Postmodern Plato
(tulisan ini telah diterbitkan dalam MAJALAH BASIS No 11-12 th ke 57 Nov-Des 2008)
Many terms which have now dropped out of favour will be revived, and those that are at present respectable will drop out, if usage so choose, with whom lies the decision, the judgement and the rule of speech (Horace 65-8 BC)
Konon, mahasiswa filsafat semester satu memiliki ikatan intelektual yang erat dengan Plato. The Republik adalah bacaan wajib jika tidak ingin ketinggalan. Melalui alegori gua, Plato membentangkan sebuah perjalanan intelektual. Plato adalah englightment pertama. Seiring periode itu berselang, sang Athenian ini mulai tersisihkan. Dialog-dialognya mulai terpinggirkan di sudut perpustakaan. Pemikirannya mulai dipandang tidak relevan, ketinggalan jaman, out of date. Namun, apakah karena terkategorisasi dalam jaman klasik lalu atribut-atribut di atas bisa begitu saja disematkan?
Catherine H. Zuckert dalam Postmodern Platos bertanya, “Why did they go to Plato?” (1996:2). Salah satu dari mereka yang menjadi sasaran pertanyaan ini ialah Derrida. Pertanyaan ini beralasan. Pertama, antara Plato dan Filsuf kelahiran Algeria ini terbentang jaman dan alam pikir yang berbeda Derrida berdiri pada jaman yang sering didefinisikan sebagai “contemporary intellectual movement, or rather, not very happy family of intellectual movements” (Cahonee, 1996; 1-2). Dengan dua alasan di atas, sulit untuk membayangkan bahwa intensi Derrida kembali pada pemikiran sang Athenian hanya semata-mata demi nostalgia.
Fokus penyelidikan dalam tulisan ini akan menelusuri bagaimana dengan teliti Derrida membaca dialog Plato, Timaeus. Dalam Sokratic Dialog ini, Plato memaparkan pemikirannya mengenai proses terjadinya sebuah kosmos (1). Persis pada narasi itulah Derrida melihat dengan jeli suatu kejanggalan. Kejanggalan itu terletak pada sesuatu yang dinamai Plato sebagai Khora. Terhadap kejanggalan tersebut, Derrida kemudian menguraikan dengan gayanya tentang “Who are you Khora?”(2). Berangkat dari penelusuran dua teks, Plato-Timaeus dan Derrida-Khora, tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana melalui Khora Derrida memposisikan sebuah perdebatan filosofis antara dua tradisi pemikiran, modern dan setelahnya. Bagaimanakah itu terjadi?
1. Timaues Tentang Genesis Kosmos
Dalam kategorisasi karya-karya Plato, Timaeus termasuk dalam works of old age atau sering disebut late dialogue. Salah satu alasan yang menentukan mengapa Timaues termasuk dalam late dialogue ialah referensinya pada The Republik, karya yang termasuk dalam Period of Maturity. Bersama dengan Timaeus juga terdapat tulisan lain seperti Theaetetus, Sophistes, Politicus, Critias dan Laws (Coplestone, 1951: 137-140).
Plato membuka dialog Timaues dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Sokrates “One, two, three; but where, my dear Timaeus, is the fourth of those who were yesterday my guests and are to be my entertainers today?(17a). Pertanyaan ini membuka sekaligus memperkenalkan siapa-siapa yang menjadi tamu Sokrates dalam pertemuan itu. Mereka adalah Timaeus, Critias dan Hermokrates. Seperti pertanyaan Plato di awal tadi, seharusnya masih ada seorang tamu lagi, tetapi ia berhalangan hadir dan tinggallah mereka berempat dalam diskusi tersebut.
Timaeus sejauh tergambarkan dalam dialog tersebut merupakan seorang pejabat pemerintahan tertinggi di Locri. Ia juga adalah seorang yang tersohor dalam bidang filsafat(20a). Tidak hanya itu, Critias bahkan menyebutnya sebagai the best astronomer. Sedangkan Critias dalam dialog ini digambarkan sebagai seorang tua yang masih segar ingatannya akan cerita tentang masa lampau, khususnya tentang nenek moyang bangsa Athena. Tetapi pastinya Critias yang satu ini bukanlah Critias sepupu Plato. Tamu yang ketiga ialah Hermokrates. Ia adalah seorang Jenderal Syracuse yang terkenal karena ketangguhannya menghentikan Athenians' Sicilian Expedition (Conford, 1964: 1-2). Diantara ketiganya, Timaeus-lah yang akan mengambil peran penting yakni “guru” yang dengan senang hati membeberkan pengetahuannya, khususnya tentang genesis alam semesta.
Plato, melalui Sokrates, membuka dialog dengan me-review pembicaraan hari sebelumnya tentang konsep polis ideal. Ideal negara tersebut berisi tentang empat gagasan: separasi kelas, pembagian tugas warga negara, karakteristik kelas penjaga—meliputi pendidikan, keuangan, perkawinan, prokreasi—dan transposisi warga negara baik dan buruk (17i- 19a). Namun Plato sendiri merasa tidak puas atas apa yang disebutnya sebagai ideal negara. Dalam ideal negara tersebut sama sekali tidak terceritakan bagaimana konflik antar negara satu dengan yang lain. Persis itulah yang ingin diketahui oleh Plato. Untuk mengabulkan keingintahuan Sokrates tersebut, Hermocrates menunjuk Critias untuk menceritakan kisah yang telah terpelihara dalam tradisi Mesir tentang the great island of Atlantis. Narasi Critias ini terjadi sekitar 9000 tahun yang lalu ketika nenek moyang bangsa Athena berperang dan berhasil melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan kerajaan Atlantis. (19a-27c) Narasi tentang negara, perang dan nenek moyang berjalan mundur hingga akhirnya bermuara pada sebuah pertanyaan tentang penciptaan (27c-92c). Pada bagian ini Critias kemudian memberikan ruang pada sang ahli, Timaeus, untuk bercerita tentang genesis alam semesta.
Distingsi antara dunia yang tetap dan dunia yang berubah
Setelah bagian introduksi Plato mulai memaparkan suatu metafisika yang menjadi dasar dalam seluruh rangkaian percakapan tentang genesis alam semesta. Metafisika Plato itu terungkap dalam pertanyaan Timaues, “What is that which always is and has no becoming; and what is that which is always becoming and never is? That which is apprehended by intelligence and reason is always in the same state; but that which is conceived by opinion with the help of sensation and without reason, is always in a process of becoming and perishing and never really is (28a).
Pertanyaan tersebut mengungkapkan tiga prinsip dasar yang ingin diungkapkan Plato. Pertama, yang abadi adalah yang tertangkap oleh intelek. Sedang yang tidak abadi (tidak tetap) adalah yang tertangkap oleh indra. Dunia ini dapat terindrai, maka dari itu dunia adalah sesuatu yang tidak abadi. Kedua, apa yang tidak abadi berarti mempunyai suatu penyebab atas adanya. Karena dunia ini tidak abadi maka ia mempunyai suatu penyebab. Ketiga, penyebab tersebut akan menghasilkan sesuatu yang baik jika ia merujuk pada model abadi. Dunia ini baik adanya, dengan itu pasti model rujukannya adalah sesuatu yang abadi
Dari tiga prinsip dasar tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang indrawi hanya bisa dijelaskan dengan kata “seperti”, karena yang indrawi itu sendiri adalah yang menyerupai yang abadi. Dengan ini jelas terlihat bahwa Plato mengambil garis pemisah yang jelas antara dengan dunia abadi (paradigma) dan dunia yang berubah-ubah (fisik-indrawi). Yang tidak menjadi, tidak berubah dan tertangkap dengan intelek adalah karakter dunia abadi. Sedangkan yang selalu menjadi, berubah dan terindrai adalah karakter dunia fisik-indrawi. Sesuatu yang berubah dan menjadi, dengan ini merupakan sebuah ciptaan karena yang tertangkap oleh indra tidak ber-ada dengan sendirinya (28a).
Demiurgos, The Craftsman
Seperti telah diutarakan bahwa apa yang tidak abadi tidak berada dengan sendirinya, maka dunia yang tidak abadi ini juga membutuhkan suatu penyebab. Dalam narasi Timaues tentang penciptaan prinsip penyebab itu adalah Demiurgos (29e-30c). Plato biasanya menyebut Demiurgous sebagai tuhan atau bapak. Demiurgos sendiri berarti "perajin atau tukang" (Hetherington, 1993:251-252).
Demiurgos bisa secara tepat digambarkan seperti seorang tukang sepatu yang bekerja membuat sepasang sepatu. Sang tukang sepatu berkreasi dengan ragam material, tetapi material-material tersebut bukan ciptaannya sendiri. Ia sama sekali tidak mempunyai kekuasaan lebih atas material-material tersebut, kecuali merangkainya dari yang tak berbentuk menjadi sepasang sepatu. Untuk mengerti bagaimana material-material harus dirajut, Ia mengonstruksikan sebuah pola entah itu secara empiris ada di depan matanya atau ada dalam pikirannya(1993:254). Berbekal material dan pola itulah ia “menciptakan” sepatu.
Begitu pulalah yang terjadi dengan Demiurgos, sang tukang pencipta alam semesta. Ia tidak mahakuasa dalam arti ia tidak menciptakan materi pembentuk kosmos. Material-material tersebut sudah begitu saja ada, tanpa ada campur tangan Demiurgos. Untuk membentuk kosmos, Ia berkontemplasi atas sebuah model dan berdasarkan model tersebut ia memfabrikasi material-material menjadi sebuah tatanan (Conford 1964: 34-40). Tindakan Demiurgos kadang-kadang digambarkan sebagai merancang (making) atau merangkai (putting together) tetapi juga mengatuur (ordering) atau membentuk (shaping) elemen yang sebelumnya berada dalam kekacauan. Sedangkan sejauh dalam arti merubah dari chaos menjadi kosmos kata mencipta (creating) dapat diterima (1993:254-255). Tetapi ketika berhadapan dengan material-material pembentuk kosmos, Demiurgos bukanlah pencipta karena ia tidak menciptakan dunia ex nihilio.
Demiurgos versus Ananke
Salah satu keistimewaan Demiurgos adalah prinsip ”demi kebaikan”. Meskipun ia tidak mahakuasa tetapi ia baik pada pada dirinya. Dengan karakter kebaikan itu, ia memfabrikasi kosmos dengan intensi supaya kosmos ini juga baik adanya(29d). Namun, intensi demi yang terbaik itu tidak begitu saja berjalan mulus karena keberadaan Ananke. Ananke bekerja dengan cara yang justru berkebalikan dari Demiurgos. Ananke merupakan entitas yang telah ada begitu saja bersama Demiurgos. Keberadaan Ananke semakin menunjukkan bahwa Demiurgos bukanlah Kuasa Absolut; ia terbatas (1993: 272-273).
Ketidakmampuan Demiurgos untuk merayu Ananke kemudian menjelaskan bahwa dalam kosmos yang diintesikan untuk kebaikan juga masih terdapat sebuah cacat (47e-48a). Tetapi keburukan tersebut tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kekuatan yang mampu mengorganisasi kosmos secara keseluruhan. Seandainya tidak ada Demiurgos yang rasional untuk menjinakkannya, kekacauan akan menjadi peraturan, bukan perkecualian (1993:256).
Paradigma sebagai Model
Pertanyaan kemudian adalah “Which of the patterns had the artificer in view when he made the world--the pattern of the unchangeable, or of that which is created? Sebelum menjawab tentang model manakah yang menjadi rujukan utama, pertama-tama harus sudah jelas dipahami distingsi Plato antara yang abadi dengan yang berubah.
Jawab Timaues, If the world be indeed fair and the artificer good, it is manifest that he must have looked to that which is eternal; but if what cannot be said without blasphemy is true, then to the created pattern. Every one will see that he must have looked to the eternal; for the world is the fairest of creations and he is the best of causes. And having been created in this way, the world has been framed in the likeness of that which is apprehended by reason and mind and is unchangeable, and must therefore of necessity, if this is admitted, be a copy of something (29a).
Conford menjelaskan hal ini dengan mereferensi pada karya Plato The Republik X.
Sesuatu yang baik adalah seperti yang dilakukan oleh tukang kayu yang ketika membuat tempat tidur merujuk pada “the real bed”—sesuatu yang tidak diciptakan dan ditemukan oleh sang tukang kayu. Sedangkan yang buruk ialah seperti seorang pelukis yang menempatkan “tempat tidur ciptaan tukang kayu” sebagai modelnya. Dengan itu sang pelukis sebenarnya hanya menghasilkan sautu penampakan saja. Pelukis tersebut hanya memodelkan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata, an image of an image (1964: 27-28).
Konstruksi Tubuh dan Jiwa Dunia
Dengan rujukan pada model abadi, mulailah Demiurgos membentuk dunia. Plato menyebutkan empat materi dalam pembentukan tubuh dunia: api, udara, air dan tanah (48b). Pada materi-materi tersebut Plato mengasumsikan bahwa partikel kecil dari masing-masing elemen mempunyai bentuk geometris istimewa: tetrahedron (api), octahedron (udara), icosahedron (air), dan cube (tanah) (1964:222)
Sedangkan untuk membentuk jiwa dunia Demiurgos memasukkan keempat elemen (air, tanah , api dan udara) ke dalam sebuah ”wadah”. Bersama dengan keempat elemen pembentuk tubuh dunia ia juga memasukkan proporsi matematis dan dengan itu kemudian terciptalah jiwa dunia. Jiwa dunia itu sendiri terdiri dari tiga unsur: Kesamaan (Sameness), Perbedaan (Otherness) dan Ada (Being) (1964:57).
Khora, The Receptacle
Sampai saat ini Plato dalam kosmologinya telah menampilkan The Maker, The Model, The Material dan tentunya proses fabrikasi alam semesta. Persis dalam proses fabrikasi jiwa dunia itulah, Plato, menampilkan wacana baru, yakni Khora. Khora sering kali ditampilkan sebagai the receptacle, wadah. Namun, gambaran itu hanyalah satu dari ragam gambaran tentang khora. Pertanyaannya kini adalah bagaimanakah Khora (wadah) itu selanjutnya dipahami?
Pada bagian awal melalui Timaeus Plato telah membedakan antara dunia yang tetap dengan dunia yang selalu berubah. Plato mengakui bahwa dalam kosmologinya ini ternyata perlu ditambahkan sebuah genus yang lain. Khora bagi Plato ialah bukan genus pertama (dunia yang tak berubah), tetapi juga bukan genus kedua (dunia yang berubah). Khora adalah genus ketiga, triton genus(52a).
Beberapa gambaran yang bisa ditangkap dari Plato dalam Timaues tentang Khora.
1. Khora adalah sebuah dasar yang sudah ada bahkan sebelum kosmos tercipta (49a).
2. Kodrat dan fungsinya adalah menjadi Wadah atau Jururawat (49b). Tidak tampak jelas apakah ada kesamaan antara antara Wadah dan Jururawat. Wadah lebih mempunyai kesamaan dengan gambaran sebagai Ibu (52d).
3. Khora seperti memiliki substansi plastik yang mampu menerima impresi-impresi. Khora bergerak dan terbentuk persis seperti apa yang masuk ke dalamnya (50c).
4. Khora diilustrasikan seperti bahan halus dimana sebelum sesuatu disematkan kepadanya, ia terlebih dulu harus dibuat semulus mungkin (50 E). Di 50-B Ilustrasi itu adalah emas, yang diciptakan oleh seorang pandai emas ke dalam ragam bentuk yang berbeda. Jika ditanya apakah itu cincin atau kalung atau anting, jawaban teraman ialah ‘emas’—meskipun kita ketahui bahwa pada dasarnya bentuknya berbeda. Seperti itu jugalah Khora.
5. Seperti emas yang mengambil dalam beragam bentuk, Khora juga dapat diterapkan sebagai minyak yang dipakai sebagai cairan dasar untuk sebuah parfum. Cairan dasar itu sendiri sejauh mungkin tidak berbau apa-apa. (50e).
6. Khora juga digambarkan sebagai seorang ibu. Dalam kepercayaan Yunani bapak biasanya dianggap sebagai penyebab sebuh regenerasi. Sedangkan Ibu memberikan embrio tempat untuk berkembang. Oleh karena itu ibu dan wadah secara alami tidak saling bertentangan (51a).
7. Setelah gambaran-gambaran di atas, Plato merujuk wadah sebagai ‘ruang’ yang menyediakan ‘tempat’ untuk segalanya menjadi (52a8-b1).
Dari gambaran Khora di atas, kesimpulan yang dapat ditarik tentang essensi Khora adalah (1) tidak memiliki kualitas yang dapat diindrai. (2) Khora adalah medium dimana benda-benda indrawi mengalami proses menjadi. (3) Khora bukan sekedar ruang tetapi sebuah matrix, ’the stuff without property’.
2. Derrida membaca Khora
Khora reaches us, and as the name. And when a name comes, it immediately says more than the name…Khora menunjuk pada ‘yang lain’ dari nama. Yang lain dari nama tersebut tidak begitu saja dapat dipahami. Karena tidak begitu saja dapat dipahami Khora berada dalam kawasan asing (Derrida, 1998:231). Keasingan Khora ini bagi Derrida sudah ditangkap oleh Plato ketika ia memaknai Khora sebagai genus ketiga (triton genus).
Melalui Khora Plato tampaknya ingin menolak logic of non-contradiction of the philosophers(1998:231) . Dalam logika non-kontradiksi terdapat dua kutub yakni “itu” dan “bukan itu”. Logika non-kontradiksi ini dapat dimengerti juga sebagai logika biner atau logika ‘ya’ atau ‘tidak’. Dengan menolak logika biner Khora dengan itu tidak dapat dijelaskan dengan mengatakan ‘Khora merupakan sebuah wadah’ atau Khora bukan merupakan sebuah wadah.
Khora bagi Derrida tidak lahir dari logika yang alami dan legitim. Ia berasal dari sebuah hybrid, bastard, or even corrupted reasoning (logismo notho). Sebagai hasil dari rasio yang korup maka Khora tidak bisa dimasukkan dalam genus pertama maupun genus kedua Genus pertama adalah yang abadi (paradigma) sedangkan genus yang kedua adalah yang berubah (indrawi). Khora adalah genus yang ketiga (triton genus). Genus yang ketiga tersebut neither intelligible nor sensible; both intelligible and sensible. Kemudian, apakah karena berasal dari rasio yang korup lalu Khora bisa dianggap sebagai mitos? Bukan tempatnya untuk memahami Khora dalam kerangka logos atau mitos karena keduanya berkatain dengan genus pertama maupun yang kedua. Khora membutuhkan a third genus discourse (1998:231-232)
A third genus discourse itu merupakan Khora sebagai “bukan ini dan bukan itu” (neither this nor that) dan sebagai “sekaligus ini dan itu” (both this and that). Dalam kedua kutub tersebut, Khora bergerak dari satu ke yang lain. Ia berosilasi antara kutub ekslusi “neither/nor” dan kutub partisipasi “both this and that”. Pada saat-saat tertentu ia berada pada kutub “neither/nor” dan pada saat yang lain both this and that(1998:232-233)
Selain gambaran sebagai genus ketiga, Plato juga menggambarkan Khora dalam metaphor ibu, perawat,wadah dan emas. Tetapi, bagi Derrida, dalam hal itupun Khora tidak bisa terjelaskan. Khora sebagaimana bukan mitos ataupun logos, juga tidak terjelaskan dalam makna metaphor maupun makna literal. Dengan melampaui makna metaphor dan literal, it would no longer belong to the horizon of sense, nor to that of meaning as the meaning of being (1998:234).
Pemahaman tentang Khora bagi Derrida harus diletakkan dalam proses pemaknaan yang terus menerus. Itu artinya, tidak ada sebuah nama yang tepat, mot juste, bagi Khora karena setiap penamaan atas Khora akan beresiko pada sebuah anakronisme. Tidak adanya finalitas bagi pemaknaan atas atas Khora harus dipahami karena Khora bukanlah suatu nama; ia melampaui nama. Sesuatu yang ingin dihindari Khora ialah nama itu sendiri. Tulis Derrida, ”We have no doubt already been warned by Timaues: in all these comparisons with writing, we are not supposed to take the letters literally. (Derrida, 1981: 159)
Selain sebagai nama—yang terhindar dari pemaknaan—Derrida menggambarkan kondisi Khora sebagai keadaan tanpa properti pada dirinya. Pada bagian awal dialog dipaparkan bahwa kelas penjaga adalah adalah golongan yang sama sekali tidak mempunyai harta milik pribadi, entah apapun itu. ”...isn’t this also the situation of the site, condition of Khora?” (1998:234). Ia tidak memiliki harta, ia hanya menerima bayaran atas tugas-tugasnya. Dalam Plato, Khora hanya menerima elemen-elemen yang dilemparkan Demiurgos pada dirinya. Meskipun ia menerima elemen-elemen tersebut ia sama sekali bersentuhan dengannya. Ia hanya memberikan tempat bagi elemen-elemen tersebut.
Sokrates yang menjelaskan karakteristik kelas penjaga juga tidak lepas dari penggambaran sebagai Khora. Sokrates, bagi Derrida adalah Khora dalam posisi sebagai individu. Pada bagian awal dialog, Sokrates memosisikan dirinya sebagai seorang penyair dan sebagai sophis untuk menjelaskan mengapa ia tidak berkompeten untuk menjelasan tentang negara dan rakyatnya. Yang harus menjelaskan hal tersebut ialah politician-philosopher. Golongan penyair tidak dapat berbicara tentang negara karena mereka tidak terlatih dan fasih dalam hal tersebut. Keterbatasan berbicara tentang hal polis dan rakyatnya juga terdapat pada kaum sophis karena mereka tidak mempunyai tempat tinggal di dalam polis. Kaum sophis adalah pengembara tanpa kemapanan. Sebaliknya ketiga tamu Sokrates adalah politician-philosopher yakni mereka mereka yang fasih dan berkompeten dalam hal kenegaraan karena mereka pertama bertempat tinggal di polis dan kedua mereka adalah warga polis. (1998:244).
Di atara golongan yang berkompeten dan yang tidak, perhatian Derrida ialah bahwa ”Sokrates thus pretends to belong to the genus of those who pretend to belong to the genus of those who have a place, a place and an economy that are their own,”. Dengan berpura-pura bahwa dia adalah bagian dari kelompok yang berpura-pura memiliki tempat dalam polis, itu Sokrates mengisyaratkan bahwa dia bukanlah seorang petualang tetapi juga bukan seorang warga polis. Ia bukan politician-philosopher tetapi juga bukan sophis-imitator. Dengan itu ia mencegah adanya sebuah oposisi biner antara politician-philosopher dengan sophis-imitator. Oposisi biner ini jauh melampaui yang literal dan yang metaphoris. Sokrates bukan politician-philosopher dan juga bukan sophis-imitator (1998:245-246).Ia adalah genus ketiga (triton genus) dan itu hanya dapat dipahami dengan a third genus discourse
Selain penempatan di luar oposisi politician-philosopher dan sophis-imitator, Derrida menangkap Sokrates sebagai Khora melalui the silence of Sokrates. Dalam seluruh dialog Timaues, Sokrates hanya hadir dalam bagian introduksi dan kemudian Sokrates hilang dan tergantikan sepenuhnya oleh Timaues tamunya. Ia memberikan seluruh ruang pembicaraan pada Timaeus. Tindakan sokrates ini mengisyaratkan dirinya sebagai a receptive address (1998:247). Sokrates menjadi pendengar dan penerima tetapi bukan dalam arti pasif bahwa ia tidak tahu apa-apa melainkan karena ia ingin memberikan tempat bagi teman-temanya untuk berdiskusi. Bagi Derrida, posisi ini dipilihnya agar pembicaraan mungkin dan terjadi. Dengan memberikan ruang pembicaraan, Sokrates telah mendorong tamunya-tamunya untuk dapat mengaktualisasikan diri (to become). Persis itulah juga yang terjadi dalam Khora dalam Plato, ia mensituasikan agar elemen-elemen tersebut dapat teraktualisasi menjadi kosmos.
3. Khora Derrida sebagai Dekonstruksi
Dalam tanggapannya terhadap Khora Plato, Deridda menyatakan bahwa Heiddeger mengartikulasikan kembali Platonisme ketika dia menekankan perbedaan di antara Being dan beings. Being bagi Heidegger sesuatu yang tidak mempunyai kualitas definitif . Being itu dikenal hanya karena ketiadaannya yang justru berfungsi sebagai pembuka yang membuat eksistensi beings menjadi mungkin. Pararel dengan itu, bagi Zukert, Derrida juga mengartikulasikan Platonisme tersebut dalam deskripsinya tentang Khora di Timaeus. Heidegger membantah bahwa sejarah filsafat menampakkan sebuah kehadiran dan oleh karena itu pada akhirnya yang menjadi jelas hanyalah batasan-batasan yang tidak dikenali. Dan bagi Derrida keterbatasannya tersebut telah terungkap sejak awal dalam teks Plato (Zukert, 1996:235).
Zukert melihat bahwa dalam Khora-nya, Derrida menyatakan bahwa apa apa yang dikenal sebagai Platonisme atau metafisika lebih Aristotelian daripada bahwa hanya Platonis. Meskipun begitu, bagi Derrida pembacaan tradisional atas teks tetap perlu dan legitim bahkan diperlukan. Apa yang coba Derrida tampakkan adalah bahwa dalam Timaues terdapat suatu narasi yang mengungkapkan bahwa pemahaman sejarah kita adalah sebuah seri dari ketidaklengkapan (1996:235). Ketidaklengkapan tersebut dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak lengkap terceritakan.
Dalam Pharmacy, Derrida menyimpulkan bahwa Plato sendiri tampaknya mengakui keterbatasannya dalam mendeskripsikan kosmos dalam arti idea dan tiruan. Sedangkan dalam Timaeus Plato mengakui keterbatasannya dengan memunculkan kebutuhan akan genus ketiga. (1996:236). Bagi Derrida apa yang ditunjuk Plato sebagai Khora dalam Timaeus kelihatannya menentang logic of non-contradiction of the philosophers .
Penolakan terhadap logika non-kontradiksi degan ini telah membawa pada keadaan pre-origin dimana tidak ada lagi oposisi biner—ada dan menjadi, intelligible dan sensible. Kondisi pre-origin tanpa oposisi biner inilah yang diakui dalam Timaues.
Dengan memposisikan kebutuhan untuk sebuah permulaan baru dengan apa yang disebutnya sebagai Khora, Plato menunjuk suatu kebutuhan untuk secara terus menerus memberikan pemahaman terhadap dunia karena karena setiap narasi sebelumnya adalah versi yang tak lengkap.Pertanyaan kemudian, apakah dengan menemukan kebutuhan akan narasi yang baru berarti bahwa kita harus merujuk pada filsafat Plato, ontology Plato atau Platonism? Jawab derrida: sama sekali tidak. Apa yang disebut sebagai Platonisme adalah abstraksi dari fiksi-fiksi yang ditulis oleh Plato. Platonism adalah salah satu efek dari teks Plato dan efek tersebut justru berlawanan dengan teks itu sendiri. (1996:239).
Bagi Zukert, kembalinya Derrida pada teks-teks Plato bukan untuk menghidupkan lagi pengertian penuh pemikiran Plato yang berlapis-lapis. Dalam How to Avoid Speaking: Denials, Derrida menerangkan bahwa dengan memperlihatkan heterogenitas pada teks-teks Plato, ia ingin memunculkan suatu pertanyaan dekonstruktif tentang pengertian teleologis dalam pengertian tradisi barat. Dengan memperlihatkan argumen yang meremehkan teori gagasan dalam teks Plato, derrida menemukan bahwa tidak akan ada pernah satu pembacaan atas sejarah filsafat. (1996:240). Dengan kata lain sejarah filsafat sejauh ini berada dalam sebuah cara baca yang sudah terdeterminasi.
Dekonstruksi derrida itu disimpulkan oleh Zukert pada bagian akhir tulisannya yang berjudul Derrida’s New [Hi] story. “…Derrida deconstructs the received reading of Plato in order to shake the still dominant self-understanding of the west and thus to counter its homogenizing political effects. By showing that there is an ineradicable instability of meaning from the very beginning , Derrida seeks to show that there is a certain “space” at the interior of the tradition which provides an opening to that which lies beyond it, to that which is “to come”… Decontruction does not mean destruction, he repeteadly insists. Deconstruction is inconceiveable without Hegel, Nietzsche, Husserl and Heidegger and these philosophers all look back, in turn, to Plato… Derrida just as explicitly denies that any of these authors , text or approaches has any integrity or value in itself (1996:252).
Kesimpulan Semifinal
Seluruh pemaparan di atas pada awalnya berangkat dari dialog Plato Timaues tentang genesis kosmos. Dengan pembacaan yang detail itu kemudian Derrida masuk melalui Khora yang pada dasarnya hanya sub-kecil dari seluruh kisah penciptaan. Meskipun muncul dalam ragam “wajah”, pada dasarnya Plato mengartikan Khora sebagai the receptacle. Namun di tangan Derrida The receptacle berubah menjadi kritik atas sejarah filsafat dan atas metafisika kehadirannya. Khora adalah sebuah dekonstruksi.
Di mata Derrida narasi penciptaan Plato kini tidak bermakna lebih besar ketimbang sekedar gelanggang untuk membuktikan cara berpikirnya. Dengan itu menjadi jelas bahwa kembalinya Derrida pada Plato bukan demi sebuah nostalgia melainkan demi membuktikan sebuah ketidakselesaian.. Dengan pemahaman akan ketidakselesaian tersebut, tulisan ini juga tidak akan berpretensi untuk mencapai kesimpulan akhir baik dalam Plato maupun Derrida. Titik terjauh yang dapat dicapai hanyalah sekedar kesimpulan semifinal yakni Per Plato ad Derrida.