Islam-ku dan Islam-mu

Sebuah Narasi Pengalaman Eksistensial

Lahir di Indonesia, negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, bukanlah suatu pilihan. Namun, hidup bersama dengan umat Muslim adalah sebuah pilihan. Pilihan itu tetap menjadi pilihan hingga saat ini. Pilihan tersebut telah membuka ragam perjumpaan dan pengalaman bersama umat Muslim.

Perjumpaan Iman
Perjumpaan pertama dengan Islam terjadi di lingkungan Betawi. Di tempat itulah saya tahu bahwa bangunan dengan kubah dan menara tinggi di samping rumah saya adalah Masjid. Di tempat itu pula telinga ini menjadi akrab dengan Adzan Maghrib atau beduk takbir di kala Ramadhan tiba. Bahkan jauh sebelum membaca buku Nasr, The Heart of Islam, teman-teman kecil saya sudah memberitahukan bahwa Allah Akbar berarti Allah Mahabesar.

Setelahnyalah baru saya pahami secara teoritis apa itu arti Allah sebagai Allah Akbar. Allah sebagai Allah Akbar berarti Maha Besar. Allah adalah sesuatu yang lebih besar dari segalanya bahkan lebih besar daripada yang dapat dipikirkan oleh manusia. Tetapi itu tidak berarti bawah Allah adalah realitas yang jauh dan terpisah sama sekali dari manusia. Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah juga dekat dengan manusia bahkan lebih dekat daripada diri kita sendiri.

Hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah saya berdirilah Sekolah Dasar Islam (SDI) tempat dimana teman-teman saya bersekolah. Melihat teman-teman bersekolah dengan peci atau jilbab adalah hal yang biasa. Masih segar dalam ingatan ketika setiap di awal kelas mereka selalu melafalkan, Bismillah…..

Dalam ingatan sang anak tersebut, Lebaran berarti ketupat sedang Idul Adha berarti kambing. Identifikasi-identifikasi tersebut masih terus melekat erat sampai saat ini. Perjumpaan geografis perlahan-lahan telah membawa saya pada perjumpaan eksistensial dengan umat Muslim.

Ketika beranjak dewasa, perjumpaan-perujumpan lain pun terus berlanjut. Bahkan ketika bersekolah di sekolah swasta Katolik, teman sekelas saya banyak yang beragama Islam. Sampai saat itu tidak pernah sekalipun terjadi pengalaman negatif. Pertentangan agama yang seringkali muncul pada abad ini sama sekali bukan konsumsi kami, anak-anak Jakarta saat itu. Islam inklusif yang dirumuskan oleh para ahli, ternyata telah terjadi dan saya rasakan sejak masa kecil.

Benang merah yang dapat saya tarik selama berinteraksi dengan Muslim hanyalah satu kata, harmonis. Selama hidup bersama, tak pernah ada sebuah ketegangan iman baik secara teologis maupun praktis. Iman yang mereka hayati tampak melalui laku hidup yang berdampingan dengan tetangga sekitar meskipun berbeda keyakinan dan suku.


Instrumen Politik
Pada tahap kedua ini sesuatu yang berkebalikan terjadi. Abad ini harus diakui telah membawa masing-masing agama pada ideologisasi yang berimplikasi pada eksklusifisme. Pengalaman puncak yang sedikit mengacaukan pemahaman saya tentang Islam ialah ketika Gereja- Gereja ditutup dan dibombardir oleh mereka yang mengatasnamakan Islam.

Persis setelah kejadian tersebut rentetan kekerasan atas nama Islam pun terus berlanjut. Sampai saat itu saya mulai bertanya siapakah Islam? Pembentukan opini-opini negatif tentang Islam pun semakin gencar. Hal itu tidak terelakkan. Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Manila, Filipina, seorang teman pernah bertanya tentang Indonesia, khususnya umat Muslim. Ketika saya sharing-kan pengalaman masa kecil di atas, seakan-akan dia percaya. Baginya, Islam adalah sebuah momok yang identik dengan kekerasan. Saat itulah saya menarasikan bahwa pandangan mereka tentang Islam tidak sepenuhnya benar. Bahkan ketika saya harus ke Pulau Mindanao pun saya tidak merasa takut karena saya berpegang erat pada pemahaman saya tentang Islam yang positif.

Pengalaman akan Islam tidak bisa tidak akan tergantung pada pengalaman eksistensial seseorang dengan Islam. Bagi mereka yang harus kehilangan sanak saudara akibat serangan “Islam radikal”, wajah Islam akan sangat terpuruk. Tetapi yang perlu ditegaskan adalah bahwa Islam yang sejatinya bukanlah seperti yang digambarkan oleh mereka yang berlabel “radikal”.

Sejenak mundur pada pengalaman masa kecil, saya berkeyakinan bahwa mereka yang melakukan tindakan tersebut bukan Islam yang saya kenal. Saya merasa berhadapan dengan Islam yang asing, Islam yang tidak berakar pada perjumpaan iman. Meskipun di beberapa kejadian Islam diidentikkan dengan kekerasan, bagi saya sebuah perjumpaan iman lebih akan berbicara banyak.

Berhadapan dengan kategorisasi Islam kultural, Islam moderat dan umat Islam radikal membawa saya pada pemahaman bahwa kategorisasi tersebut sebenarnya telah memiskinkan makna Islam sejatinya. Kategorisasi-kategorisasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari perang kepentingan politik. Agama tidak lagi ditempatkan dalam koridornya sebagai perayaan hidup melainkan telah dimainkan sebagai instrumen politik

Berangkat dari sharing pengalaman di atas, saya ingin berargumentasi tentang pandangan Nasr mengenai warna-warni Islam. Ya, saya sepakat bahwa Islam adalah sebuah fakta yang beragam dalam kultur budaya tempat berkembangnya. Islam adalah permadani Persia.Tetapi dengan konsep warna-warni tersebut saya menangkap kecenderungan Nasr ingin memberikan legitimasi untuk eksistensi mereka yang berhaluan radikal. Warna-warni sepatutnya diarahkan pada sebuah kesatuan makna yakni Islam sebagai agama yg merayakan kehidupan.

Akhirnya, seperti apakah wajah muslim Indonesia bagiku? Pemahaman Muslim Indonesia bagiku telah diberikan oleh teman-teman kecil yang pernah berkata, “kita main di Masjid yuuk..”

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP