Demokrasi di Indonesia: Yang Belum Sempurna
Indonesia’s relatively peaceful transition to democracy over the past nine years, particularly the free and fair elections in 2004, has earned the citizens the prestigious Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC). “Indonesia is a shining example to the world,” Ben Goddard, President of IAPC, said while presenting the award to President Susilo Bambang Yudhoyono on Monday (Jakarta Post, Tuesday Nov 13th 2007)
Robert A. Dahl (selanjutnya Dahl) pernah menulis, “Seperti halnya rezim negara-negara kota, rezim-rezim demokrasi modern masih jauh dari kriteria demokrasi yang ideal.” Apa artinya? Ini bisa dilihat dari cara pandang bahwa, pertama, demokrasi modern masih menyisakan banyak hal sebelum mencapai sebuah ideal demokrasi. Kedua, demokrasi dengan itu bukanlah sebuah produk sekali jadi, melainkan sebuah proses yang terus menerus harus diusahakan.
Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan dua titik: titik faktual dan titik ideal. Sebagai titik faktual adalah beberapa kasus yang berhubungan dengan proses demokrasi di Indonesia pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Sedangkan sebagai titik ideal adalah prinsip-prinsip dan kondisi-kondisi dalam ideal demokrasi. Dengan pemaparan kedua titik tersebut, saya ingin menarik hubungan bahwa Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC) bukanlah sebuah kata final untuk demokrasi di Indonesia melainkan sebuah undangan untuk berjuang demi tegaknya demokrasi di bumi nusantara ini.
Hitam-Putih Indonesia
Lahirnya era reformasi pada Mei 1998 ditandai dengan pengalaman pahit yang sulit dilupakan. Amarah rakyat yang membabi-buta terhadap rezim orde baru yang dikomandoi oleh Soeharto dan krisis ekonomi berbuntut pada kerusuhan rasial. Di kota-kota besar terjadi pembumi-hangusan toko-toko, penjarahan dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa. Pencapaian cita-cita kebebasan dari kungkungan rezim otoriter orde baru justru telah menodai kebebasan itu sendiri.
Pada Maret 1999 di Sambas pecah kembali kerusuan rasial antara suku Melayu-Dayak di satu pihak melawan suku Madura di pihak lain. Ratusan korban—sebagian besar adalah suku Madura—tewas dalam kerusuhan ini. Kerusuhan ini juga berlanjut pada gelombang pengusiran suku Madura dari tanah Melayu-Dayak. Tiga tahun setelahnya—September 2001—kerusuhan rasial besar terjadi lagi di Sampit. Pertikaian rasial ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sambas. Perang antara suku Dayak dan Madura sekali lagi menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Bangsa ini kemudian juga tercoreng dengan kerusuhan-kerusuhan yang bernada agama. Di Poso dan beberapa daerah sekitarnya pihak Islam dan Kristen bertikai saling bunuh atas nama “iman”. Di Ibukota Jakarta dan beberapa tempat di P. Jawa, tempat-tempat ibadah tidak luput dari pengeboman dan pengrusakan. Kebebasan beragama maupun menajalankan ibadat sesuai dengan agama masing-masing telah tercoreng. Bahkan oleh negara sendiri, agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan minoritas diperlakukan secara diskriminatif melalui perundang-undangannya. Otonomi daerah, misalnya, justru malah menimbulkan perda-perda syariah di pihak Islam dan rencana peraturan daerah yang bernafaskan Injil di pihak Kristen. Keduanya pada hakikatnya merupakan penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 45.
Kasus lain lagi, sejak WTC di Amerika Serikat diporak-porandakan oleh kelompok garis keras, dunia umumnya dan Indonesia khususnya berhadapan dengan gelombang terorisme global. Pecahnya bom bali 1dan 2 yang menelan ratusan korban—sebagian besar warga asing—membuat Indonesia memperoleh cap sebagai negara teroris. Peledakan hotel JW Marriot dan teror-teror bom seperti yang dialami dua kampus: UI dan UKSW Salatiga dan banyak tempat lain semakin menumbuhkan rasa tidak aman, takut, cemas pada warga negaranya.
Tidak sekedar karena tindakan anarkis-fisik, bangsa ini juga semakin terpuruk oleh praktek-praktek korupsi dari tingkat pemerintahan yang paling tinggi sampai tingkat yang paling rendah. Praktek-praktek ini sampai sekarang masih sulit untuk diberantas secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan korupsi dilaksanakan a la kadarnya, tebang pilih, tergantung kepentingannya. Instrumen hukum dan mekanisme pemberantasan korupsi dijalankan secara minimalis. Pemimpin politik yang patriotik yang siap lahir-mati memberantas korupsi pun tidak kujung datang. Malahan, perangkat-perangkat penegak hukum (kepolisian, kejaksaaan, pengadilan) dan komisi-komisi yang dibuat untuk memberantas korupsi juga tidak bebas dari praktek-praktek suap.
“Mentalitas maling” inilah yang membuat pertumbuhan ekonomi bangsa ini berjalan lambat. Sulitnya mendapat pekerjaan dan mahalnya biaya pendidikan semakin dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa jurang kesenjangan sosial antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat semakin terbuka lebar. Kesejahteraan umum yang hendak dicapai selalu saja terjegal oleh kepentingan memperkaya diri oleh segelintir pihak. Kemiskinan struktural, dengan itu, semakin meluaskan jangkauannya. Reformasi yang dicita-citakan hanya berjalan di tempat. Tidak terlihat terjadinya sebuah perubahan yang signifikan menuju sebuah konsolidasi bangsa.
Di sisi lain, pada tubuh TNI penyakit lama pun muncul kembali, yakni menjadi alat kekuasaan. TNI tidak sungguh meninggalkan percaturan politik dan tidak fokus dengan kewajiban utamanya, yaitu menjaga keutuhan NKRI. Tindakan-tindakan represif terhadap masyarkat sipil pun terulang kembali. Salah satu kasus setelah era reformasi di mana TNI tampil dengan arogansinya ialah kasus Alas Tlogo, Jawa Timur. TNI justru sibuk dengan urusan sengketa tanah yang membawa korban tewas pada masyarakat sipil.
Beberapa contoh kasus di atas bukan pertama-tama ditujukan untuk membuat daftar panjang cacat bangsa setelah jaman reformasi. Pemandangan singkat di atas sengaja dipaparkan untuk menunjukkan situasi kondisi bangsa yang sedang sakit. Masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah atomisasi, yakni terfragmentasinya masyarakat dan hilangnya keinginan untuk mencapai kepentingan bersama. Dalam situasi inilah DEMOKRASI sebagai sebuah bentuk pemerintahan tidak bisa tidak harus dilaksanakan secara maksimal.
Demokrasi sebagai sebuah ideal
Secara historis konsep demokrasi digunakan dalam negara kota di jaman Yunani kuno. Pemerintahan rakyat yang dijalankan dalam negara kota ini berlangsung dalam luas wilayah yang kecil dan populasi penduduk yang sedikit. Dalam situasi dan kondisi tersebut potensi terjadinya negara yang domokratis dapat terjadi. Dari ideal demokrasi pada negara kota, Dahl menarik beberapa prinsip umum dalam proses demokrasi yang juga mendasari demokrasi modern. Ia menggambarkan proses ideal demokrasi secara teoritis dalam lima kriteria.
1. Persamaan Hak Pilih. Dalam membuat keputusan kolektif yang mengikat, hak istimewa dari setiap warga negara seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.
2. Partisipasi Efektif. Dalam seluruh pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap penentuan agenda kerja nasional, setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3. Pembeberan Kebenaran. Dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan suatu keputusan, setiap warga negara harus mempunyai peluang sama dan memadai untuk melakukan penilaian logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4. Kontrol Terakhir Terhadap Agenda. Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria yang disebut pertama. Dengan cara lain, tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrolnya terhadap agenda.
5. Pencakupan. Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya denga hukum, kecuali pendatang sementara.
Hal-hal ini penting diutarakan karena tidak mungkin terjadi pemerintahan rakyat jika kelima proses tersebut tidak dijalankan untuk membuat sebuah keputusan bersama.
Dalam perkembangannnya demokrasi juga digunakan dalam konteks negara bangsa. Perbedaan mendasar dari negara kota dan negara bangsa ialah luas wilayah dan jumlah populasi. Menjalankan proses demokrasi dalam negara bangsa tidak semudah dalam negara kota karena negara bangsa memiliki wilayah yang lebih luas dan jumlah penduduk yang lebih besar. Khusus untuk Indonesia, proses demokrasi bahkan memiliki tantangan geografis yang lebih khusus lagi, yakni negara kepulauan.
Dengan tetap berpegang pada definisi bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan bagi rakyat Dahl memaparkan bagaimana demokrasi modern memiliki kriteria-kriteria khusus dibandingkan dengan demokrasi pada negara kota.
1. Kontrol atas keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijaksanaan secara konstitusional dibebankan pada pejabat-pejabat yang dipilih.
2. Para pejabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur, setiap unsur-unsur paksaan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan.
3. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak dalam memilih pejabat-pejabat resmi.
4. Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih sebagai pejabat resmi dalam pemerintahan, meskipun batas umur untuk dipilih mungkin lebih tinggi daripada batas umur untuk memilih.
5. Warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman untuk dihukum mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para pejabat, pemerintahan, rezim, tata sosial ekonomi dan ideologi yang berlaku.
6. Warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, karena memang sumber-sumber dimaksud ada dan dilindungi hukum.
7. Untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut di atas, setiap warga negara juga mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi yang independen, termasuk partai-partai politik dan kelompok kepentingan bebas.
Indonesia dalam umurnya yang ke-62 ini telah mengalami tiga bentuk demokrasi. Empat tahun setelah kemerdekaan, 1950, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan demokrasi liberal atau yang lebih dikenal dengan demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer dengan segala hiruk pikuk pergantian kabinet hanya berjalan singkat. Soekarno kemudian menerapkan demokrasi terpimpin yang pada akhirnya menamatkan riwayat Soekarno dalam kancah perpolitikan Indonesia. Setelah itu sampai hari ini, Indonesia menganut sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila. Pancasila haruslah diartikan dan dimaknai dalam konsep dasar negara yang mempersatukan seperti yang diinginkan oleh para founding fathers bangsa ini. Hal ini perlu dikemukakan karena Pancasila selama orde baru telah mengalami degradasi makna di mana Pancasila dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan rezim otoriter selama orde baru.
Ideal Demokrasi Pluralis
Demokrasi Pancasila dapat dimasukkan dalam demokrasi politik menurut kaum pluralis. Kaum pluralis di sini adalah mereka yang mementingkan kesatuan kepentingan individu sebagai kepentingan kelompok. Demokrasi politik pluralis ini dapat ditafsirkan sebagai sistem pemerintahan yang menengahi kepentingan-kepentingan dalam kelompok-kelompok masyarakat sehingga diperoleh keseimbangan sosial. Kepentingan-kepentingan kelompok termanifestasi dalam proses politik, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam kelompok-kelompok non politis: kelompok berdasarkan ekonomi, sosial, agama, daerah atau suku bangsa.
Teori demokrasi pluralis ini menempatkan demokrasi sebagai sebagai penjamin dan pelindung kebebasan individu terhadap kekuasaan yang tak terkendali dari negara yang terpusat. Checks dan balances adalah upaya yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat untuk mencapai perlindungan dan penjaminan terhadap kebebasan individu melalui pemilu yang teratur.
Dari kerangka ontologis sosialnya, Carol C. Gould mengemukakan bahwa teori pluralis memiliki ontologi campuran. Ontologi campuran ini berbeda dengan ontologi individualisme liberal yang mengagung-agungkan kebebasan individu. Dalam kerangka ontologi campuran, kehidupan sosial, pada satu sisi, terdiri dari individu-individu yang mengejar kepentingan pribadi mereka. Tetapi, di sisi lain, kehidupan sosial itu terbentuk oleh individu-individu itu sendiri.
Beberapa cirinya kemudian ialah (1) hubungan-hubungan sosial yang terjadi ialah hubungan antarkelompok daripada hubungan antarindividu. (2) Kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda menjalin hubungan demi sebuah kepentingan yang lebih besar lagi. (3) Masyarakat kemudian bukan bersifat masyarakat individual melainkan masyarakat kelompok. Semunya ini disebut sebagai campuran karena pada satu titik ingin mempertahankan unsur individualitas tapi di titik lain ingin memberi penekanan pada kesatuan pada tingkat kelompok.
Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika’ dapat menjelaskan teori demokrasi pluralis dalam konteks Indonesia. Bahwa meskipun terdiri dari unsur-unsur yang berbeda, Indonesia tetap satu kesatuan.
Maka dari itu sebagai sistem politik demokrasi pluralis, demokrasi Pancasila Indonesia harus menegakkan dua hal:
1. Hak Asasi Manusia
2. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama
Kedua cara itu dapat dicapai hanya melalui RULE OF LAW—penegakan keadilan.
Proses Panjang Demokrasi
Setelah hampir ribuan tahun setelah dicetuskannya, demokrasi ternyata tidak menjadi puing-puing kuno yang ditinggalkan. Dalam perjalanan waktu dan ruang, demokrasi sebagai sebuah proses mengalami adaptasi-adaptasi untuk mencapai titik idealnya. Di Indonesia, demokrasi kiranya masih berumur muda dan terlalu cepat untuk dikatakan bahwa demokrasi telah mencapai titik idealnya. Untuk menuju pada ideal demokrasi itu, maka setiap warga negara kiranya harus mengalami sebuah pendidikan demokrasi yang mendewasakan.
“Indonesian people, through, demonstrations, brought about the collapse of the thyrannical Soeharto regime in 1998 and in 2004 the country held largest single-day election ever held in the world, which went peacefully. Indonesia which has the muslim population, also showed to the world that Islam and democracy not only coexist, but they can can be compatible and support one another.” Goddard said. (Jakarta Post, Tuesday Nov 13th 2007)
Democracy Award from the International Assosiation of Political Consultants (IAPC) lebih tepat jika dibaca sebagai undangan untuk menegakkan panji demokrasi di negeri ini ketimbang dibaca sebagai sebuah kemenangan demokrasi di negeri ini, karena pada realitasnya masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk mencapai sebuah ideal domokrasi. Demokrasi di Indonesia: Yang Belum Sempurna…
Sumber
1. Dahl, Robert A, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, Jakarta: CV Rajawali.
2. Gould, Carol C, 1993, Demokrasi Ditinjau Kembali, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
3. Tempo, Edisi Khusus Kemerdekaan, Pergulatan Demokrasi Liberal, edisi 13-19 Agustus 2007. Jakarta.