Postmodern Plato

(tulisan ini telah diterbitkan dalam MAJALAH BASIS No 11-12 th ke 57 Nov-Des 2008)

Many terms which have now dropped out of favour will be revived, and those that are at present respectable will drop out, if usage so choose, with whom lies the decision, the judgement and the rule of speech (Horace 65-8 BC)


Konon, mahasiswa filsafat semester satu memiliki ikatan intelektual yang erat dengan Plato. The Republik adalah bacaan wajib jika tidak ingin ketinggalan. Melalui alegori gua, Plato membentangkan sebuah perjalanan intelektual. Plato adalah englightment pertama. Seiring periode itu berselang, sang Athenian ini mulai tersisihkan. Dialog-dialognya mulai terpinggirkan di sudut perpustakaan. Pemikirannya mulai dipandang tidak relevan, ketinggalan jaman, out of date. Namun, apakah karena terkategorisasi dalam jaman klasik lalu atribut-atribut di atas bisa begitu saja disematkan?

Catherine H. Zuckert dalam Postmodern Platos bertanya, “Why did they go to Plato?” (1996:2). Salah satu dari mereka yang menjadi sasaran pertanyaan ini ialah Derrida. Pertanyaan ini beralasan. Pertama, antara Plato dan Filsuf kelahiran Algeria ini terbentang jaman dan alam pikir yang berbeda Derrida berdiri pada jaman yang sering didefinisikan sebagai “contemporary intellectual movement, or rather, not very happy family of intellectual movements” (Cahonee, 1996; 1-2). Dengan dua alasan di atas, sulit untuk membayangkan bahwa intensi Derrida kembali pada pemikiran sang Athenian hanya semata-mata demi nostalgia.

Fokus penyelidikan dalam tulisan ini akan menelusuri bagaimana dengan teliti Derrida membaca dialog Plato, Timaeus. Dalam Sokratic Dialog ini, Plato memaparkan pemikirannya mengenai proses terjadinya sebuah kosmos (1). Persis pada narasi itulah Derrida melihat dengan jeli suatu kejanggalan. Kejanggalan itu terletak pada sesuatu yang dinamai Plato sebagai Khora. Terhadap kejanggalan tersebut, Derrida kemudian menguraikan dengan gayanya tentang “Who are you Khora?”(2). Berangkat dari penelusuran dua teks, Plato-Timaeus dan Derrida-Khora, tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana melalui Khora Derrida memposisikan sebuah perdebatan filosofis antara dua tradisi pemikiran, modern dan setelahnya. Bagaimanakah itu terjadi?

1. Timaues Tentang Genesis Kosmos
Dalam kategorisasi karya-karya Plato, Timaeus termasuk dalam works of old age atau sering disebut late dialogue. Salah satu alasan yang menentukan mengapa Timaues termasuk dalam late dialogue ialah referensinya pada The Republik, karya yang termasuk dalam Period of Maturity. Bersama dengan Timaeus juga terdapat tulisan lain seperti Theaetetus, Sophistes, Politicus, Critias dan Laws (Coplestone, 1951: 137-140).

Plato membuka dialog Timaues dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Sokrates “One, two, three; but where, my dear Timaeus, is the fourth of those who were yesterday my guests and are to be my entertainers today?(17a). Pertanyaan ini membuka sekaligus memperkenalkan siapa-siapa yang menjadi tamu Sokrates dalam pertemuan itu. Mereka adalah Timaeus, Critias dan Hermokrates. Seperti pertanyaan Plato di awal tadi, seharusnya masih ada seorang tamu lagi, tetapi ia berhalangan hadir dan tinggallah mereka berempat dalam diskusi tersebut.

Timaeus sejauh tergambarkan dalam dialog tersebut merupakan seorang pejabat pemerintahan tertinggi di Locri. Ia juga adalah seorang yang tersohor dalam bidang filsafat(20a). Tidak hanya itu, Critias bahkan menyebutnya sebagai the best astronomer. Sedangkan Critias dalam dialog ini digambarkan sebagai seorang tua yang masih segar ingatannya akan cerita tentang masa lampau, khususnya tentang nenek moyang bangsa Athena. Tetapi pastinya Critias yang satu ini bukanlah Critias sepupu Plato. Tamu yang ketiga ialah Hermokrates. Ia adalah seorang Jenderal Syracuse yang terkenal karena ketangguhannya menghentikan Athenians' Sicilian Expedition (Conford, 1964: 1-2). Diantara ketiganya, Timaeus-lah yang akan mengambil peran penting yakni “guru” yang dengan senang hati membeberkan pengetahuannya, khususnya tentang genesis alam semesta.

Plato, melalui Sokrates, membuka dialog dengan me-review pembicaraan hari sebelumnya tentang konsep polis ideal. Ideal negara tersebut berisi tentang empat gagasan: separasi kelas, pembagian tugas warga negara, karakteristik kelas penjaga—meliputi pendidikan, keuangan, perkawinan, prokreasi—dan transposisi warga negara baik dan buruk (17i- 19a). Namun Plato sendiri merasa tidak puas atas apa yang disebutnya sebagai ideal negara. Dalam ideal negara tersebut sama sekali tidak terceritakan bagaimana konflik antar negara satu dengan yang lain. Persis itulah yang ingin diketahui oleh Plato. Untuk mengabulkan keingintahuan Sokrates tersebut, Hermocrates menunjuk Critias untuk menceritakan kisah yang telah terpelihara dalam tradisi Mesir tentang the great island of Atlantis. Narasi Critias ini terjadi sekitar 9000 tahun yang lalu ketika nenek moyang bangsa Athena berperang dan berhasil melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan kerajaan Atlantis. (19a-27c) Narasi tentang negara, perang dan nenek moyang berjalan mundur hingga akhirnya bermuara pada sebuah pertanyaan tentang penciptaan (27c-92c). Pada bagian ini Critias kemudian memberikan ruang pada sang ahli, Timaeus, untuk bercerita tentang genesis alam semesta.

Distingsi antara dunia yang tetap dan dunia yang berubah
Setelah bagian introduksi Plato mulai memaparkan suatu metafisika yang menjadi dasar dalam seluruh rangkaian percakapan tentang genesis alam semesta. Metafisika Plato itu terungkap dalam pertanyaan Timaues, “What is that which always is and has no becoming; and what is that which is always becoming and never is? That which is apprehended by intelligence and reason is always in the same state; but that which is conceived by opinion with the help of sensation and without reason, is always in a process of becoming and perishing and never really is (28a).

Pertanyaan tersebut mengungkapkan tiga prinsip dasar yang ingin diungkapkan Plato. Pertama, yang abadi adalah yang tertangkap oleh intelek. Sedang yang tidak abadi (tidak tetap) adalah yang tertangkap oleh indra. Dunia ini dapat terindrai, maka dari itu dunia adalah sesuatu yang tidak abadi. Kedua, apa yang tidak abadi berarti mempunyai suatu penyebab atas adanya. Karena dunia ini tidak abadi maka ia mempunyai suatu penyebab. Ketiga, penyebab tersebut akan menghasilkan sesuatu yang baik jika ia merujuk pada model abadi. Dunia ini baik adanya, dengan itu pasti model rujukannya adalah sesuatu yang abadi

Dari tiga prinsip dasar tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang indrawi hanya bisa dijelaskan dengan kata “seperti”, karena yang indrawi itu sendiri adalah yang menyerupai yang abadi. Dengan ini jelas terlihat bahwa Plato mengambil garis pemisah yang jelas antara dengan dunia abadi (paradigma) dan dunia yang berubah-ubah (fisik-indrawi). Yang tidak menjadi, tidak berubah dan tertangkap dengan intelek adalah karakter dunia abadi. Sedangkan yang selalu menjadi, berubah dan terindrai adalah karakter dunia fisik-indrawi. Sesuatu yang berubah dan menjadi, dengan ini merupakan sebuah ciptaan karena yang tertangkap oleh indra tidak ber-ada dengan sendirinya (28a).

Demiurgos, The Craftsman
Seperti telah diutarakan bahwa apa yang tidak abadi tidak berada dengan sendirinya, maka dunia yang tidak abadi ini juga membutuhkan suatu penyebab. Dalam narasi Timaues tentang penciptaan prinsip penyebab itu adalah Demiurgos (29e-30c). Plato biasanya menyebut Demiurgous sebagai tuhan atau bapak. Demiurgos sendiri berarti "perajin atau tukang" (Hetherington, 1993:251-252).

Demiurgos bisa secara tepat digambarkan seperti seorang tukang sepatu yang bekerja membuat sepasang sepatu. Sang tukang sepatu berkreasi dengan ragam material, tetapi material-material tersebut bukan ciptaannya sendiri. Ia sama sekali tidak mempunyai kekuasaan lebih atas material-material tersebut, kecuali merangkainya dari yang tak berbentuk menjadi sepasang sepatu. Untuk mengerti bagaimana material-material harus dirajut, Ia mengonstruksikan sebuah pola entah itu secara empiris ada di depan matanya atau ada dalam pikirannya(1993:254). Berbekal material dan pola itulah ia “menciptakan” sepatu.

Begitu pulalah yang terjadi dengan Demiurgos, sang tukang pencipta alam semesta. Ia tidak mahakuasa dalam arti ia tidak menciptakan materi pembentuk kosmos. Material-material tersebut sudah begitu saja ada, tanpa ada campur tangan Demiurgos. Untuk membentuk kosmos, Ia berkontemplasi atas sebuah model dan berdasarkan model tersebut ia memfabrikasi material-material menjadi sebuah tatanan (Conford 1964: 34-40). Tindakan Demiurgos kadang-kadang digambarkan sebagai merancang (making) atau merangkai (putting together) tetapi juga mengatuur (ordering) atau membentuk (shaping) elemen yang sebelumnya berada dalam kekacauan. Sedangkan sejauh dalam arti merubah dari chaos menjadi kosmos kata mencipta (creating) dapat diterima (1993:254-255). Tetapi ketika berhadapan dengan material-material pembentuk kosmos, Demiurgos bukanlah pencipta karena ia tidak menciptakan dunia ex nihilio.

Demiurgos versus Ananke
Salah satu keistimewaan Demiurgos adalah prinsip ”demi kebaikan”. Meskipun ia tidak mahakuasa tetapi ia baik pada pada dirinya. Dengan karakter kebaikan itu, ia memfabrikasi kosmos dengan intensi supaya kosmos ini juga baik adanya(29d). Namun, intensi demi yang terbaik itu tidak begitu saja berjalan mulus karena keberadaan Ananke. Ananke bekerja dengan cara yang justru berkebalikan dari Demiurgos. Ananke merupakan entitas yang telah ada begitu saja bersama Demiurgos. Keberadaan Ananke semakin menunjukkan bahwa Demiurgos bukanlah Kuasa Absolut; ia terbatas (1993: 272-273).

Ketidakmampuan Demiurgos untuk merayu Ananke kemudian menjelaskan bahwa dalam kosmos yang diintesikan untuk kebaikan juga masih terdapat sebuah cacat (47e-48a). Tetapi keburukan tersebut tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kekuatan yang mampu mengorganisasi kosmos secara keseluruhan. Seandainya tidak ada Demiurgos yang rasional untuk menjinakkannya, kekacauan akan menjadi peraturan, bukan perkecualian (1993:256).

Paradigma sebagai Model
Pertanyaan kemudian adalah “Which of the patterns had the artificer in view when he made the world--the pattern of the unchangeable, or of that which is created? Sebelum menjawab tentang model manakah yang menjadi rujukan utama, pertama-tama harus sudah jelas dipahami distingsi Plato antara yang abadi dengan yang berubah.
Jawab Timaues, If the world be indeed fair and the artificer good, it is manifest that he must have looked to that which is eternal; but if what cannot be said without blasphemy is true, then to the created pattern. Every one will see that he must have looked to the eternal; for the world is the fairest of creations and he is the best of causes. And having been created in this way, the world has been framed in the likeness of that which is apprehended by reason and mind and is unchangeable, and must therefore of necessity, if this is admitted, be a copy of something (29a).
Conford menjelaskan hal ini dengan mereferensi pada karya Plato The Republik X.

Sesuatu yang baik adalah seperti yang dilakukan oleh tukang kayu yang ketika membuat tempat tidur merujuk pada “the real bed”—sesuatu yang tidak diciptakan dan ditemukan oleh sang tukang kayu. Sedangkan yang buruk ialah seperti seorang pelukis yang menempatkan “tempat tidur ciptaan tukang kayu” sebagai modelnya. Dengan itu sang pelukis sebenarnya hanya menghasilkan sautu penampakan saja. Pelukis tersebut hanya memodelkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata, an image of an image (1964: 27-28).

Konstruksi Tubuh dan Jiwa Dunia
Dengan rujukan pada model abadi, mulailah Demiurgos membentuk dunia. Plato menyebutkan empat materi dalam pembentukan tubuh dunia: api, udara, air dan tanah (48b). Pada materi-materi tersebut Plato mengasumsikan bahwa partikel kecil dari masing-masing elemen mempunyai bentuk geometris istimewa: tetrahedron (api), octahedron (udara), icosahedron (air), dan cube (tanah) (1964:222)
Sedangkan untuk membentuk jiwa dunia Demiurgos memasukkan keempat elemen (air, tanah , api dan udara) ke dalam sebuah ”wadah”. Bersama dengan keempat elemen pembentuk tubuh dunia ia juga memasukkan proporsi matematis dan dengan itu kemudian terciptalah jiwa dunia. Jiwa dunia itu sendiri terdiri dari tiga unsur: Kesamaan (Sameness), Perbedaan (Otherness) dan Ada (Being) (1964:57).

Khora, The Receptacle
Sampai saat ini Plato dalam kosmologinya telah menampilkan The Maker, The Model, The Material dan tentunya proses fabrikasi alam semesta. Persis dalam proses fabrikasi jiwa dunia itulah, Plato, menampilkan wacana baru, yakni Khora. Khora sering kali ditampilkan sebagai the receptacle, wadah. Namun, gambaran itu hanyalah satu dari ragam gambaran tentang khora. Pertanyaannya kini adalah bagaimanakah Khora (wadah) itu selanjutnya dipahami?

Pada bagian awal melalui Timaeus Plato telah membedakan antara dunia yang tetap dengan dunia yang selalu berubah. Plato mengakui bahwa dalam kosmologinya ini ternyata perlu ditambahkan sebuah genus yang lain. Khora bagi Plato ialah bukan genus pertama (dunia yang tak berubah), tetapi juga bukan genus kedua (dunia yang berubah). Khora adalah genus ketiga, triton genus(52a).
Beberapa gambaran yang bisa ditangkap dari Plato dalam Timaues tentang Khora.
1. Khora adalah sebuah dasar yang sudah ada bahkan sebelum kosmos tercipta (49a).
2. Kodrat dan fungsinya adalah menjadi Wadah atau Jururawat (49b). Tidak tampak jelas apakah ada kesamaan antara antara Wadah dan Jururawat. Wadah lebih mempunyai kesamaan dengan gambaran sebagai Ibu (52d).
3. Khora seperti memiliki substansi plastik yang mampu menerima impresi-impresi. Khora bergerak dan terbentuk persis seperti apa yang masuk ke dalamnya (50c).
4. Khora diilustrasikan seperti bahan halus dimana sebelum sesuatu disematkan kepadanya, ia terlebih dulu harus dibuat semulus mungkin (50 E). Di 50-B Ilustrasi itu adalah emas, yang diciptakan oleh seorang pandai emas ke dalam ragam bentuk yang berbeda. Jika ditanya apakah itu cincin atau kalung atau anting, jawaban teraman ialah ‘emas’—meskipun kita ketahui bahwa pada dasarnya bentuknya berbeda. Seperti itu jugalah Khora.
5. Seperti emas yang mengambil dalam beragam bentuk, Khora juga dapat diterapkan sebagai minyak yang dipakai sebagai cairan dasar untuk sebuah parfum. Cairan dasar itu sendiri sejauh mungkin tidak berbau apa-apa. (50e).
6. Khora juga digambarkan sebagai seorang ibu. Dalam kepercayaan Yunani bapak biasanya dianggap sebagai penyebab sebuh regenerasi. Sedangkan Ibu memberikan embrio tempat untuk berkembang. Oleh karena itu ibu dan wadah secara alami tidak saling bertentangan (51a).
7. Setelah gambaran-gambaran di atas, Plato merujuk wadah sebagai ‘ruang’ yang menyediakan ‘tempat’ untuk segalanya menjadi (52a8-b1).

Dari gambaran Khora di atas, kesimpulan yang dapat ditarik tentang essensi Khora adalah (1) tidak memiliki kualitas yang dapat diindrai. (2) Khora adalah medium dimana benda-benda indrawi mengalami proses menjadi. (3) Khora bukan sekedar ruang tetapi sebuah matrix, ’the stuff without property’.

2. Derrida membaca Khora
Khora reaches us, and as the name. And when a name comes, it immediately says more than the name…Khora menunjuk pada ‘yang lain’ dari nama. Yang lain dari nama tersebut tidak begitu saja dapat dipahami. Karena tidak begitu saja dapat dipahami Khora berada dalam kawasan asing (Derrida, 1998:231). Keasingan Khora ini bagi Derrida sudah ditangkap oleh Plato ketika ia memaknai Khora sebagai genus ketiga (triton genus).

Melalui Khora Plato tampaknya ingin menolak logic of non-contradiction of the philosophers(1998:231) . Dalam logika non-kontradiksi terdapat dua kutub yakni “itu” dan “bukan itu”. Logika non-kontradiksi ini dapat dimengerti juga sebagai logika biner atau logika ‘ya’ atau ‘tidak’. Dengan menolak logika biner Khora dengan itu tidak dapat dijelaskan dengan mengatakan ‘Khora merupakan sebuah wadah’ atau Khora bukan merupakan sebuah wadah.

Khora bagi Derrida tidak lahir dari logika yang alami dan legitim. Ia berasal dari sebuah hybrid, bastard, or even corrupted reasoning (logismo notho). Sebagai hasil dari rasio yang korup maka Khora tidak bisa dimasukkan dalam genus pertama maupun genus kedua Genus pertama adalah yang abadi (paradigma) sedangkan genus yang kedua adalah yang berubah (indrawi). Khora adalah genus yang ketiga (triton genus). Genus yang ketiga tersebut neither intelligible nor sensible; both intelligible and sensible. Kemudian, apakah karena berasal dari rasio yang korup lalu Khora bisa dianggap sebagai mitos? Bukan tempatnya untuk memahami Khora dalam kerangka logos atau mitos karena keduanya berkatain dengan genus pertama maupun yang kedua. Khora membutuhkan a third genus discourse (1998:231-232)

A third genus discourse itu merupakan Khora sebagai “bukan ini dan bukan itu” (neither this nor that) dan sebagai “sekaligus ini dan itu” (both this and that). Dalam kedua kutub tersebut, Khora bergerak dari satu ke yang lain. Ia berosilasi antara kutub ekslusi “neither/nor” dan kutub partisipasi “both this and that”. Pada saat-saat tertentu ia berada pada kutub “neither/nor” dan pada saat yang lain both this and that(1998:232-233)

Selain gambaran sebagai genus ketiga, Plato juga menggambarkan Khora dalam metaphor ibu, perawat,wadah dan emas. Tetapi, bagi Derrida, dalam hal itupun Khora tidak bisa terjelaskan. Khora sebagaimana bukan mitos ataupun logos, juga tidak terjelaskan dalam makna metaphor maupun makna literal. Dengan melampaui makna metaphor dan literal, it would no longer belong to the horizon of sense, nor to that of meaning as the meaning of being (1998:234).

Pemahaman tentang Khora bagi Derrida harus diletakkan dalam proses pemaknaan yang terus menerus. Itu artinya, tidak ada sebuah nama yang tepat, mot juste, bagi Khora karena setiap penamaan atas Khora akan beresiko pada sebuah anakronisme. Tidak adanya finalitas bagi pemaknaan atas atas Khora harus dipahami karena Khora bukanlah suatu nama; ia melampaui nama. Sesuatu yang ingin dihindari Khora ialah nama itu sendiri. Tulis Derrida, ”We have no doubt already been warned by Timaues: in all these comparisons with writing, we are not supposed to take the letters literally. (Derrida, 1981: 159)

Selain sebagai nama—yang terhindar dari pemaknaan—Derrida menggambarkan kondisi Khora sebagai keadaan tanpa properti pada dirinya. Pada bagian awal dialog dipaparkan bahwa kelas penjaga adalah adalah golongan yang sama sekali tidak mempunyai harta milik pribadi, entah apapun itu. ”...isn’t this also the situation of the site, condition of Khora?” (1998:234). Ia tidak memiliki harta, ia hanya menerima bayaran atas tugas-tugasnya. Dalam Plato, Khora hanya menerima elemen-elemen yang dilemparkan Demiurgos pada dirinya. Meskipun ia menerima elemen-elemen tersebut ia sama sekali bersentuhan dengannya. Ia hanya memberikan tempat bagi elemen-elemen tersebut.

