Supaya dapat kunikmati pasang surutmu
Supaya dapat kunikmati purnama sabitmu


Parangtritis, Juli 09



read more tariganism...

Demokrasi: Lebih Dari Sekedar Mencontreng

(SEBUAH CATATAN MENYAMBUT PEMILIHAN PRESIDEN RI)

Robert A. Dahl pernah menulis, “SEPERTI HALNYA REZIM NEGARA-NEGARA KOTA, REZIM-REZIM DEMOKRASI MODERN MASIH JAUH DARI KRITERIA DEMOKRASI YANG IDEAL.” Apa artinya? Ini bisa dilihat dari cara pandang bahwa, PERTAMA, demokrasi modern masih menyisakan banyak hal sebelum mencapai sebuah ideal demokrasi. KEDUA, demokrasi dengan itu bukanlah sebuah produk sekali jadi, melainkan sebuah proses yang terus menerus harus diusahakan.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan dua titik: TITIK FAKTUAL dan TITIK IDEAL. Sebagai titik faktual adalah beberapa kasus yang berhubungan dengan proses demokrasi di Indonesia pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Sedangkan sebagai titik ideal adalah prinsip-prinsip dan kondisi-kondisi dalam ideal demokrasi. Dengan pemaparan kedua titik tersebut, saya ingin menegaskan bahwa TIDAK ADA KATA FINAL UNTUK DEMOKRASI DI INDONESIA. Semua, satu pun tak terkecuali diundang untuk berjuang demi tegaknya demokrasi di bumi nusantara ini.

TITIK FAKTUAL: HITAM-PUTIH INDONESIA
Lahirnya era reformasi pada MEI 1998 ditandai dengan pengalaman pahit yang sulit dilupakan. Amarah rakyat yang membabi-buta terhadap rezim orde baru yang dikomandoi oleh Soehart serta krisis ekonomi berbuntut pada kerusuhan rasial. Di kota-kota besar terjadi pembumi-hangusan toko-toko, penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Pencapaian cita-cita kebebasan dari kungkungan rezim otoriter orde baru justru telah menodai kebebasan itu sendiri.

Pada MARET 1999 di Sambas pecah kembali KERUSUHAN RASIAL antara suku Melayu-Dayak di satu pihak melawan suku Madura di pihak lain. Ratusan korban—sebagian besar adalah suku Madura—tewas dalam kerusuhan ini. Kerusuhan ini juga berlanjut pada gelombang pengusiran suku Madura dari tanah Melayu-Dayak. Tiga tahun setelahnya—SEPTEMBER 2001—kerusuhan rasial besar terjadi lagi di Sampit. Pertikaian rasial ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sambas. Perang antara suku Dayak dan Madura sekali lagi menelan korban jiwa yang tidak sedikit.

Bangsa ini kemudian juga tercoreng dengan KERUSUHAN-KERUSUHAN YANG BERNADA AGAMA. Di Poso dan beberapa daerah sekitarnya pihak Islam dan Kristen bertikai saling bunuh atas nama “iman”. Di Ibukota Jakarta dan beberapa tempat di P. Jawa, tempat-tempat ibadah tidak luput dari pengeboman dan pengrusakan. KEBEBASAN BERAGAMA maupun menajalankan ibadat sesuai dengan agama masing-masing telah tercoreng. Bahkan oleh negara sendiri, agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan minoritas diperlakukan secara diskriminatif melalui perundang-undangannya. Otonomi daerah, misalnya, justru malah menimbulkan perda-perda syariah di pihak Islam dan rencana peraturan daerah yang bernafaskan Injil di pihak Kristen. Keduanya pada hakikatnya merupakan penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 45.

Kasus lain lagi, sejak WTC di Amerika Serikat diporak-porandakan oleh kelompok garis keras, dunia umumnya dan Indonesia khususnya berhadapan dengan gelombang terorisme global. PECAHNYA BOM BALI 1 DAN 2 yang menelan ratusan korban—sebagian besar warga asing—membuat Indonesia memperoleh cap sebagai negara teroris. PELEDAKAN HOTEL JW MARRIOT DAN TEROR-TEROR BOM semakin menumbuhkan rasa tidak aman, takut, cemas pada warga negaranya.

Tidak sekedar karena tindakan anarkis-fisik, bangsa ini juga semakin terpuruk oleh PRAKTEK-PRAKTEK KORUPSI dari tingkat pemerintahan yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah. Praktek-praktek ini sampai sekarang masih sulit untuk diberantas secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan korupsi dilaksanakan a la kadarnya, tebang pilih, tergantung kepentingannya. Instrumen hukum dan mekanisme pemberantasan korupsi dijalankan secara minimalis. Pemimpin politik yang patriotik yang siap lahir-mati memberantas korupsi pun tidak kujung datang.

Malahan, PERANGKAT-PERANGKAT PENEGAK HUKUM (KEPOLISIAN, KEJAKSAAAN, PENGADILAN) DAN KOMISI-KOMISI YANG DIBUAT UNTUK MEMBERANTAS KORUPSI JUGA TIDAK BEBAS DARI PRAKTEK-PRAKTEK SUAP.

“MENTALITAS MALING” inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi bangsa ini berjalan lambat. Sulitnya mendapat pekerjaan dan mahalnya biaya pendidikan semakin dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa jurang KESENJANGAN SOSIAL ANTARA INDONESIA TIMUR DAN INDONESIA BARAT semakin terbuka lebar. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai selalu saja terjegal oleh kepentingan memperkaya diri oleh segelintir pihak. Kemiskinan struktural, dengan itu, semakin meluaskan jangkauannya. Reformasi yang dicita-citakan hanya berjalan di tempat. Tidak terlihat terjadinya sebuah perubahan yang signifikan menuju sebuah konsolidasi bangsa.

Kasus yang paling mutakhir adalah CARUT-MARUTNYA DPT (Daftar Pemilih Tetap) baik untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Untuk kasus ini, akal sehat sulit untuk menerima bahwa semua itu murni faktor ketidaksiapan. Berbagai alasan, rasanya semakin memperkeruh suasana. Bukankah banyak pihak telah memberikan “warning” tentang DPT?

BEBERAPA CONTOH KASUS DI ATAS BUKAN PERTAMA-TAMA DITUJUKAN UNTUK MEMBUAT LITANI CACAT BANGSA SETELAH MASA REFORMASI. NAMUN, BUKAN TIDAK MUNGKIN BANGSA INI SEDANG MENGALAMI SEBUAH ATOMISASI, YAKNI TERFRAGMENTASINYA MASYARAKAT DAN HILANGNYA KEINGINAN UNTUK MENCAPAI KEPENTINGAN BERSAMA.

DALAM SITUASI INILAH DEMOKRASI SEBAGAI SEBUAH SISTEM PEMERINTAHAN HARUS DILAKSANAKAN SECARA MAKSIMAL.


TITIK IDEAL: DEMOKRASI SEBAGAI SEBUAH PRINSIP BERSAMA

Secara historis konsep demokrasi digunakan dalam negara kota di jaman Yunani kuno. Pemerintahan rakyat yang dijalankan dalam negara kota ini berlangsung dalam luas wilayah yang kecil dan populasi penduduk yang sedikit. Dalam situasi dan kondisi tersebut potensi terjadinya negara yang domokratis dapat terjadi. Dari ideal demokrasi pada negara kota, Dahl menarik beberapa PRINSIP UMUM DALAM PROSES DEMOKRASI YANG JUGA

MENDASARI DEMOKRASI MODERN. Ia menggambarkan proses ideal demokrasi secara teoritis dalam lima kriteria.

1. PERSAMAAN HAK PILIH: dalam membuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.

2. PARTISIPASI EFEKTIF: dalam seluruh pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja nasional, setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.

3. PEMBEBERAN KEBENARAN: dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan suatu keputusan, setiap warga negara harus mempunyai peluang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.

4. KONTROL TERAKHIR TERHADAP AGENDA: masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda.

Hal-hal ini penting diutarakan karena tidak mungkin terjadi pemerintahan rakyat jika kelima proses tersebut tidak dijalankan untuk membuat sebuah keputusan bersama.

Dalam perkembangannnya demokrasi juga digunakan dalam konteks negara bangsa. Perbedaan mendasar dari NEGARA KOTA dan NEGARA BANGSA ialah luas wilayah dan jumlah populasi. Menjalankan proses demokrasi dalam negara bangsa tidak semudah dalam negara kota karena negara bangsa memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah penduduk yang lebih besar. KHUSUS UNTUK INDONESIA, PROSES DEMOKRASI BAHKAN MEMILIKI TANTANGAN GEOGRAFIS, YAKNI SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN.

Dengan tetap berpegang pada definisi bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat Dahl memaparkan KRITERIA-KRITERIA KHUSUS DEMOKRASI MODERN.

1. KONTROL ATAS KEPUTUSAN-KEPUTUSAN PEMERINTAH TENTANG KEBIJAKSANAAN SECARA KONSTITUSIONAL DIBEBANKAN PADA PEJABAT-PEJABAT YANG DIPILIH.

2. PARA PEJABAT YANG DIPILIH SELALU BERASAL DARI PROSES PEMILIHAN YANG DILAKUKAN SECARA JUJUR, SETIAP UNSUR-UNSUR PAKSAAN DIANGGAP SEBAGAI SESUATU YANG MEMALUKAN.

3. SECARA PRAKTIS SEMUA ORANG DEWASA MEMPUNYAI HAK DALAM MEMILIH PEJABAT-PEJABAT RESMI.

4. SECARA PRAKTIS SEMUA ORANG DEWASA MEMPUNYAI HAK UNTUK DIPILIH SEBAGAI PEJABAT RESMI DALAM PEMERINTAHAN, MESKIPUN BATAS UMUR UNTUK DIPILIH MUNGKIN LEBIH TINGGI DARIPADA BATAS UMUR UNTUK MEMILIH.

5. WARGA NEGARA MEMPUNYAI HAK YANG SAMA UNTUK MENGELUARKAN PENDAPAT TANPA ANCAMAN UNTUK DIHUKUM MENGENAI SOAL-SOAL POLITIK YANG DITENTUKAN SECARA LUAS, TERMASUK MELANCARKAN KRITIK TERHADAP PARA PEJABAT, PEMERINTAHAN, REZIM, TATA SOSIAL EKONOMI DAN IDEOLOGI YANG BERLAKU.

6. WARGA NEGARA MEMPUNYAI HAK UNTUK MENDAPATKAN SUMBER-SUMBER INFORMASI ALTERNATIF, KARENA MEMANG SUMBER-SUMBER DIMAKSUD ADA DAN DILINDUNGI HUKUM.

7. UNTUK MENCAPAI BERBAGAI HAK MEREKA, TERMASUK YANG DISEBUT DI ATAS, SETIAP WARGA NEGARA JUGA MEMPUNYAI HAK UNTUK MEMBENTUK PERKUMPULAN-PERKUMPULAN ATAU ORGANISASI YANG INDEPENDEN, TERMASUK PARTAI-PARTAI POLITIK DAN KELOMPOK KEPENTINGAN BEBAS.

Indonesia telah mengalami tiga bentuk demokrasi. Empat tahun setelah kemerdekaan, 1950, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan DEMOKRASI LIBERAL atau yang lebih dikenal dengan DEMOKRASI PARLEMENTER. Demokrasi parlementer dengan segala hiruk pikuk pergantian kabinet hanya berjalan singkat. Soekarno kemudian menerapkan DEMOKRASI TERPIMPIN yang pada akhirnya menamatkan riwayat Soekarno dalam kancah perpolitikan Indonesia. Setelah itu sampai hari ini, Indonesia menganut sistem pemerintahan DEMOKRASI PANCASILA. Pancasila haruslah diartikan dan dimaknai dalam konsep dasar negara yang mempersatukan seperti yang diinginkan oleh para FOUNDING FATHERS bangsa ini. Hal ini perlu dikemukakan karena Pancasila selama orde baru telah mengalami degradasi makna di mana Pancasila dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan rezim otoriter selama orde baru.


IDEAL DEMOKRASI PLURALIS
DEMOKRASI PANCASILA dapat dimasukkan dalam demokrasi politik menurut kaum pluralis. Kaum pluralis di sini adalah mereka yang mementingkan kesatuan kepentingan individu sebagai kepentingan kelompok. DEMOKRASI POLITIK PLURALIS INI DAPAT DITAFSIRKAN SEBAGAI SISTEM PEMERINTAHAN YANG MENENGAHI KEPENTINGAN-KEPENTINGAN DALAM KELOMPOK-KELOMPOK MASYARAKAT SEHINGGA DIPEROLEH KESEIMBANGAN SOSIAL. Kepentingan-kepentingan kelompok termanifestasi dalam proses politik, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam kelompok-kelompok non politis: kelompok berdasarkan ekonomi, sosial, agama, daerah atau suku bangsa.

Teori demokrasi pluralis ini menempatkan demokrasi sebagai sebagai PENJAMIN DAN PELINDUNG KEBEBASAN INDIVIDU TERHADAP KEKUASAAN YANG TAK TERKENDALI DARI NEGARA YANG TERPUSAT. CHECKS DAN BALANCES adalah upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat untuk mencapai perlindungan dan penjaminan terhadap kebebasan individu melalui pemilu yang teratur.

Ungkapan “BHINNEKA TUNGGAL IKA’ dapat menjelaskan teori demokrasi pluralis dalam konteks Indonesia. Bahwa meskipun terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, Indonesia tetap satu kesatuan.

Maka dari itu sebagai sistem politik demokrasi pluralis, demokrasi Pancasila Indonesia harus menegakkan dua hal:

1. HAK ASASI MANUSIA

2. KESEJAHTERAAN DAN KEMAKMURAN BERSAMA

Kedua cara itu dapat dicapai hanya melalui RULE OF LAW—PENEGAKAN KEADILAN.


PROSES PANJANG DEMOKRASI
Setelah hampir ribuan tahun setelah dicetuskannya, demokrasi ternyata tidak menjadi puing-puing kuno yang ditinggalkan. Dalam perjalanan waktu dan ruang, demokrasi sebagai sebuah proses mengalami adaptasi-adaptasi untuk mencapai titik idealnya. Di Indonesia, demokrasi kiranya masih berumur muda dan terlalu cepat untuk dikatakan bahwa demokrasi telah mencapai titik idealnya. Untuk menuju pada ideal demokrasi itu, maka setiap warga negara kiranya harus mengalami sebuah pendidikan demokrasi yang mendewasakan. DEMOKRASI DI INDONESIA: ASA YANG BELUM TERGAPAI…



MEMILIH DENGAN PRINSIP LESSER EVIL
Andi Tarigan

read more tariganism...

Tapi Itulah Realitasnya (Part 1)

Malam itu tidak hujan. Kuputuskan untuk keluar rumah sejenak. Tujuannya, seperti biasa, La Piazza-Kelapa Gading. Alasannya satu, jarak yang relatif dekat. Setelah mendapat ruang untuk memarkir vespa butut tercinta, aku berjalan menyusuri jembatan antara Gedung Parkir dan La Piazza.

Entah kenapa, setiap kali aku memasuki gedung parkir ini, ingatan lima tahun lalu selalu saja terngiang. Lima tahun yang lalu, gedung parkir yang megah ini belum ada. Dengan penuh rasa bangga, aku membisikkan pada diriku, “akulah saksi pembangunan gedung ini”. Ya, kala itu aku (dengan dua orang sahabat, BKW dan ASS) bekerja menjadi anggota K3 (Keselamatan dan Keamanan Kerja). Nama yang elite bukan? Rasanya seperti pasukan khusus! TAPI sebenarnya, K3 adalah KULI-NYA KULI BANGUNAN.

Siapapun dapat memerintahku untuk melakukan apapun yang dia mau. Bahkan untuk sekedar memijat mandor saat ia kelelahan (dia itu memang “asu”, ucap seorang teman). Di proyek ini jangan pernah berharap atau bermimpi sekalipun tentang RELASI INTERSUBJEKTIVITAS. Relasi itu bernama KEKUASAAN (POWER), demikian kata Michel Foucault. Segala sesuatu tergantung pada siapa yang berkuasa!

Kala itu pembangunan baru saja dimulai. Bagi mereka yang pernah bekerja di proyek (apalagi menjadi kulinya kuli bangunan) pasti tahu bagaimana rasanya bekerja saat semua baru saja dimulai: pekerjaan masih belum jelas (belum lagi selesai, sudah disuruh yang lain), belum ada bedeng untuk tidur dan parahnya lagi di proyek itu belum ada kamar mandi dan kakus. Dan lagi, sebagai orang baru, jangan pernah berharap mendapat helm kerja dan sepatu boot (kecuali mau menyogok untuk mendapatkannya). Jadi, bersiaplah untuk segala kemungkinan kecelakaan kerja.

Ketika aku masuk di proyek ini ada seorang Bapak tua (ia seorang kuli bangunan) yang dengan tulus hati menemani dan mengajari apa yang harus kulakukan. Tugas pertama yang tidak pernah kulupakan ialah membersihkan tanah-tanah yang tertumpah dari truk-truk pengangkut tanah di di sepanjang jalan sekitar La Piazza. Kata sang Mandor, “Harus bersih! Ntar pihak Kelapa Gading complain lagi karena jalan-jalan mereka kotor dengan tanah-tanah proyek” Dengan berbekal sapu lidi dan sekop, mulai dari pagi hari sampai dini hari, aku membersihkan jalan-jalan itu.


Sesaat muncullah sebuah ide. Sebelum truk-truk itu keluar dari proyek, kubersihkan (bahkan kucuci) dulu seluruh bannya, dan sembari menyodorkan sebatang rokok, kubisikkan pada supir truk, “Bos ga usah penuh-penuh ya ngisi tanahnya, biar ga tumpah di jalan”. Sehari-dua hari rencana berjalan (lumayan tidak terlalu lelah). Tetapi masalahnya intensitas pengangkutan tanah semakin hari semakin tinggi, dan lagi, jumlah truk pengangkut tanah semakin bertambah (sekitar 15 truk). Tidak mungkin rasanya kalau harus kucuci semua! Alhasil, aku harus menguatkan kehendak untuk tetap setia pada pekerjaan ini.

Saat-saat yang sulit ialah ketika hujan tiba. Hujan tidak lagi menjadi “berkat” karena jika hujan, jalan-jalan yang dilalui truk-truk semakin belok dengan tumpahan-tumpahan tanah. Dengan entengnya sang mandor memerintah, “Sana jalannya dicuci, ntar kita di-complain lagi”. NYUCI JALAN???

Baru kali ini rasanya aku mendengar istilah “nyuci jalan”. Ah..betapa manjanya mobil-mobil mewah itu, terkena tanah sedikit pun mereka tidak mau. Tidak ada pilihan, bersama dengan tiga orang teman, aku menyapu dan mencuci (tepatnya MENYIKAT) jalan-jalan yang dilalui truk-truk itu (entah berapa kilometer?).

Suatu pagi, ketika matahari sudah mulai menanjak, sebuah mobil (kalau tidak salah kijang kapsul) berhenti. Dari dalam muncullah seorang ibu membawa sebuah bungkusan. “Mas ini ada sayur sisa tadi malam, masih enak, mau ga?”. Tanpa pikir panjang, “Terima kasih Bu”. Aneh? Tumben ada orang baik? Bungkusan itu kubawa ke warung proyek, tempat kami biasa makan. Kuberikan sayur itu pada Ibu warung. “Bu, ini ada sayur enak”. Setelah dipanaskan, sayur “enak” itu terhidang untuk sarapan. Siapa yang mau silahkan ambil sendiri. Syukur, pagi itu sarapan agak spesial karena kopi hitam itu ada temannya.

Hanya Ibu warung yang memberikan penghiburan saat awal kami kerja. Seperti seorang Ibu, ketika lelah sudah tak tertahankan dan tiba waktunya istirahat, ia mulai memanggil-manggil, “makan dulu…makan dulu”. Sapaannya itu berbeda. Ia tidak sedang berpromosi tentang warungnya, tetapi ia sungguh menyapa sebagai seorang Ibu. Bahkan ketika aku cedera dan tidak bisa kerja selama hampir empat hari, ia tidak menolak untuk menggorengkan telur dadar atau sekedar indomie. Ia tidak pernah bertanya soal uang dan ia tahu kami tidak punya uang. “Nanti saja, setelah bayaran”, ucapnya dengan santai.

Akhir minggu telah tiba. Saatnya menerima bayaran. Bisikku dalam hati, lumayan bisa beli nasi goreng malam ini. Yang menarik, hampir setiap menerima bayaran, ada saja ajakan “Mas ke Pulo Gadung yuk..”. Awalnya aku tidak “ngeh”. Ada apa di Pulo Gadung? Tetapi lama kelamaan aku paham maksud mereka. Sambil bercanda kujawab, “Makasih mas…saya tidak ikut, saya sama istri saja di rumah”..HAHAHAHA. Ini bukan saatnya memakai penilaian moral atau apalah namanya. Tapi itulah realitasnya. Itulah yang terjadi di proyek ini.

Setelah puas dengan nasi goreng gerobak, mata mulai mengantuk. Beberapa teman kuli malah sudah tertidur di trotoar dan emperan toko, mereka sangat lelah pastinya. Dengan bekal koran dan terpal-terpal bekas, kami numpang tidur di Pos Satpam proyek. Kenapa aku tidur di Pos Satpam bukan di trotoar? Alasannya satu, matahari selalu mendahuluiku.

Sesaat sebelum mata terpejam, kudaraskan lagi sebuah kalimat, Finding God in All Things. (Even in this kind of situation???)


Salamku untuk teman-teman kuli dari Jepara, Pati, Kebumen dan Cilacap.
Andi.T


read more tariganism...

Cintaku di Halte Busway

Rutinitas pagi! Ditemani secangkir kopi hitam saya mengambil sebuah surat kabar, memposisikannya dalam jarak baca normal dan kemudian “mengejanya” satu persatu. Ungkapan “mulailah hari dengan senyum” pun pantas diterapkan dalam membaca surat kabar. Untuk itu, yang pertama-tama saya buka adalah kolom Apa dan Siapa. Apa hubungannya? Just see it. Belive me you will find, at least, two sweet smiles there…

Cukup dengan sweet smile. Perlahan-lahan saya mulai masuk dalam kolom yang agak serius, yakni bidang Hukum dan Politik. Selain kolom Apa-Siapa dan Opini, kolom ini pantang dilewatkan. Pasalnya, di kolom inilah para elite politik secara sadar mempertontonkan kebodohannya di mata 200 juta rakyat republik ini. Syarat utama membaca kolom ini: singkiran sejenak pikiran bahwa politik yang sebenarnya adalah sesuatu yang berkaitan dengan kota (Lat: polis) dan mereka yang hidup di dalamnya. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, pasti kita akan kecewa membaca kolom tersebut karena apa yang ditampilkan oleh para elite politik kita hanya melulu oportunisme demi kekuasaan.

Ranah politik kita sudah terlanjur keruh, kotor, berbau busuk (tetapi itu bukan berarti tidak bisa dijernihkan). Tak ada sesuatu yang dapat ditularkan pada generasi ini, kecuali perebutan harta dan kuasa dengan menghalalkan segala cara. State of nature yang dirumuskan oleh Hobbes (manusia adalah serigala bagi yang lain) semakin nyata dalam kancah perpolitikan kita.

Dalam perpolitikan kita ini jangan pernah berharap akan muncul tema-tema seperti: bonum commune (kebaikan bersama), demokrasi, keadilan, HAM dan multikulturalisme. Maaf kawan, kita harus kecewa karena tema-tema itu hanya konsumsi mahasiswa/i dalam kelas filsafat politik. Kita akan dianggap bodoh jika kita berbicara itu di depan mereka.

Entah kenapa setelah membaca berita-berita politik, sesaat saya teringat akan sebuah tayangan yang berjudul besar FTV (kalau tidak selah kepanjangannya adalah Film Televisi). Jika hendak dirinci lagi, FTV itu terdiri dari puluhan judul, seperti Janji Jengkol, Pacar Rahasia, Arjuna Dikejar Cinta, Aku Benci Jatuh Cinta dan masih banyak lagi kisah cinta-cintaan yang naif dan menggelikan.
Apa kaitannya antara politik dan FTV?

PERTAMA! Sambil sejenak istirahat di malam hari, dengan seorang teman, saya biasa bermain tebak-tebakan skenario FTV. Mari kita tebak: mulai dari bersenggolan di angkot, lalu si cowok terpesona..setelah itu PDKT, akhirnya “jadian”. So simple! Hampir 95 persen jalannya kisah dapat kami tebak. Cuma lima persen yang tidak tertebak, iklan!! Alurnya sederhana: pembukaan cerita, klimaks happy ending stroy. Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan dan makna apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik telah terprediksi, yakni DEMI KEKUASAAN. Demi kekuasaan, surat-surat suara (baca: aspirasi) yang telah terkumpul kini dikubur dalam-dalam dan diberi nisan yang bertuliskan “RIP: RAKYAT”. Kekuasaan telah membutakan segalanya. Jangan heran jika demi kekuasaan mereka sampai tidak malu menjilat ludah sendiri. Alur kisah para elite politik sederhana: membuat partai, berkoalisi, berkuasa (dan berharta). Sesekali memang disuguhkan bumbu-bumbu konflik, tetapi pesan kebangsaan apa yang ingin disampaikan, sama sekali tidak nampak. Satu kata, PREDICTED, yakni . Kekuasaan bukan lagi sarana, namun tujuan.

KEDUA! Harus diakui bahwa meskipun tidak menawarkan cerita yang bermutu, namun FTV menawarkan wajah-wajah baru nan “bening”. Aneh tapi nyata! Dalam sebuah kisah ditunjukkan bahwa seorang gadis cantik gedongan berangkat kuliah naik metromini dan bertemu dengan kondetur metromini yang tampan dengan gaya metroseksual. BAGAIMANA MUNGKIN, ABSURD? Ya itulah, seluruh tokoh telah di make-up sedemikian rupa sehingga “terjual” laris bak kacang goreng. Masalah karakter penokohan menjadi tidak penting; yang terpenting adalah cantik/tampan, putih bersih dan modis (kalau bisa agak sedikit bule). Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Halnya mungkin sama dengan perpolitikan kita saat ini. Segala tindak-tanduk, ucap-laku para elite politik dibungkus manis dalam sebuah PENCITRAAN. Tidak ada yang namanya ideologi. Sebisa mungkin mereka akan menghindar dari pembicaraan tentang substansi dan esensi. Yang terpenting adalah bagaimana saya tampak sebagai pemimpin inovatif, beragama dan pro-rakyat. Pencitraan itu dikemas rapi dalam slogan-slogan yang menyesatkan. Dengan tidak mengurangi hormat kepada kepada saudari-saudariku yang memilih dengan hati untuk berjilbab, bagi saya para elite politik yang mengangkat isu tentang jilbab sungguh tidak intelek. Jilbab yang mempunyai nilai luhur, telah dijadikan komoditas politik. Ini membuktikan bahwa politik kita adalah POLITIK BUNGKUS PERMEN; kemasan lebih penting daripada isinya. Yang diangkat adalah sesuatu yang tidak substansial bagi kehidupan bangsa ini. Lalu apa bedanya pare elite politik dengan kondektur bule di FTV? Satu kata untuk itu PENCITRAAN.

Untuk itu semua, dua kata yang mewakili perpolitikan kita saat ini adalah PREDICTED dan PENCITRAAN. Predicted, karena hanya demi kekuasaan. Pencitraan karena tidak berani masuk dalam sesuatu yang substansial, malahan menipu diri dengan kemasan. Kalau memang demikian, mengapa para elite politik tidak bermain FTV saja?

Buatlah sebuah judul, “Cintaku di Halte Busway”. Siapa tahu dengan bermain dalam Cintaku di Halte Busway kalian tahu bagaimana rasanya berdesak-desakan sambil sesekali menghirup aroma kacau balau di dalamnya, yang pada gilirannya kalian akan tahu bagaimana mengabdi rakyat dari bawah dan bukan dari atas. Tidak usah malu meskipun wajah-wajah kalian bukanlah wajah-wajah baru dan lagi, tidak “bening”.

SALAM!




read more tariganism...

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP