Ilmuwan, Filsuf dan Realitas

“Sementara ilmuwan mengkaji hakikat, penyebab dan akibat dari realitas dan proses realitas partikular, filosof berurusan dengan kajian atas hakikat realitas yang ada secara general”. (Peter Winch, Philosophy and science, hlm. 153).

a. Petikan di atas merupakan sanggahan terhadap argumen bahwa realitas hanya dapat dikenali oleh ilmuwan dengan metode empirisnya. Ilmuwan dengan metode eksperimentalnya merupakan aktor sesungguhnya yang dapat mengenali realitas. Sedangkan para filosof harus dikesampingkan karena meskipun filosofi juga berusaha mengenali realitas namun filosofi tidak pernah akan mencapainya karena motode yang ditempuhnya melulu a priori. Apa yang ingin diperjuangkan Winch dalam petikan di atas ialah bahwa baik ilmuwan maupun filosof dapat sama-sama menginvestigasi apa itu realitas. Ilmuwan beroperai dalam ranah partikular sedangkan filosof beroperasi dalam wilayah hakikat secara general. Dengan itu tidak dapat diterima anggapan bahwa hanya ilmuwan (karena metode eksperimentalnya) yang dapat memahami realitas. Filosof pun dapat mengenali realitas, namun ia mendekatinya persis pada ranah hakikat secara general.

b. Pada kesempatan ini dapat ditunjukkan bagaimana ilmuwan dan filosof dapat bertemu dalam suatu investigasi realitas, sebutlah realitas bahasa. Dalam realitas bahasa, ranah yang dijamah oleh filosof adalah bahasa sejauh berurusan dengan hubungan antara konsep dan realitas. Dengan melihat pada relasi konsep dan realitas, filosof masuk untuk menjernihkan makna dan tidak disibukkan dengan berbagai urusan tata bahasa. Di lain pihak, ketika para ilmuwan masuk untuk menggeledah realitas bahasa, mereka masuk pada ranah tata cara penggunaan bahasa atau gramatika. Dengan kata lain, ilmuwan menilik realitas bahasa melalui pendekatan bagaimanakah bahasa dapat diaplikasikan dengan tepat. Dalam mendekati kata “sosial” misalnya, filosof masuk dalam ranah konsep “sosial” dalam hubungannya dengan realitas, sedangkan ilmuwan masuk dalam ranah bagaimana kata “sosial” digunakan secara tepat dalam sebuah tata bahasa. Jadi realitasnya sama yakni realitas bahasa, namun realitas itu didekati secara berbeda.


read more tariganism...

Social Fact ?

Dalam tulisannya What is Social Fact? (1895), untuk membedakan apa itu fakta sosial dalam artian luas dan dalam artian sosiologis, Durkheim menyebut fakta sosial dalam arti objek kajian sosiologi sebagai the social. Pertama-tama harus jelas apakah yang menjadi kepentingan Durkheim dalam penjelasannya tentang apa itu the social. Kata ‘sosial’ bagi Durkheim sejauh ini disematkan untuk fenomena (gejala) praktis yang sangat umum terjadi dalam masyarakat misalnya makan, minum, tidur, dll. Namun, jika seluruh gejala dianggap sebagai fakta sosial, maka apakah yang menjadi objek kajian sosiologi? (hlm.26). Bahwa ilmu alam sudah jelas dengan objek penelitiannya, kini saatnya sosiologi sebagai ilmu sosial juga mendefinisikan apa yang menjadi objeknya. Persis pada titik inilah menjadi jelas bahwa tujuan utama Durkheim ialah ingin menjawab pertanyaan apakah yang menjadi objek kajian yang khas ilmu-ilmu sosial.

The Social (fakta sosial) bagi Durkeim adalah adalah suatu gejala (atau tindakan manusia) yang independen dari individu, bekerja sebagai kekuatan eksternal yang membatasi/memaksa individu (hlm 26, 27, 30). Kata-kata kunci dalam definisi Durkheim tersebut adalah gejala, independen terhadap individu, kekuatan eksternal, membatasi/memaksa individu.

Dalam tulisannya Objectivity of Science (1904), apa yang hendak dicapai oleh Webber sejatinya sama dengan Durkheim yakni mencari objek kajian yang khas dalam ilmu-ilmu sosial. Berbeda dari Durkeim, Webber tidak menggunakan kata social fact atau the social untuk menjelaskan apa itu fakta sosial.

Fakta Sosial bagi Webber adalah gejala (atau tindakan manusia) tidak bebas nilai (subjektif) yang terarah ke luar dan terhadap yang di luar itu berhubungan secara kausal. Delam arti ini, fakta sosial bagi Webber terletak dalam tindakan sosial dan relasinya. (hlm. 111) Kata-kata kunci dalam definisi Webber adalah: gejala, subjektif, nilai, orientasi ke luar, relasi sebab-akibat. Untuk memperjelas, misalnya seseorang membaca buku karena itulah hobinya tidak dapat dikatakan sebagai tindakan sosial. Namun ketika seseorang membaca untuk mempersiapkan sebuah presentasi saat kuliah adalah tindakan sosial.

Kesimpulan: Ontologi fakta sosial Durkheim dan Webber berbeda karena bagi Durkheim fakta sosial adalah gejala “di luar sana” (eksternal dan independen dari individu) yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi individu. Realitas yang digagas oleh Durkheim dengan demikian persis sama dengan realitas dalam ilmu alam. Sedangkan bagi Webber, fakta sosial merupakan tindakan subjektif yang berkaitan dengan nilai, terorientasi ke luar dalam relasi saling mempengaruhi.

Secara epistemologis, Durkheim dan Weber berbeda dalam menguraikan apa itu fakta sosial.

Dengan menempatkan karakter objek kajian ilmu sosial persis seperti objek kajian ilmu alam, fakta sosial dengan itu dapat dikenali melalui metode dimana antara ilmuwan terhadap objek kajiannya berhubungan secara searah; dalam proses ini objek kajian tidak dapat memberikan pengaruh apapun terhadap penafsir. Itulah yang kemudian dikenal dengan hermeneutika tunggal.

Pada Webber, dengan menempatkan fakta sosial sebagai gejala atau tindakan individu yang terorientasi keluar serta berelasi secara kausal, metode untuk memahami fakta sosial tersebut tidak bisa dilepaskan dari sebuah metode yang dapat mengakomodasi kesalingan. Itulah yang kemudian dikenal dengan hermeneutika ganda yakni proses penafsiran dimana antara peneliti dan obyek kajian saling mempengaruhi.

Kesimpulan: Fakta sosial seperti yang digagas oleh Durkheim dapat dikenali melalui pendekatan positivisme. Dengan itu sosiologi Durkheim dapat disebut sebagai positivis sosiologis. Sedangkan fakta sosial seperti yang digagas oleh Webber dapat dipahami melalui pendekatan hermeneutika dimana relasi dua arah dapat diakomodasi. Dengan itu sosiologi Webber dapat disebut sebaga antipositivis sosiologi atau hermeneutis sosiologi. Ringkasnya, realitas sosial dalam Durkheim dapat dikenali melalui hermeneutika tunggal (seperti metode ilmu alam; positivisme), sedangkan realitas sosial dalam Webber dapat dikenali melalui hermeneutika ganda (dimana penekanannya lebih diberikan pada karakter kualitas dan relasional).


read more tariganism...

Ilmuwan, Objek Kajian dan Manusia

A.Ilmuwan dan obyek kajian dalam ilmu-ilmu sosial dalam hermeneutika ganda.

Ilmuwan secara umum adalah seseorang yang memeriksa, mengamati, mengeksplorasi, meneliti, menelaah, menyelami dan menganalisis suatu obyek kajian. Ilmuwan secara khusus terdistingsi dalam dua domain besar yakni ilmuwan alam dan ilmuwan sosial. Para ilmuwan alam adalah mereka yang memfokuskan penelitiannya pada gejala alam. Sedangkan ilmuwan sosial menempatkan gejala sosial sebagai sebagai pusat kajiannya.
Distingsi tersebut secara langsung menunjuk bahwa gejala dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni gejala alam dan gejala sosial. Gejala alam misalnya menunjuk pada tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak miring, air (H2O) mendidih pada suhu 100°C dan membeku pada suhu 0°C, gerhana matahari dimana posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari, iklim tropis pada wilayah yang dilalui oleh garis khatulistiwa, dll. Dengan itu, fakta alam adalah seluruh gejala alam yang eksistensinya berada di luar manusia, independen dan bergerak secara mekanis berdasarkan hukum internal alam, dimana manusia tidak dapat melakukan interupsi terhadapnya.

Sedangkan gejala sosial misalnya merujuk pada rivalitas dua kubu suporter sepakbola antara Manchaster United dan Chelsea, preferensi pemerintah untuk upaya penyelamatan Bank Century, tawar-menawar partai politik terkait seleksi menteri oleh presiden terpilih, ritual doa-doa penyembuhan di kalangan umat Katolik, dll. Oleh karena itu, fakta sosial adalah seluruh gejala sosial dimana terjadi interaksi-konstitutif antar manusia. Melalui interaksi-konstitutif itulah tampak manusia dengan segala cara beradanya. Hukum internal dalam sebuah gejala sosial tidak bersifat asali/kodrati melainkan diciptakan oleh manusia yang berinteraksi di dalamnya.

Pada relasi antara peneliti dan objek kajian muncullah apa yang dinamakan hermeneutika. Dalam pokok ini dapat dibedakan dua jenis hermeneutika: tunggal dan ganda. Sudah terang dan jelas bahwa hubungan antara ilmuwan alam dan gejala alam berada dalam hubungan hermeneutika tunggal. Sebut saja, Prof. Dr. Sri Widiantoro, Guru Besar Pertama di ITB dalam bidang Seismologi (lih., Kompas, ‘Sosok’, 5 Oktober 2009). Sebagai ilmuwan alam ia mendiagnosis lapisan kerak dan lempeng bumi. Antara Sri dan objek kajiannya yakni lapisan kerak dan lempeng bumi terjadilah yang namanya hermeneutika tunggal, yakni proses penelitian searah yang dilakuan oleh Sri terhadap lapisan kerak dan lempeng bumi. Dikatakan bersifat searah karena mustahil jika lapisan kerak dan lempeng bumi memberikan respon balik terhadap kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Sri. Ringkasnya, hubungan hermeneutika ganda terjadi ketika peneliti meneliti suatu objek kajian, namun objek kajian yang diteliti tidak dapat memberikan respon balik terhadap peneliti maupun hasil penelitiannya.

Sedangkan antara ilmuwan sosial dan gejala sosial terjadi relasi hermeneutika ganda. Sebagai contoh adalah Asvi Warman Adam, seorang Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI (lih., Kompas, ‘Sosok’30 September 2009). Sebagai ilmuwan sejarah ia melakukan penelitian terhadap Peristiwa 1965. Ia mulai berfikir ulang tentang narasi-narasi yang baginya banyak mengandung pelanggaran berat HAM. Sebagai seorang ilmuwan sejarah, Asvi kini berhadapan dengan objek kajian Peristiwa 1965. Antara keduanya (Asvi dan Peristiwa 1965) muncul yang dinamakan hubungan hermeneutika ganda.

Penelitian Asvi terhadap Peristiwa 1965 terkait erat dengan, pertama, orang-orang yang mengalami peristiwa tersebut, kedua, orang-orang yang kemudian membaca hasil penelitian sejarah tersebut. Hasil penelitian Asvi tentang Peristiwa 1965 memiliki implikasi yang kuat baik terhadap orang-orang yang mengalami maupun terhadap orang-orang yang di kemudian hari membaca hasil penelitian tersebut. Dengan itu, hasil penelitian yang dituliskan oleh Asvi dapat menggerakkan orang-orang untuk merespon, entah setuju atau tidak, dengan hasil penelitiannya. Dengan umpan balik itulah, Asvi sebagai ilmuwan, tidak lepas dari implikasi penelitiannya sendiri, dimana ia juga harus mengambil sikap terhadap respon-respon terkait hasil penelitiannya. Alhasil, dalam hubungan hermeneutika ganda, terjadilah interaksi antara peneliti dan obyek dimana keduanya saling mempengaruhi. Dalam contoh tadi, Asvi mencerahkan banyak orang dengan penelitiannya, namun di sisi lain, bukan tidak mungkin hasil penelitian justru malah berbalik menyerang sang peneliti. Seandainya rejim Orde Baru masih berkuasa, bukan tidak mungkin implikasi hasil penelitian Asvi akan berbuah destruktif bagi dirinya sebagai ilmuwan sosial.

B.Ilmu-Ilmu Sosial dan Pertanyaan Tentang Manusia.
Dalam pendekatannya terhadap realitas, ilmu-ilmu sosial mengajukan apa yang dinamakannya sebagai pendekatan empiris. Pendekatan empiris di sini berarti suatu riset dimana yang menjadi titik tolak sebuah penelitian adalah data, fakta, bukti, evidensi, informasi dan keterangan yang secara real ditemukan di lapangan. Berdasarkan data-data itulah dilakukan sebuah pengolahan data hingga terbentuk sebuah hipotesis. Persis pada hipotesis itulah pertanyaan tentang ‘asumsi antropologis’ mencuat.

Berbeda dengan filsafat, pendekatan dalam filsafat pertama-tama mengajukan pertanyaan tentang esensi. Ambil contoh ketika kita berhadapan dengan hal yang bernama kekuasan, pendekatan filosofis akan bertanya apa itu kekuasaan (ontologis), bagaimana cara menggapai kekuasaan (epistemologis) dan bagaimana seharusnya sikap kita berhadapan dengan kekuasan (etis), dan yang terakhir adalah siapakah manusia dihadapan kekuasaan.

Berikut ini adalah ‘gambar’ sederhana yang akan menunjukkan bagaimana analisis ilmu-ilmu sosial sampai pada pertanyaan tentang siapakah manusia. Menurut data resmi yang dilansir, keempat orang yang akan mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra dan Yudhi Chrisnadi. Ilmu Politik (political scince) akan mentematisasi data tersebut dalam kerangka partisipasi politik. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik, yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Salah satu bentuk partisipasi politik yang dilakukan adalah dengan mengajukan diri sebagai calon pemimpin partai Golkar. Demi mencapai tujuan menjadi orang nomor satu di partai yang berlambang pohon beringin tersebut, dimulailah sebuah kompetisi intern. Lepas dari kompetisi dijalankan dengan jujur atau tidak, namun yang pasti masing-masing mengerahkan seluruh sumber daya materi dan daya-daya manusianya untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan moralitas menjadi relatif dihadapan perebutan kursi kekuasaan. Dalam seluruh usaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, pertanyaan tentang siapakah manusia mencuat ke permukaan.

Siapakah manusia sehingga ia rela mengerahkan seluruh daya upaya agar dapat menjadi sang pemimpin? Siapakah manusia yang dengan seluruh hasratnya menginginkan dirinya menjadi orang nomer satu? Dalam hal ini dapat diajukan jawaban bahwa manusia adalah ‘sosok haus kuasa’. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak Aburizal Bakrie terpilih menjadi ketua umum Golkar, ia adalah seorang yang memiliki kekuasaan utama di partainya. Arah dan haluan partai kini berada di tangannya.

Untuk itu pantaslah dikatakan bahwa manusia adalah ‘pemburu kekuasan’ dan untuk memenuhi kebutuhan akan kekuasaan ia rela mati-matian memberikan segalanya. Meraih kekuasaan dengan itu menjadi tujuan penting, karena tanpa kekuasaan eksistensi manusia tergoyahkan. Setidak-tidaknya manusia yang terhadap dirinya pun ia tidak berkuasa akan menjadi yang terlemah diantara yang paling lemah. Namun, haruslah ditegaskan bahwa sosok manusia sebagai ‘yang haus akan kuasa’ bukanlah konsep utuh dan final karena pada dasarnya manusia adalah multidimensional.

Dalam hal ini telah terjadi sebuah gerak analis dalam ilmu-ilmu sosial, secara khusus ilmu politik, mulai dari analisis partisipasi politik hingga akhirnya bermuara pada pertayaaan tentang asumsi antropologis. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial, seperti juga filsafat, memandang penting pertanyaan tentang manusia. Namun keduanya menempuh jalan yang berbeda, ilmu-ilmu sosial dengan jalan mengamati eksistensi, sedangkan filsafat dengan jalan mempertanyakan esensi.

read more tariganism...

  © Creative design by tariganism.com and Ourblogtemplates.com 2009

Back to tariganism's TOP