Yang Kudus dan Yang Berkuasa
Menyoroti Fenomena Lemahnya Agama Sebagai Simbol Yang Kudus
Salah satu yang menandai abad ke-19 dan setelahnya adalah globalisasi. Globalisasi mengepakkan sayapnya hampir ke seluruh permukaan bumi. Ia hadir layaknya virus yang tak terbendung; ia masuk dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Melalui penemuan dan perkembangan beragam piranti berbasis visual, manusia modern dihadapkan pada simbol-simbol baru kehidupan. Tidak hanya itu, pengalaman-pengalaman manusia akan simbol dikemas rapi oleh pasar untuk dijadikan komoditas siap jual. Persis pada konteks jaman tersebut, agama mendapat tantangannya. Agama dengan seluruh simbol-simbolnya akan yang Kudus semakin dipertanyakan ketika ia berposisi rancu dengan yang sekular, khususnya dengan simbol-simbol kekuasaan politik.
Berbicara mengenai simbol seringkali membawa manusia masuk dalam sebuah diskusi tanpa akhir tentang pencarian arti dan makna simbol. Namun begitu, simbol tidak bisa tidak harus tetap dimaknai sejauh manusia masih ingin memaknai eksistensinya. Dalam bahasa aslinya, Yunani, kata symbollein digunakan sebagai kata kerja yang artinya ialah mencocokkan. Lambat laun arti mencocokkan dalam konteks tanda atau materai perjanjian tersebut berubah arti menjadi tanda pengenalan. Sesuatu dikenali melalui simbol.
Pada bagian ini akan dipaparkan bagaimana Paul Tillich dan Mircea Eliade memahami suatu simbol. Simbol dalam pandangan Tillich merupakan salah satu ajaran sentralnya dalam pembahasannya tentang Allah. Bagi Tillich simbol mempunyai beberapa ciri dasar:
1. Simbol bersifat figuratif, selalu menunjuk sesuatu yang diluarnya. Baginya simbol berbeda dengan tanda. Simbol mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan mewakili sesuatu yang diwakilinya sampai tingkat tertentu. Sedangkan tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti; tanda tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya. Ia mengambil “salib” sebagai salah satu contohnya. Devosi kepada salib, bagi Tillich, sebenarnya ditujukan kepada penyaliban di atas bukit Golgota. Devosi kepada penyaliban merupakan suatu pemaknaan akan suatu tindakan penebusan oleh Allah yang merupakan ungkapan simbolis pengalaman manusia tentang realitas akhir.
2. Simbol dapat dicerap baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imaginatif.
3. Simbol membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi dengan segi-segi Realitas Tertinggi. Simbol memperluas penglihatan tentang Realitas Transenden.
4. Simbol hidup oleh karena hubungannya dengan suatu kebudayaan yang khusus. Jika simbol tidak lagi membangkitkan respon yang vital maka simbol itu mati. Dengan kata lain, simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat.
Dari pemaparan mengenai ciri dasar simbol, Tillich mengemukakan apa yang dipandangnya sebagai ciri pembeda suatu simbol keagamaan. Simbol keagamaan, demikian Tillich, dibedakan dari simbol-simbol yang lain oleh kenyataan bahwa simbol keagamaan merupakan representasi dari sesuatu yang sama sekali ada di luar bidang konseptual. Simbol keagamaan menunjuk kepada realitas tertinggi yang tersirat dalam tindak keagamaan, kepada apa yang menyangkut diri kita pada akhirnya.
Senada dengan Tillich, Mircea Eliade, dalam pemaknaan mengenai simbol, mengarahkan pemikirannya kepada (1) barang dan peristiwa khusus. Melalui barang dan peristiwa khusus itulah ia kemudian (2) mencari arti penting dari barang dan peristiwa khusus tersebut, untuk akhirnya (3) menghubungkan manusia dengan yang Ilahi.
Dalam pembahasan mengenai simbol Ia menekankan secara khusus apa yang disebutnya hierofani, yaitu manifestasi dari yang kudus dalam konteks dunia sekular. Baginya manifestasi-manifestasi itu mengambil tempat sebagai simbol-simbol. Fungsi simbol, dengan demikian, ialah mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan di mata profan. Dalam bukunya “The History of Religions: Essay in Methodology” ia mengemukakan ciri-ciri simbol:
1. Multivalen, metaempiris, artinya simbol selalu menunjuk sesuatu yang lebih jauh yaitu kepada Yang-Kudus, Realitas Tertinggi.
2. Simbol bukanlah sebuah penujuk yang tidak ada hubungannya dengan manusia aktif. Simbol selalu tertuju pada suatu realitas atau situasi yang melibatkan esksistensi manusia
3. Dengan demikian simbol memberi makna dan arti ke dalam eksistensi manusia.
Fenomena Identifikasi Yang Kudus dengan “Yang Berkuasa”
Seperti sudah dikemukakan di atas, bagaimanapun agama tidak bisa dilepaskan dari sistem simbol. Agama justru harus semakin mengokohkan fungsinya sebagai penampakan dan simbol Yang Kudus di tengah dunia. Masalahnya, ciri khas agama sebagai simbol Yang Kudus telah bergesar jauh. Dalam realitasnya, agama justru semakin meninggalkan simbol Yang Kudus dan masuk pada simbol-simbol kekuasaan politik.
Masalah pertautan antara agama dan kekuaasan politik sejatinya bukanlah masalah yang baru. Bahkan pada abad pertengahan agama dan kekuasaan politik menjadi sangat identik. Identifikasi tersebut tidak berhenti hanya pada abad pertengahan. Bahkan sampai saat ini identifikasi agama dan kekuasaan politik masih sering terjadi. Dengan pengidentifikasian tersebut, agama sebagai simbol Yang Kudus tidak bisa tidak berubah menjadi simbol “yang berkuasa”.
MAU MEMBACA BATMAN-THE DARK NIGHT (PART 3)?
Silahkah tulis NAMA dan EMAIL di TARIGANISM CHAT. See ya...