Sokrates yang menjelaskan karakteristik kelas penjaga juga tidak lepas dari penggambaran sebagai Khora. Sokrates, bagi Derrida adalah Khora dalam posisi sebagai individu. Pada bagian awal dialog, Sokrates memosisikan dirinya sebagai seorang penyair dan sebagai sophis untuk menjelaskan mengapa ia tidak berkompeten untuk menjelasan tentang negara dan rakyatnya. Yang harus menjelaskan hal tersebut ialah politician-philosopher. Golongan penyair tidak dapat berbicara tentang negara karena mereka tidak terlatih dan fasih dalam hal tersebut. Keterbatasan berbicara tentang hal polis dan rakyatnya juga terdapat pada kaum sophis karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal di dalam polis. Kaum sophis adalah pengembara tanpa kemapanan. Sebaliknya ketiga tamu Sokrates adalah politician-philosopher yakni mereka mereka yang fasih dan berkompeten dalam hal kenegaraan karena mereka pertama bertempat tinggal di polis dan kedua mereka adalah warga polis. (1998:244).

Di atara golongan yang berkompeten dan yang tidak, perhatian Derrida ialah bahwa ”Sokrates thus pretends to belong to the genus of those who pretend to belong to the genus of those who have a place, a place and an economy that are their own,”. Dengan berpura-pura bahwa dia adalah bagian dari kelompok yang berpura-pura memiliki tempat dalam polis, itu Sokrates mengisyaratkan bahwa dia bukanlah seorang petualang tetapi juga bukan seorang warga polis. Ia bukan politician-philosopher tetapi juga bukan sophis-imitator. Dengan itu ia mencegah adanya sebuah oposisi biner antara politician-philosopher dengan sophis-imitator. Oposisi biner ini jauh melampaui yang literal dan yang metaphoris. Sokrates bukan politician-philosopher dan juga bukan sophis-imitator (1998:245-246).Ia adalah genus ketiga (triton genus) dan itu hanya dapat dipahami dengan a third genus discourse

Selain penempatan di luar oposisi politician-philosopher dan sophis-imitator, Derrida menangkap Sokrates sebagai Khora melalui the silence of Sokrates. Dalam seluruh dialog Timaues, Sokrates hanya hadir dalam bagian introduksi dan kemudian Sokrates hilang dan tergantikan sepenuhnya oleh Timaues tamunya. Ia memberikan seluruh ruang pembicaraan pada Timaeus. Tindakan sokrates ini mengisyaratkan dirinya sebagai a receptive address (1998:247). Sokrates menjadi pendengar dan penerima tetapi bukan dalam arti pasif bahwa ia tidak tahu apa-apa melainkan karena ia ingin memberikan tempat bagi teman-temanya untuk berdiskusi. Bagi Derrida, posisi ini dipilihnya agar pembicaraan mungkin dan terjadi. Dengan memberikan ruang pembicaraan, Sokrates telah mendorong tamunya-tamunya untuk dapat mengaktualisasikan diri (to become). Persis itulah juga yang terjadi dalam Khora dalam Plato, ia mensituasikan agar elemen-elemen tersebut dapat teraktualisasi menjadi kosmos.

3. Khora Derrida sebagai Dekonstruksi

Dalam tanggapannya terhadap Khora Plato, Deridda menyatakan bahwa Heiddeger mengartikulasikan kembali Platonisme ketika dia menekankan perbedaan di antara Being dan beings. Being bagi Heidegger sesuatu yang tidak mempunyai kualitas definitif . Being itu dikenal hanya karena ketiadaannya yang justru berfungsi sebagai pembuka yang membuat eksistensi beings menjadi mungkin. Pararel dengan itu, bagi Zukert, Derrida juga mengartikulasikan Platonisme tersebut dalam deskripsinya tentang Khora di Timaeus. Heidegger membantah bahwa sejarah filsafat menampakkan sebuah kehadiran dan oleh karena itu pada akhirnya yang menjadi jelas hanyalah batasan-batasan yang tidak dikenali. Dan bagi Derrida keterbatasannya tersebut telah terungkap sejak awal dalam teks Plato (Zukert, 1996:235).

Zukert melihat bahwa dalam Khora-nya, Derrida menyatakan bahwa apa apa yang dikenal sebagai Platonisme atau metafisika lebih Aristotelian daripada bahwa hanya Platonis. Meskipun begitu, bagi Derrida pembacaan tradisional atas teks tetap perlu dan legitim bahkan diperlukan. Apa yang coba Derrida tampakkan adalah bahwa dalam Timaues terdapat suatu narasi yang mengungkapkan bahwa pemahaman sejarah kita adalah sebuah seri dari ketidaklengkapan (1996:235). Ketidaklengkapan tersebut dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak lengkap terceritakan.

Dalam Pharmacy, Derrida menyimpulkan bahwa Plato sendiri tampaknya mengakui keterbatasannya dalam mendeskripsikan kosmos dalam arti idea dan tiruan. Sedangkan dalam Timaeus Plato mengakui keterbatasannya dengan memunculkan kebutuhan akan genus ketiga. (1996:236). Bagi Derrida apa yang ditunjuk Plato sebagai Khora dalam Timaeus kelihatannya menentang logic of non-contradiction of the philosophers .
Penolakan terhadap logika non-kontradiksi degan ini telah membawa pada keadaan pre-origin dimana tidak ada lagi oposisi biner—ada dan menjadi, intelligible dan sensible. Kondisi pre-origin tanpa oposisi biner inilah yang diakui dalam Timaues.

Dengan memposisikan kebutuhan untuk sebuah permulaan baru dengan apa yang disebutnya sebagai Khora, Plato menunjuk suatu kebutuhan untuk secara terus menerus memberikan pemahaman terhadap dunia karena karena setiap narasi sebelumnya adalah versi yang tak lengkap.Pertanyaan kemudian, apakah dengan menemukan kebutuhan akan narasi yang baru berarti bahwa kita harus merujuk pada filsafat Plato, ontology Plato atau Platonism? Jawab derrida: sama sekali tidak. Apa yang disebut sebagai Platonisme adalah abstraksi dari fiksi-fiksi yang ditulis oleh Plato. Platonism adalah salah satu efek dari teks Plato dan efek tersebut justru berlawanan dengan teks itu sendiri. (1996:239).

Bagi Zukert, kembalinya Derrida pada teks-teks Plato bukan untuk menghidupkan lagi pengertian penuh pemikiran Plato yang berlapis-lapis. Dalam How to Avoid Speaking: Denials, Derrida menerangkan bahwa dengan memperlihatkan heterogenitas pada teks-teks Plato, ia ingin memunculkan suatu pertanyaan dekonstruktif tentang pengertian teleologis dalam pengertian tradisi barat. Dengan memperlihatkan argumen yang meremehkan teori gagasan dalam teks Plato, derrida menemukan bahwa tidak akan ada pernah satu pembacaan atas sejarah filsafat. (1996:240). Dengan kata lain sejarah filsafat sejauh ini berada dalam sebuah cara baca yang sudah terdeterminasi.
Dekonstruksi derrida itu disimpulkan oleh Zukert pada bagian akhir tulisannya yang berjudul Derrida’s New [Hi] story. “…Derrida deconstructs the received reading of Plato in order to shake the still dominant self-understanding of the west and thus to counter its homogenizing political effects. By showing that there is an ineradicable instability of meaning from the very beginning , Derrida seeks to show that there is a certain “space” at the interior of the tradition which provides an opening to that which lies beyond it, to that which is “to come”… Decontruction does not mean destruction, he repeteadly insists. Deconstruction is inconceiveable without Hegel, Nietzsche, Husserl and Heidegger and these philosophers all look back, in turn, to Plato… Derrida just as explicitly denies that any of these authors , text or approaches has any integrity or value in itself (1996:252).

Kesimpulan Semifinal
Seluruh pemaparan di atas pada awalnya berangkat dari dialog Plato Timaues tentang genesis kosmos. Dengan pembacaan yang detail itu kemudian Derrida masuk melalui Khora yang pada dasarnya hanya sub-kecil dari seluruh kisah penciptaan. Meskipun muncul dalam ragam “wajah”, pada dasarnya Plato mengartikan Khora sebagai the receptacle. Namun di tangan Derrida The receptacle berubah menjadi kritik atas sejarah filsafat dan atas metafisika kehadirannya. Khora adalah sebuah dekonstruksi.
Di mata Derrida narasi penciptaan Plato kini tidak bermakna lebih besar ketimbang sekedar gelanggang untuk membuktikan cara berpikirnya. Dengan itu menjadi jelas bahwa kembalinya Derrida pada Plato bukan demi sebuah nostalgia melainkan demi membuktikan sebuah ketidakselesaian.. Dengan pemahaman akan ketidakselesaian tersebut, tulisan ini juga tidak akan berpretensi untuk mencapai kesimpulan akhir baik dalam Plato maupun Derrida. Titik terjauh yang dapat dicapai hanyalah sekedar kesimpulan semifinal yakni Per Plato ad Derrida.

read more tariganism...

Republikanisme Kant

Merumuskan Strategi Struktural untuk Mengatur ”Setan-Setan Berakal” menurut Pemikiran Politik Kant

Pengantar
Bertrand Russel pernah menulis seperti ini, “Kant, pendiri idealisme Jerman, bukanlah orang yang penting secara politis, meski dia menulis sejumlah esai menarik tentang pokok bahasan politik. Katakanlah pendapat itu beralasan, tetapi belum tentu pendapat tersebut dapat mentah-mentah diterima. Dalam ranah politik, nama Kant memang dapat dikatakan tidak setenar pendahulunya seperti Hobbes dengan leviathan-nya atau Rosseau dengan volunte generale-nya. Satu-satunya tulisan yang secara eksplisit menggambarkan pendirian politis Kant ialah Zum ewigen Frieden (Perdamaian Abadi). Meskipun begitu, buku yang tipis dalam kuantitas lembar halaman ini menujukkan sebuah pemikiran visioner. Kant telah melampaui pemikir politik di jamannya. Ia menggagas sebuah idea-politik-universal yang tepat untuk diletakkan pada jaman sekarang, yakni jaman yang ditandai dengan gerak mengglobal dimana beragam ideologi, kultur dan nilai berbagi dunia yang sama.

Buku ini ditulisnya pada tahun 1795. Sang anak jaman pencerahan ini menyatakan dalam pembukaan bukunya bahwa buku ini tidak akan membahayakan negara. Baginya yang sungguh membahayakan negara hanyalah perang. Meletusnya perang kemerdekaan Amerika (1775) dan revolusi Perancis (1789) sulit untuk dikatakan tidak menjadi latar penting dalam panggung penulisan buku tipis ini. Pada bagian pertama ia menuliskan enam pasal preliminer yang memuat larangan-larangan yang harus ditaati negara-negara yang bertikai untuk mencapai kondisi yang lebih dari sekedar gencatan senjata. Pada bagian kedua, ia mengajukan tiga pasal definitif untuk perdamaian abadi antar negara. Setelah pasal-pasal tersebut, Kant masih melengkapi tulisannya ini dengan dua pasal tambahan tentang jaminan perdamaian abadi dan pasal rahasia perihal perdamaian abadi. Ia menutup traktat politiknya ini dengan dua lampiran yang berbicara mengenai meskipun moralitas dan politik itu bisa berlawanan, keduanya juga dapat diharmonisasikan.

Dari hasil pemetaan di atas, tulisan ini berniat untuk memfokuskan diri pada pasal pertama dalam tiga pasal definitif untuk perdamaian abadi antar negara. Pasal pertama itu berbunyi, ”Konstitusi Sipil Setiap Negara Seharusnya Berupa Republik. Setelah tatapan sekilas pandang ini, pada bagian pertama, tulisan akan menggali tripanji elemen pembentuk konstitusi republik. Dengan tripanji itulah posibilitas akan perdamaian abadi terbuka lebar. Pembahasan tersebut terletak pada bagian kedua. Pada bagian ketiga, akan dipaparkan serentetan perbandingan bentuk negara (civitas) dimana salah satunya ialah republik. Akhirnya apakah yang khas dari Republikanisme Kant ini? Pada bagian terakhir, tulisan ini merasa tepat untuk menyatakan bahwa keunikan dari republikanisme ini ialah kemampuannya untuk mendamaikan ”setan-setan” yang rasional.

Tripanji Pembentuk Konstitusi Republik
Kant mengawali pasal definitif pertama untuk mencapai perdamaian abadi dengan kalimat, “Satu-satunya konstitusi yg muncul dari gagasan perjanjian yg asali dan harus dijadikan landasan semua perundang-undangan hukum manusia adalah republik. Kata konstitusi di sini mengacu pada sebuah bentuk negara (civitas) serta bagaimana negara itu menjalankan kekuasannya.

Posisi Kant dalam hal cara negara (civitas) dijalankan jelas menunjuk pada bentuk republik. Tiga faktor penting yang mengasali dan mendasari bentuk negara republik ini adalah pertama berdasarkan prinsip kebebasan setiap anggota masyarakat (sebagai manusia). Kedua, berdasarkan ketergantungan semua terhadap satu perundang-undangan umum (rakyat sebagai objek). Ketiga, berdasarkan hukum persamaan hak (sebagai warga negara). Dalam terminologi yang sekarang dapat pokok-pokok di atas mendapat nama baru yakni, hak asasi manusia (human rights) dan persamaan dihadapan hukum (equality before the law).

Ketiga hal diatas dapat dihubungkan sebagai berikut. Pada bagian yang pertama dikatakan bahwa setiap warga negara adalah bebas sebagai manusia. Pertanyaannya ialah hal-hal apa saja yang dapat membuat seseorang tidak bebas sebagai manusia? Kebebasan bagi Kant dapat dipahami sebagai hak untuk tidak mematuhi hukum karena hukum itu tidak saya setujui. Dengan kata lain, saya akan mentaati hukum karena hukum tersebut saya setujui. Hukum yang dapat saya setujui ialah hukum yang merujuk pada idea hukum dan itu artinya berdasarkan konstitusi yg dibangun atas prinsip kebebasan, prinsip ketergantungan pada satu hukum dan persamaan di hadapan hukum. Maka, sesuatu yang tidak membuat saya bebas ialah ketika saya dipaksa untuk mentaati sesuatu yang berlawanan dengan ideal hukum. Andaikan atas dasar hukum legal saya dipaksa untuk membunuh seseorang, di sanalah saya telah kehilangan kebebasan saya. Lalu bagaimanakah konstitusi yang menjunjung kebebasan ini dapat dikatakan menjadi syarat untuk mencapai perdamaian abadi?

Posibilitas Perdamaian Abadi
Dengan tripanji yang membentuknya konstitusi republik telah membuka sebuah posibilitas menuju perdamaian abadi. Secara singkat ia memberikan alasannya: dalam pilihan antara maju berperang atau tidak, warga negara sendirilah yang akan menimbang-nimbang segala kemungkinan bila salah satu pilihan diambil. Maju berperang resikonya ini, tidak maju berperang resikonya itu. Dengan merinci semua kemungkinan yang bisa terjadi, sangat masuk akal bahwa tidak ada warga negara yang akan mengatakan ”ya” untuk berperang karena keuntungan tidak akan lebih didapat dari sebuah peperangan.

Siapa yang akan menyetujui untuk berperang jika dia tahu bahwa dengan perang hanya penderitaan yang akan didapatknya. Jika diantara dua negara yang sedang bertikai setiap warga negaranya mampu merinci segala kemungkinan yang disebabkan oleh perang dan dengan itu mengatakan ”tidak”, maka perang tidak akan pernah terjadi.

Sebaliknya, jika ruang diskresi dan konsultasi publik tidak berjalan dalam rangka pengambilan keputusan maka perihal perang atau tidak akan menjadi keputusan privat sang penguasa. Tulisnya, dalam sebuah konstitusi di mana rakyat bukanlah warga negara (tetapi sebagai objek yang dikuasai), yang berarti bukan konstitusi republik, pencanangan perang merupakan hal yang termudah di dunia ini karena sang kepala negara bukan sebagai anggota negara, melainkan sebagai pemilik negara.

MAU MEMBACA MEMBACA LANJUT TULISAN INI?
Silahkah tulis NAMA dan EMAIL di TARIGANISM CHAT.

read more tariganism...

CERDAS-TERLIBAT

Semangat Dasar Senat Mahasiswa STF Driyarkara Periode 2008-2009

Pada awal Juni 2008 kepengurusan Senat Mahasiswa periode 2008-2009 lengkap tersusun. Dari ragam dan macam latar belakang, 36 mahasiswa/i duduk bersama untuk merumuskan suatu semangat dasar yang akan menjadi "api" bagi tiga bidang besar dalam organisasi ini, Bidang Intelektual, Bidang Sosial dan Bidang Seni. Semangat dasar yang coba kami kobarkan itu terdiri dari dua kata yang kemudian terjalin dalam sebuah frase, CERDAS-TERLIBAT.

Dalam menyusun semangat dasar ini kami sangat sadar bahwa CERDAS dan TERLIBAT, secara makna kata, memiliki arti yang berbeda satu dengan yang lain. Kalau demikian, apakah maksud dibalik penggabungan dua kata yang berbeda tersebut? Apakah itu hanya sekedar penggabungan kata tanpa serat makna atau malahan hanya sekedar demi mengakomodasi berbagai kepentingan. Tidak! CERDAS-TERLIBAT merupakan keprihatinan, cara bertindak sekaligus harapan. Dalam satu kalimat, CERDAS-TERLIBAT adalah sikap kritis-sintetik yang ikut ambil bagian dalam perjuangan bangsanya. Dengan itu, homo socius bukanlah sebuah utopia melainkan sebuah realita.

Darimanakah semua inspirasi ini bermula? Tahun 2009, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini merayakan usianya yang ke-40. Sekolah Tinggi Filsafat ini bernama Driyarkara bukan karena didirikan oleh Prof. Driyarkara, pemikir yang terlibat dalam perjuangan bangsanya, namun karena cita-cita dan perjuangannyalah yang hendak disuarakan. Tepat ketika kesadaran panca windu STF Driyarkara itu muncul, kami sebagai senat mahasiswa sepakat untuk bertanya, "Sejauh manakah cita-cita Driyarkara, nama yang digunakan oleh Sekolah Tinggi Filsafat ini, telah dipahami dan dihidupi?"

Driyarkara pernah menulis, "…kita sekarang ini hidup dalam dunia yang rupa-rupanya terbentuk dari penolakan untuk untuk bermenung. Tugas filsafat ialah melawan kekacauan pikiran yang ada di dunia ini."
Akhirnya dengan semangat CERDAS-TERLIBAT kami senat mahasiswa periode 2008-2009 mengundang semua untuk menyuarakan kembali refrein Mars STF Driyarkara yang berbunyi, "Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara melangkah maju mengabdi sesama, banga kami dan penuh harapan mengagungkan nilai kemanusiaan."


Jakarta, 5 Juni 2008
Ketua Senat Mahasiswa

read more tariganism...

Islam-ku dan Islam-mu

Sebuah Narasi Pengalaman Eksistensial

Lahir di Indonesia, negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, bukanlah suatu pilihan. Namun, hidup bersama dengan umat Muslim adalah sebuah pilihan. Pilihan itu tetap menjadi pilihan hingga saat ini. Pilihan tersebut telah membuka ragam perjumpaan dan pengalaman bersama umat Muslim.

Perjumpaan Iman
Perjumpaan pertama dengan Islam terjadi di lingkungan Betawi. Di tempat itulah saya tahu bahwa bangunan dengan kubah dan menara tinggi di samping rumah saya adalah Masjid. Di tempat itu pula telinga ini menjadi akrab dengan Adzan Maghrib atau beduk takbir di kala Ramadhan tiba. Bahkan jauh sebelum membaca buku Nasr, The Heart of Islam, teman-teman kecil saya sudah memberitahukan bahwa Allah Akbar berarti Allah Mahabesar.

Setelahnyalah baru saya pahami secara teoritis apa itu arti Allah sebagai Allah Akbar. Allah sebagai Allah Akbar berarti Maha Besar. Allah adalah sesuatu yang lebih besar dari segalanya bahkan lebih besar daripada yang dapat dipikirkan oleh manusia. Tetapi itu tidak berarti bawah Allah adalah realitas yang jauh dan terpisah sama sekali dari manusia. Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah juga dekat dengan manusia bahkan lebih dekat daripada diri kita sendiri.

Hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah saya berdirilah Sekolah Dasar Islam (SDI) tempat dimana teman-teman saya bersekolah. Melihat teman-teman bersekolah dengan peci atau jilbab adalah hal yang biasa. Masih segar dalam ingatan ketika setiap di awal kelas mereka selalu melafalkan, Bismillah…..

Dalam ingatan sang anak tersebut, Lebaran berarti ketupat sedang Idul Adha berarti kambing. Identifikasi-identifikasi tersebut masih terus melekat erat sampai saat ini. Perjumpaan geografis perlahan-lahan telah membawa saya pada perjumpaan eksistensial dengan umat Muslim.

Ketika beranjak dewasa, perjumpaan-perujumpan lain pun terus berlanjut. Bahkan ketika bersekolah di sekolah swasta Katolik, teman sekelas saya banyak yang beragama Islam. Sampai saat itu tidak pernah sekalipun terjadi pengalaman negatif. Pertentangan agama yang seringkali muncul pada abad ini sama sekali bukan konsumsi kami, anak-anak Jakarta saat itu. Islam inklusif yang dirumuskan oleh para ahli, ternyata telah terjadi dan saya rasakan sejak masa kecil.

Benang merah yang dapat saya tarik selama berinteraksi dengan Muslim hanyalah satu kata, harmonis. Selama hidup bersama, tak pernah ada sebuah ketegangan iman baik secara teologis maupun praktis. Iman yang mereka hayati tampak melalui laku hidup yang berdampingan dengan tetangga sekitar meskipun berbeda keyakinan dan suku.


Instrumen Politik
Pada tahap kedua ini sesuatu yang berkebalikan terjadi. Abad ini harus diakui telah membawa masing-masing agama pada ideologisasi yang berimplikasi pada eksklusifisme. Pengalaman puncak yang sedikit mengacaukan pemahaman saya tentang Islam ialah ketika Gereja- Gereja ditutup dan dibombardir oleh mereka yang mengatasnamakan Islam.

Persis setelah kejadian tersebut rentetan kekerasan atas nama Islam pun terus berlanjut. Sampai saat itu saya mulai bertanya siapakah Islam? Pembentukan opini-opini negatif tentang Islam pun semakin gencar. Hal itu tidak terelakkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Manila, Filipina, seorang teman pernah bertanya tentang Indonesia, khususnya umat Muslim. Ketika saya sharing-kan pengalaman masa kecil di atas, seakan-akan dia percaya. Baginya, Islam adalah sebuah momok yang identik dengan kekerasan. Saat itulah saya menarasikan bahwa pandangan mereka tentang Islam tidak sepenuhnya benar. Bahkan ketika saya harus ke Pulau Mindanao pun saya tidak merasa takut karena saya berpegang erat pada pemahaman saya tentang Islam yang positif.

Pengalaman akan Islam tidak bisa tidak akan tergantung pada pengalaman eksistensial seseorang dengan Islam. Bagi mereka yang harus kehilangan sanak saudara akibat serangan “Islam radikal”, wajah Islam akan sangat terpuruk. Tetapi yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam yang sejatinya bukanlah seperti yang digambarkan oleh mereka yang berlabel “radikal”.

Sejenak mundur pada pengalaman masa kecil, saya berkeyakinan bahwa mereka yang melakukan tindakan tersebut bukan Islam yang saya kenal. Saya merasa berhadapan dengan Islam yang asing, Islam yang tidak berakar pada perjumpaan iman. Meskipun di beberapa kejadian Islam diidentikkan dengan kekerasan, bagi saya sebuah perjumpaan iman lebih akan berbicara banyak.

Berhadapan dengan kategorisasi Islam kultural, Islam moderat dan umat Islam radikal membawa saya pada pemahaman bahwa kategorisasi tersebut sebenarnya telah memiskinkan makna Islam sejatinya. Kategorisasi-kategorisasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari perang kepentingan politik. Agama tidak lagi ditempatkan dalam koridornya sebagai perayaan hidup melainkan telah dimainkan sebagai instrumen politik

Berangkat dari sharing pengalaman di atas, saya ingin berargumentasi tentang pandangan Nasr mengenai warna-warni Islam. Ya, saya sepakat bahwa Islam adalah sebuah fakta yang beragam dalam kultur budaya tempat berkembangnya. Islam adalah permadani Persia.Tetapi dengan konsep warna-warni tersebut saya menangkap kecenderungan Nasr ingin memberikan legitimasi untuk eksistensi mereka yang berhaluan radikal. Warna-warni sepatutnya diarahkan pada sebuah kesatuan makna yakni Islam sebagai agama yg merayakan kehidupan.

Akhirnya, seperti apakah wajah muslim Indonesia bagiku? Pemahaman Muslim Indonesia bagiku telah diberikan oleh teman-teman kecil yang pernah berkata, “kita main di Masjid yuuk..”

read more tariganism...

Manusia Memaknai Simbol

Kekuatan Simbol (The Power of Symbol)

Berbicara mengenai simbol sama dengan masuk dalam sebuah diskusi panjang mengenai pencarian arti dan makna dari simbol. Dalam bahasa aslinya, Yunani, kata symbollein digunakan sebagai kata kerja yang artinya ialah mencocokkan. Lambat laun arti mencocokkan—dalam konteks tanda atau materai perjanjian—tersebut berubah arti menjadi tanda pengenalan. Sesuatu dikenali melalui simbol.

Dalam keragaman pemikiran mengenai simbol tersebut, dua refren utama yang disepakati bersama ialah, pertama, simbol telah dan sampai detik ini masih mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kedua, simbol merupakan alat yang kuat untuk memperluas pengetahuan kita, merangsang daya imaginasi kita dan memperdalam pemahaman kita. Selama manusia masih mencari arti dari sebuah kehidupan, manusia tidak akan pernah bisa lepas dari simbol.

Apakah Makna Dari Simbol?Kini sejenak kita akan melihat pandangan beberapa filsuf maupun teolog mengenai bagaimana mereka memahami dan memaknai simbol.

Ernst Cassirer

1. Dalam bukunya yang berjudul An Essay on Man ia memulai dengan bab yang berjudul The Crisis of Man’s Knowledge of Himself. Ia menunjukkan bahwa pada masa sekarang manusia memiliki kelimpahan sumber-sumber pengetahuan. Kelimpahan sumber pengetahuan tersebut telah membanjiri manusia dengan kelimpahan data. Tepat pada kondisi tersebut Cassirer melihat bahwa manusia sebenarnya sedang mengalami krisis. Manusia berkelimpahan data tetapi manusia tidak mempunyai metode untuk menata data-data tersebut. Krisis itu digambarkannnya seperti sebuah labirin. Pertanyaaanya ialah bagaimana mencari benang Ariadne untuk keluar dari labirin tersebut.

2. Untuk keluar dari labirin tersebut ia menyatakan bahwa manusia memiliki “hubungan ketiga”. Manusia—sama seperti semua mahluk hidup—mempunyai sistem refektor dan sistem efektor. Tetapi, manusia juga memiliki daya kemampuan untuk memasukkan di antara kedua sistem tersebut suatu sistem simbol. Sistem simbol inilah yang membuat manusia tidak merespon secara langsung dan segera atas stimulus yang datang. Manusia dapat menafsirkan stimulus-stimulus yang ada. Bentuk-bentuk simbol yang digunakan manusia dalam usaha menafsirkan stimulus itu berpotensi memperbesar pengetahuan dan kepekaan serta mengarahkan pada tindakan yang kreatif. Manusia hidup dalam alam semesta simbolis. Bahasa, mite, kesenian dan agama ialah bagian-bagian dari alam semesta itu.

3. Berkeyakinan bahwa dalam hiudpnya manusia membutuhkan hubungan ketiga yang adalah sistem simbol. Dengan menggunakan bentuk-bentuk simbolis, manusia telah mencapai kemajuan sampai tingkat yang sangat tinggi di dunia sekarang ini, dan hanya dengan membangun bentuk-bentuk simbolis yang baru kemajuaan tingkat tinggi itu dapat dipertahankan.


Paul Tillich

Dalam membicarakan simbol Tillich memberikan ciri-ciri dasar dari simbol.

1. Simbol bersifat figuratif, selalu menunjuk sesuatu yang diluarnya. Baginya simbol berbeda dengan tanda. Simbol mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya sampai tingkat tertentu. Sedangkan tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti; tanda tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya.

2. Simbol dapat dicerap baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imaginatif.

3. Simbol membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi dengan segi-segi realitas tertinggi. Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden.

4. Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Simbol hidup oleh karena hubungannya dengan suatu kebudayaan yang khusus. Jika simbol tidak lagi membangkitkan respon yang vital maka simbol itu mati.


Paul Ricoeur

1. Ia mendefinisikan simbol sebagai struktur makna di mana suatu arti yang langsung, primer, harafiah menunjukkan arti lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif serta yang hanya dapat dipahami hanya melalui yang pertama.

2. Dalam bukunya The Symbolism of Evil ia melukiskan arti kotor, tercemar secara jasmani sebagai simbol ketidakmurnian manusia dalam hubungannya dengan Yang Kudus. Tercemar atau terkena noda secara alami disebutnya sebagi intensionalitas pertama. Ia kemudian melanjutkan pada intensionalitas kedua yaitu melalui apa yang secara jasmani tidak bersih, menggambarkan situasi di mana manusia dalam hubungannya dengan Yang Kudus mengalami ketercemaran, ketidakmurnian.

3. Jadi arti harafiah itu menunjukkan sesuatu arti yang lebih jauh. Kotor dan tercemar secara jasmani di sana menggambarkan ketidakmurnian manusia dalam hubungan dengan Yang Kudus. Dengan itu, arti yang pertama menujuk secara analogis kepada yang arti kedua yang tidak diberikan secara lain kecuali dalam arti pertama. Kotor dan tercemar secara jasmani menjadi simbol ketidakmurnian dalam hubungan manusia dengan Yang-Kudus.


Karl Rahner

Pembahasan tema simbol oleh Rahner dibahas dalam kerangka teologi simbol. Baginya sistem simbolisme itu sendiri termasuk dalam kodrat ke-Allah-an itu sendiri. Maka dari itu ia memahami simbol sebagai berikut.

1. Simbol tidak pernah boleh dipandang sebagai suatu yang terpisah dari hal yang disimbolkannya.

2. Suatu objek atau suatu diri terungkap dalam simbol dan dengan demikian menjadi hadir dalam simbol.

3. Simbol merupakan kehadiran nyata

4. Simbol tidak memisahkan ketika mengantarai, tetapi mempersatukan dengan segera.

5. Simbol dipersatukan dengan hal yang disimbolkannya karena hal yang disimbolkannya membentuk simbol sebagai realisasi dirinya sendiri.


Ia mengatakan, “…Allah sendiri merupakan realitas keselamatan sebab realitas keselamatan ini diberikan kepada manusia dan ditangkap dengan simbol; simbol bukan merupakan realitas yang tidak hadir dan terjanji semata-mata, tetapi menujukkan realitas sebagai sesuatu yang hadir melalui simbol yang dibentuknya”.


Mircea Eliade

a. Dalam pemakanaan mengenai simbol Eliade mengarahkan pemikirannya kepada; (1) barang dan peristiwa khusus, untuk kemudian (2) mencari arti arti penting dari barang dan peristiwa khusus tersebut, untuk akhirnya (3) menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.

b. Ia menekankan secara khusus apa yang disebutnya hierofani, yaitu manifestasi dari yang kudus dalam konteks dunia sekular. Baginya manifestasi-manifestasi itu mengambil tempat sebagai simbol-simbol.

c. Fungsi simbol baginya ialah mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata profan.


Dalam bukunya “The History of Relogions: Essay in Methodology” ia mengemukakan ciri-ciri simbol:

1. Multivalen, metaempiris, artinya simbol selalu menunjuk sesuatu yang lebih jauh yaitu kepada Yang-Kudus, realitas tertinggi.

2. Simbol bukanlah sebuah penujuk yang tidak ada hubungannya dengan manusia aktif. Simbol selalu tertuju pada suatu realitas atau situasi yang melibatkan esksistensi manusia

3. Dengan demikian simbol memberi makna dan arti ke dalam eksistensi manusia.


Apakah Fungsi Simbol?

Dengan melihat makna atau arti simbol dari beberapa tokoh di atas sebenarnya secara tidak langsung fungsi dari simbol tersebut sedikit banyak telah terpaparkan.

Secara garis besar fungsi simbol dapat dilihat sebagai berikut.

1. Menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen dari pengalaman-pengalaman. (Whitehead)

2. Mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang hidup. (Goethe)

3. Memperluas pengetahuan, merangasang daya imaginasi dan memperdalam pemahaman manusia. (Dillistone)

4. Mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya sampai tingkat tertentu (Paul Tillich)

5. Membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti dengan cara lain. Hal ini khususnya berlaku pada simbol-simbol seni. (Paul Tillich)

6. Membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi dengan segi-segi realitas tertinggi. (Dillistone)

7. Mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata profan. (Mircea Eliade)

8. Menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh manifestasi lainnya. Simbol menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan yang kudus. (Mircea Eliade)

9. Memberi arti atau makna ke dalam eksistensi manusia. (Mircea Eliade)


Kesimpulan


Dari beberapa pandangan mengenai ARTI dan FUNGSI simbol di atas kini dapat ditarik sebuah benang merah yang dapat diterima bersama. Simbol dapat dipandang sebagai

1. suatu kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang kongkret;

2. yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau mengungkapkan atau menerangi

3. sesuatu yang lebih tinggi atau transenden atau yang lebih besar atau sebuah makna, atau realitas atau kepercayaan atau suatu keadaan.

Maka dari itu, fungsi dasar simbol ialah menjembatani, menghubungkan jurang antara dunia nomor 1 dengan dunia nomor 3. Dengan kata lain simbol berfungsi menghubungkan dua entitas yang berbeda. Tetapi dengan cara yang lain simbol dapat menggambarkan atau mengingatkan atau menunjuk kepada apa yang disimbolkan tersebut.


Bagaimana jika Manusia Kehilangan Bahasa Simbolis?

Dalam bukunya yang berjudul Images and Symbols Eliade menuliskan, “Symbols not only disclose a structure of the real or even a dimension of existence, at the same time they carry a significance for human existence.”( Symbolism, The Sacred and The Art, 1961) Manusia tidak bisa dilepaskan dari sistem simbol. Seperti yang diungkapkan oleh Cassirer, justru sistem simbol inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan adanya simbol-simbol (kebudayaan, seni, agama, dll) manusia dapat menafsirkan stimulus-stimulus yang ada tidak secara langsung dan segera seperti yang terjadi pada hewan.


Jika manusia kehilangan bahasa simbolisnya maka;

1. Manusia akan kehilangan kesadaran, pemahaman dan gambaran-gambaran pengalamannya. Manusia tidak bisa memaknai pengalaman-pengalamannya sendiri.

2. Manusia tidak akan berkembang karena tanpa adanya simbol manusia kehilangan daya pemahaman dan imaginasi.

3. Manusia akan kehilangan cara berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Karena dengan simbol, ikatan-ikatan relasi dalam lingkungan sosial dapat terjalin.

4. Manusia tidak akan mengenal dimensi roh batiniah dalam dirinya. Dengan itu manusia juga tidak akan pernah mengalami korespondensi dengan realitas tertinggi.

5. Manusia tidak akan pernah terbuka untuk berhubungan dengan realitas tertinggi, yang kudus. Seperti yang diungkapkam oleh Rahner, simbolisme itu sendiri ialah bagian dari kodrat ilahi.

6. Akhirnya, tanpa simbol dapat diartikan bahwa manusia sebenarnya tidak ada, karena simbol yang paling kuat sebenarnya ialah manusia yang hidup.

read more tariganism...

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP